Musisi dan Dinamika Sosial Media yang Melatarinya

Musisi dan Dinamika Sosial Media yang Melatarinya

Sosial media akan selalu berbanding lurus dengan konsep branding yang kuat dari si musisi/band hingga pengorganisiran barisan penggemar. Atau justru mempersetankan itu dan hanya berfokus pada pembuatan karya yang ‘nampol’.

Meneruskan pemaparan Addy Gembel tentang ‘pamitnya’ Iksan Skuter dari sosial media. Solois yang baru saja merilis album Codex 13 ini mengejutkan para penikmat karyanya dengan keputusan dia "membunuh" akun Instagramnya yang telah terverifikasi, dan mempunyai pengikut kurang lebih 250.000 orang. Apa yang dilakukan Iksan kemudian memantik pertanyaan tentang peran sosial media bagi musisi, apakah sebagai etalase dari karya-karyanya, alat promosi, atau bahkan menjadi pakaian mereka sebagai ‘personal branding’ yang ingin disematkan pada citranya?

Hal tersebut kemudian menjadi sejalan dengan cukup banyaknya akun instagram musisi/band-band (indie khususnya) di Indonesia, dengan olah kreasi mereka mengukir citra visual di feeds instagramnya. Dari yang konseptual lewat kekhasan estetika yang dibuat sedemikian rupa, hingga yang mengamini jika anti image adalah bagian dari image itu sendiri, seperti halnya Jason Ranti dengan feeds instagramnya yang tidak terkonsep, namun di satu sisi justru itulah konsep yang tanpa sadar dia tawarkan ke publik.

Berbeda dengan Iksan yang ‘putus hubungan’ dengan sosial media (khususnya instagram), Jeje lebih tidak peduli dengan semua hal yang bertautan dengan dinamika yang terjadi di ranah dunia maya. Jika Iksan merasa ada yang berseberangan antara hal-hal esensial yang dia percaya dengan pola kerja sosial media, maka Jeje mengukir citra dirinya sebagai antitesis dari pola yang biasa dipakai di sosial media. Jeje yang datang dengan konsep agnostik folk, sebagai gambaran dari warna dan karakter yang dia punya, kemudian sejalan juga dengan citranya yang serampangan. Hal itu kemudian dikuatkan juga dengan tampilan visual instagramnya, yang lagi-lagi serampangan, terkesan ngasal, namun justru makin menguatkan karakternya dengan personal branding yang dia bangun (atau tanpa sengaja dia bangun).

Foto-foto yang dia unggah tak jarang dia timpa dengan goresan karya tangannya, yang tidak jarang ngasal dan seenaknya. Jeje seperti sedang melakukan vandalisme terhadap foto-foto yang dia unggah. Namun nampaknya dia sedang mencoba melanjutkan apa yang sering dia utarakan dalam lagu-lagunya lewat tampilan visual, yakni mengejek realita dengan satir, yang kadang tajam, gelap, namun kadang jenaka.

Hal tersebut menjadi berbanding terbalik dengan apa yang dilakukan oleh band .Feast dengan tampilan feeds instagramnya yang cukup konseptual, dengan pendekatan gaya majalah dalam unggahannya. Band ini sejak awal rasanya sudah mencuri perhatian lewat konsep musik dan citra yang mereka tawarkan (tengok cara mereka menuliskan nama bandnya, dengan tanda titik di awal kata menjadi .feast) Segala macam bentuk branding yang mereka tawarkan, salah satunya tergambar dalam akun instagram mereka. Dengan pendekatan gaya sebuah majalah, .feast memberikan gambaran aktivitas mereka bermusik dengan grafis yang menarik, dari mulai saat manggung, saat mempromosikan single atau album, bahkan ketika ada salah satu personil yang berulang tahun. Dengan layout layaknya sebuah majalah tadi, kita seperti sedang berlangganan majalah favorit, dengan .feast yang menjadi tajuk utama majalah tersebut.

Sejalan dengan .feast yang punya concern lebih pada tampilan visual akun instagramnya, Polka Wars pun demikian. Dengan permainan warna-warni pastel yang menarik, mereka tawarkan konsep visual minimalis, dan langsung straight to the point dengan bahasan yang ingin mereka angkat ke permukaan. Misalnya tentang judul-judul lagu Polka Wars, yang hanya ditampilkan melalui pendekatan typography sederhana, dengan dilatari warna-warni pastel tadi. Bagi orang yang melihatnya tentunya akan langsung tertuju dengan judul lagu dari Polka Wars itu tadi. Selain itu, ada juga tampilan lainnya, yang menangkap sederet momen dari Polka Wars, seperti saat manggung, yang mereka visualkan dengan judul ‘Show Recap’, atau pun saat mereka rekaman, yang mereka visualkan dengan judul ‘Recording Recap’. Minimalis namun manis. Mungkin itu gambaran yang tepat bagi instagram Polka Wars ini.

Namun lepas dari itu, satu persamaan yang dilakukan Jeje, Polka Wars, dan .Feast di sosial media berkaitan erat dengan promosi yang mereka buat untuk para penggemar, dari mulai info terbaru seputaran karya (single, album, video klip, etc), jadwal manggung, atau berita lainnya yang dianggap penting bagi penggemar. Mereka diuntungkan oleh pola promosi sosial media yang jauh melampaui pola-pola konvensional yang ditempuh band angkatan lama, seperti Pas Band misalnya.

Sedikit intermezo. Ada satu cerita menarik dari Yuki Pas kala dirinya menceritakan awal mula Pas Band merilis album. Dalam rangka mempromosikan albumnya, dia bersama para personil yang lain, juga sang manajer Samuel Marudut ikut turun langsung dalam mempromosikan albumnya. Karena waktu itu tahun 90an awal dan internet belum semasif sekarang (atau mungkin masih menjadi embrio?), maka cara promosinya pun tentu konvensional. Pas dan manajernya, Samuel Marudut kerap menempelkan poster album Pas Band di banyak toko musik yang mereka temui, dengan harapan agar orang ‘ngeuh’ dengan albumnya. Hal itu tidak sia-sia, karena album perdana Pas kala itu cukup laku di pasaran, dan efeknya terasa sampai sekarang, ketika album mereka menjadi trigger bagi banyak band setelahnya untuk merilis karya secara mandiri.

Kembali ke sosial media. Hal tersebut kemudian akan selalu berbanding lurus dengan konsep branding yang kuat dari si musisi/band, pengorganisiran barisan penggemar, hingga wacana untuk diangkat ke permukaan, sebagai bagian dari branding berupa tagline atau slogan. Atau justru mempersetankan itu semua dan hanya berfokus pada pembuatan karya yang ‘nampol’. Mungkin Iksan Skuter memilih pilihan yang terakhir, kala dia pamit dari sosial media, mengubur semua pola-pola personal branding ke-musisian-nya di sosial media, dan membiarkan karyanya bicara sendiri dari panggung ke panggung yang melibatkannya sebagai penampil.

BACA JUGA - Cara Unik Musisi Pasarkan Karya

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner