Musik Memang Seksi Buat Ditunggangi

Musik Memang Seksi Buat Ditunggangi

Dalam pandangan seorang filsuf bernama Christopher Small, makna musik sebagai sebuah produk kebudayaan berkaitan dengan hubungan, baik dengan manusia lain maupun dengan lingkungan sosial. Musik pada akhirnya berfungsi sebagai alat eksplorasi, penegasan, dan perayaan hubungan tersebut. Dalam realitasnya, musik menjadi sebuah produk budaya yang adaptif, mampu berubah sesuai dengan ekspresi kultural. Jika ada anggota kelompok sosial yang berbeda memiliki nilai yang berbeda, atau konsep hubungan ideal yang berbeda, maka jenis musik yang menjalankan hubungan tersebut akan berbeda satu sama lain.

Selain memiliki sifat adaptif, musik juga punya daya persuasif yang besar. Musik punya kekuatan untuk melakukan ajakan kepada setiap penggemarnya. Melalui pancaran audio dengan pesan lewat lirik yang diulang menghasilkan frekuensi yang diserap oleh panca indera dan diolah otak hingga mampu menggerakan alam bawah sadar. Tidak sadar menggerakan kepala atau menggoyangkan kaki ketika mendengarkan musik adalah bagian dari daya ajak musik pada siapapun yang mendengarkan. Daya persuasif inilah yang akhirnya sering digunakan dan disalahgunakan untuk berbagai tujuan.           

Pada tahun 1984, Bob Geldof vokalis band Boomtown Rats asal Irlandia melakukan perjalanan ke negara Ethopia setelah mendengar banyak pemberitaan mengenai bencana kelaparan di sana. Sepulangnya dari Afrika, Bob berinisiatif untuk membuat single lagu yang royaltinya akan disumbangkan untuk rakyat Ethopia. “Do They Know It’s Christmas” adalah single yang diciptakan oleh Bob dan dinyanyikan secara keroyokan oleh band dan musisi top Inggris, seperti Duran-Duran,U2, Wham!, dan lain-lain. Single ini langsung merajai chart di Inggris dan berhasil meraup keuntungan sebesar 10 juta dollar.

Single ini juga menjadi hit di Amerika dan memberi inspirasi untuk melakukan hal serupa. Lewat single “We Are The World” yang dibuat oleh Michael Jackson dan Lionel Richie dan dinyanyikan oleh banyak musisi yang tergabung dalam gerakan USA for Africa, mereka berhasil meraup keuntungan 44 juta dollar. Dirasa sudah mampu meraih solidaritas para musisi top dunia, akhirnya Bob merancang sebuah konser amal Live Aid yang digelar di Inggris dan Amerika pada waktu yang sama tanggal 13 Juli 1985 melibatkan 75 band dan musisi, seperti Mick Jagger, Queen, Elton John, Run DMC, Madonna, Santana dan lain-lain. Acara ini dipancarkan oleh 13 satelit dan disiarkan secara langsung ke 130 negara.

Konser yang di Inggris berhasil mendatangkan 70.000 penonton dan di Amerika 100.000 penonton serta dalam satu hari berhasil meraup donasi sebesar 127 juta dollar. Selain berhasil mengumpulkan donasi, konser solidaritas tersebut berhasil menjadikan krisis kelaparan di Ethopia mendapatkan perhatian dunia. Yang tidak banyak orang ketahui adalah persoalan di Ethopia ternyata tidak hanya kelaparan saja. Ada konflik bersenjata yang melibatkan diktator Ethiopia, Mengistu yang mendapatkan dukungan dari pemerintah Inggris dengan kelompok oposisi yang memperjuangkan demokrasi. Karena keterbatasan informasi dan sulitnya wartawan dari luar untuk masuk ke wilayah konflik mengakibatkan bias informasi di lapangan. Uang hasil konser dan royalti dari produk Live Aid ternyata tidak sampai pada yang membutuhkan, melainkan diberikan kepada Mengitsu, seorang diktator berdarah dingin dan melakukan banyak pelanggaran ham di Ethopia yang mendapatkan dukungan dari pemerintah Inggris.

Uang donasi yang diberikan kepada Mengitsu digunakan untuk membeli senjata canggih dari Rusia, dan secara kejam digunakan untuk membantai oposisi. Ethiopia, yang saat itu menjadi negara termiskin ketiga di dunia, tiba-tiba memiliki pasukan terbesar dengan perlengkapan terbaik di benua Afrika. Seluruh dunia menjadi saksi melihat di TV ketika Bob Geldof, inisiator dari konser Live Aid, menjabat tangan lalu memeluk Mengistu dalam proses pemberian donasi. Sebetulnya Geldof telah diperingatkan berulang kali, sejak awal oleh beberapa lembaga kemanusiaan terkait sepak terjang Mengistu. Diktator yang bertanggung jawab atas pembantaian yang menewaskan 100.000 orang-orang yang tidak berdaya. Bahkan lembaga sosial Medicine Sans Frontiers telah memohon kepada Geldof untuk tidak mengeluarkan uang sampai ada struktur di lapangan yang dapat diandalkan untuk memberikan bantuan kepada para korban secara langsung tanpa harus melalui campur tangan pemerintah.

Peristiwa tersebut menjadi skandal paling memalukan di dunia musik dan kemanusiaan. Setelah 40 tahun tidak berkomentar dan memilih tutup mulut, akhirnya Bob Geldof membela diri membenarkan tindakannya dengan alasan bahwa dia akan berjabat tangan dengan iblis sekalipun jika hal itu akan membuat orang yang membutuhkan akan mendapatkan apa yang mereka butuhkan. Namun pada kenyataannya Geldof memang berjabat tangan dengan iblis dan iblis juga yang ternyata mendapatkan apa yang dia butuhkan. Dan yang lebih memalukannya lagi, Geldof menerima gelar ksatria kehormatan dari pemerintah Kerajaan Inggris atas aksi “kemanusiaan”nya.

Menggunakan musik untuk mengekspresikan niat baik, secara umum adalah salah satu fungsi yang paling jelas. Salah satu cara untuk mencapai pemahaman antar budaya dengan damai atau digunakan untuk membantu orang mengatasi masalah ketidakadilan musik sering digunakan sebagai jembatan komunikasi. Kelebihan musik yang mempunyai bahasa universal dan punya daya persuasif juga sering disalahgunakan. Ada yang memanfaatkan musik untuk tujuan-tujuan yang justru melanggar nilai kemanusiaan. Seperti penggunaan musik untuk tujuan propaganda untuk merubah perspektif manusia dengan tujuan meraih kekuasaan dan dominasi dengan jalan kekerasan dan digunakan dengan tujuan menghancurkan. Musik merupakan media yang ampuh dalam memfasilitasi berbagai proyek politik, baik untuk tujuan baik maupun jahat.

BACA JUGA - Gono Gini Royalti Musik Indonesia

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner