Musik dan Cara Unik Musisi Mendobrak Batasan

Musik dan Cara Unik Musisi Mendobrak Batasan

Semua macam pola kreasi seru dalam musik tidak akan terlahir jika para musisinya tidak ada keinginan untuk keluar dari ‘kotak’. Mendobrak itu perlu, karena kita tahu perubahan datang dari sesuatu yang didobrak.

Dari lagu hiburan nan ringan semacam tembang 80an ala Lilis Suryani, yang meyakini pergi ke bulan naik delman, hingga duo Bottlesmoker yang menggelar konser untuk tanaman, rasanya musik selalu menemukan bentuk kebebasan yang memang tanpa batas. Membuat utopia sendiri, di mana hal-hal ideal itu ada karena mereka yang merekanya. Mungkin sempat kalah dengan realitas, tapi kemudian dengan notasi dan lirik yang mereka tulis mereka kemudian berdiri membangun dunianya sendiri. Jika beruntung, akan ada puluhan bahkan ribuan pendengar yang mengamini apa yang mereka suarakan, layaknya Homicide, Eyefeelsix, atau mungkin Krowbar yang menghujankan semua macam kisah yang menjadi ganjalan di kepala mereka.

Ragam estetika karya coba dikenalkan dan menjadi gayanya masing-masing, ada yang setengah mati menjadi seorang perfeksionis, namun ada juga yang menjadi nihilis, layaknya Sungsang Lebam Telak, Mesin Tempur, atau Teenage Death Star dengan jargon “Skill Is Dead” nya. Semua layak diapresiasi karena mereka berangkat dengan apa yang mereka yakini. Semacam toko serba ada, dari mulai kebutuhan rumah tangga hingga perintilan kosmetik kecantikan. Pendengar dihadapkan pada banyak pilihan menikmati musik, dari yang mendayu sampai yang menyalak galak seperti Forgotten atau Seringai dengan barisan terlaknat dan serigala militia nya.

Tentang kebebasan bermusik, hal itu pernah menjadi sesuatu yang mahal kala tragedi AACC kemudian dijadikan kambing hitam, hingga banyak band ‘cadas’ terkena imbas pelarangan tampil di banyak acara di Bandung. Satu hal yang kemudian melatari lahirnya lagu “Dilarang di Bandung” milik Seringai. Tentang perampasan kebebasan itu pula yang kemudian membuat Arian 13 menuliskan lirik lagu “Mengadili Persepsi” (Bermain Tuhan), kala dia berteriak “Individu Merdeka”. Dia dan bandnya seakan masih keras kepala untuk terus menjalani fase remaja mereka kala memutuskan “Berhenti di 15”, dan mencetuskan generasi menolak tua sebagai ‘ideologinya’. Mereka tahu betul jika masa remaja adalah masa indah di mana kebebasan tidak ada batasnya. Dan menjadi tua? Bukan pilihan menyenangkan bagi mereka untuk terus menyalakan distorsi dalam lagu-lagunya.

Menuliskan kata merdeka memang mudah, karena tinggal mengeja m e r d e k a, tapi ketika itu dihubungkan menjadi sesuatu yang punya daya ledak, hal tersebut harus dilatari pula oleh keinginan untuk keluar dari ‘kotak’. Kelompok musik seperti Senyawa mungkin tidak akan pernah terlahir andai Rully dan Wukir tidak punya keinginan untuk keluar dari ‘kotak’. Mungkin tidak akan ada showcase penuh rima  dan kebisingan dari Indra Menus dan Joe Million, andai saja mereka terpaku pada ‘kotak’. Ketika awam menganggap ‘noise music’ tidak bisa dikatakan sebagai sebuah karya musik karena banyak pakem yang dilanggar habis-habisan, sebagian orang justru mengimaninya, serta menganggap hal tersebut sebagai petualangan seru, karena setiap bunyi yang mereka dengar adalah sebuah perayaan, termasuk ketika bebunyian noise atau bising menjadi pemeran utamanya.

Lalu ada pula Burgerkill yang berinisiatif menggabungkan musik metal dengan orkestra, dengan semua pola kreasi seru yang mereka buat. Menuju titik eargasm, karena tidak setiap hari kita menemukan ‘produk’ musik sebagus itu. Maka ketika lagu “Tiga Titik Hitam” dikombinasikan dengan barisan string section, hal tersebut menjadi cara yang tepat untuk kita melambungkan imajinasi sejauh mungkin. Dan di alam sana mungkin almarhum Ivan Scumbag tersenyum karena lagu yang dibuatnya dengan teman-temannya di Burgerkill mencapai titik baru, dengan level yang juga baru. Bahkan lebih tinggi.

Sekali lagi, semua macam pola kreasi seru tersebut tidak akan terlahir jika para musisinya tidak ada keinginan untuk keluar dari ‘kotak’. Mendobrak itu perlu, karena kita tahu perubahan datang dari sesuatu yang didobrak, seperti halnya blues yang didobrak rock n roll, lalu didobrak punk, lalu untuk mencapai tingkatan paling extreme, kemudian lahir pula metal, sebagai epsiode baru dari musik rock dengan tensi yang lebih tinggi, hingga lahir ‘musik peradaban’ yang katanya lebih keras dari musik metal itu. Sorry, cuma becanda. Hehe.

Apapun itu, menjadi merdeka dalam berkarya bisa jadi keharusan bagi seorang musisi, kecuali jika kamu memang memutuskan menjadi pegawai musik, yang sepanjang karir bermusiknya selalu berjibaku dengan karya orang lain. Bukan tidak boleh, hanya saja hal tersebut nyaris tanpa nilai, selain untuk menghibur dan menyambung hidup. In my humble opinion. 

BACA JUGA - Dari Olahraga Sampai Pernikahan, Semua Bisa Jadi Tema Dalam Musik

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner