Musik Bukan Agama, Boleh Dibecandain

Musik Bukan Agama, Boleh Dibecandain

Musik menjadi hal yang erat kaitannya dengan budaya popular, dan musisi atau band-band yang ada di dalamnya jadi santapan empuk, ketika itu dikombinasikan dengan hal-hal yang dijadikan pemancing tawa lewat parodi

Dalam beberapa kali kesempatan di gelaran DCDC Pengadilan Musik, Yoga PHB, personil dari grup orkes Pemuda Harapan Bangsa kerap kali memakai kaos plesetan, dari band-band yang menjadi terdakwa di Pengadilan Musik. Hal ini seakan menguatkan asumsi jika budaya parodi menjadi satu hal yang tidak bisa dipisahkan dalam ranah kreatif, termasuk dunia musik. Parodi juga pernah menjadi primadona ketika P Project sukses membawa namanya ke 'arus utama' dengan beberapa album parodi yang dirilis label rekaman besar, dan laris di pasaran.

Jika merunut pada disiplin ilmu komedi parodi adalah sebuah pola patahan logika, ketika apa yang dimunculkan ke permukaan nyatanya dibelokan dari apa yang umum diketahui banyak orang. Atau dalam istilah Kamengski (sebuah brand yang juga memakai parodi sebagai cirinya), jadi sebuah counter culture atau counter jamming, ketika Kamengski ‘menyerang’ sesuatu yang popular, dengan patahan logika yang jenaka, lewat kearifan lokal yang biasa ditemui sehari-hari.

Musik menjadi hal yang erat kaitannya dengan budaya popular, dan musisi atau band-band yang ada di dalamnya jadi santapan empuk, ketika itu dikombinasikan dengan hal-hal yang dijadikan sebuah jokes pemancing tawa, seperti yang dilakukan Yoga PHB dan Kamengski tadi. Namun hal jenaka tersebut bisa mengenai titik sasarannya jika orang yang menjadi target pasarnya tahu dengan dua hal yang dikombinasikan itu. Misalnya saja logo band Misfits, yang dikombinasikan dengan kata Misteri, atau plesetan Megadeth menjadi Megizeth. Dua hal tersebut, jika salah satunya tidak dikenal, maka sisi komedinya tidak akan sampai. Oleh karena itu, parodi ini harus melibatkan sesuatu yang memang sangat popular, agar tujuan untuk membelokan logika dari apa yang umum diketahui orang menjadi berhasil.

Selain dalam desain, lirik lagu, atau pun nama band, musik juga kerap jadi bahan becandaan dalam sebuah video klip. Blink 182 lewat video klip “All The Small Thing” pernah melakukan itu, kala mereka memparodikan video klip beberapa musisi pop Amerika dari mulai Backstreet Boys sampai Britney Spears. Lalu ada Bowling For Soup dengan video klip “Girl All The Bad Guys Want”, yang menggambarkan perseteruan band Limp Bizkit dan Slipknot dengan cara yang jenaka.

Selain dua band tadi, ada juga band Red Hot Chili Papers yang juga berparodi lewat video klip mereka berjudul “Dani California”. Video klip ini memparodikan era-era emas dalam dunia musik, dari zamannya musik 60’s, 70’s, 80’s, 90’s, sampai era milenium, lengkap dengan tampilan para personil Red Hot Chili Papers yang berubah jadi band-band yang mewakili pada tiap era mereka berjaya, dari mulai The Beatles, Kiss, sampai Nirvana.

Pola parodi seperti itu ditangkap juga oleh beberapa band lokal tanah air, yang merespon hal-hal popular yang diparodikan lewat video klipnya, seperti apa yang dilakukan oleh dua band pop punk tanah air, Rocket Rockers dan PeeWee Gaskin. Keduanya menduplikasi ide yang pernah dipakai band-band seperti Blink 182 dan Red Hot Chili Papers tadi lewat cara dan “rasa” mereka sendiri.

Hampir senada dengan video klip lagu “Dani California”, Rocket Rockers menyajikan lagu “Mimpi Menjadi Sarjana” dengan parodi klip-klip band popular Amerika seperti Green Day, Nirvana, bahkan Red Hot Chili Papers itu sendiri. Berbeda dengan Rocket Rockers yang membuat video klip parodi namun tidak ada hubungannya dengan isian lagunya, PeeWee Gaskin membawa “misi” lain dalam video klipnya, yang memang menjadi perpanjangan tangan dari konsep album terbaru mereka berjudul Salute To 90’s. PeeWee Gaskin membuat album dengan mengambil ide mesin waktu sebagai tema besar albumnya, yang dalam hal ini spesifik ke musik Indonesia tahun 90an.

Band-band seperti Dewa 19 dan Potret, yang lahir pada era awal 90an, sampai band Sheila On 7 yang lahir pada era 90an akhir, direspon oleh PeeWee Gaskin dalam bentuk album musik, dimana mereka mendaur ulang kembali lagu-lagu populer era 90an tersebut dengan aransemen yang lebih “kekinian”. Cara yang paling sejalan untuk menyambung ide itu adalah dengan sebuah video klip hasil olahan tangan sutradara Anggun Priambodo, lewat lagu berjudul "Salute To 90's" (“Dan”, “Salah”, “Kangen”).

Sebuah kombo menarik, dimana tiga lagu popular era 90an tersebut, digambarkan dengan cara yang unik, dari mulai latar tempat sampai kostum para personil PeeWee Gaskin itu sendiri yang dibuat mirip, seperti misalnya saat San San jadi Duta Sheila On 7 atau pun vokalis Potret, Melly Goeslaw. Uniknya lagi, latar tempat yang dibuat oleh Anggun tidak spesifik persis seperti video klip asli dari band-band 90an tadi, namun dibuat sedemikian rupa dengan ‘cita rasa’ Anggun, yang bisa dibilang “ngasal” tapi kreatif. Mengingatkan pada era tahun 2000an awal, ketika banyak band indie yang menginvasi MTV dengan beberapa video klip unik garapan dari Cerahati dan The Jadugar.

Bandung yang kental dengan budaya urang sunda yang suka bercanda kemudian tergambar pula dengan cara mereka melahirkan karya. Misalnya grup musik Burgerkill yang menamakan bandnya dari plesetan Burger King, atau sebuah band bernama Ragaji Mesin yang merupakan plesetan dari band Rage Againts The Machine. Tidak hanya sampai disana, perkara genre musik juga jadi satu hal yang tidak luput dari bahan becandaan para musisi, seperti contohnya band Mesin Tempur VS Kungpow Chicken yang ‘perang genre musik lewat lagu mereka. “hip hop apa itu hop, yang gua tau musiknya ngga ngetop” , kurang lebih seperti itu saat Mesin Tempur meledek grup hip hop, Kungpow Chicken.

Tentu hal-hal di atas ada dalam konteks bercanda, dan seperti judul artikel ini, “Musik Bukan Agama, Boleh Dibecandain”. Satu hal yang rupanya diamini pula oleh Sungsang Lebam Telak yang ‘meledek’ musik jazz yang dianggap ekslusif untuk orang-orang ‘berduit’. Dengan musik yang mereka namakan superjazz noise kontemporer mereka membawa jazz di club-club sempit berisikan orang-orang yang menuhankan pesta pora sebagai menu utamanya. Lepas dari musiknya ‘berkelas’ atau tidak, mereka persetankan, toh menurut mereka tidak ada istilah ‘anak emas’ untuk genre musik, termasuk jazz. Serius banget mengartikan musik, serius nya aja sudah tidak main musik. Eh masih ga sih?

BACA JUGA - Para Musisi Ini Berstatement Dengan 'Brand' Fashion Miliknya

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner