Metal Hibrida di Indonesia

Metal Hibrida di Indonesia

Satu pihak berpendapat, keroncong berasal dari Portugis masuk ke Indonesia abad ke-17. Para mestizo datang ke Batavia sebagai makelar kebudayaan musik itu. Pihak lain beranggapan, keroncong adalah asli ciptaan bangsa Indonesia. Asumsinya, musik keroncong sama sekali berbeda dengan musik-musik dari Portugis, bahkan di sana juga tak ada satupun lagu dinyanyikan seperti keroncong. Sementara, muncul pendapat di luar keduanya itu: keroncong justru berasal dari hasil sintesa artistik dari unsur musik Portugis abad ke-16 dan Indonesia yang  dipengaruhi budaya Islami bangsa Moor dari Afrika Utara yang masuk dan berkembang di Portugis.

Keroncong yang masuk ragam musik Indonesia ini memiliki jalinan historik dengan fado, jenis musik yang berkembang di Portugis. Sejarah keroncong di Indonesia dapat ditarik hingga akhir abad ke 16, di masa kekuatan Portugis mulai melemah di tanah air. Bentuk awal musik ini dikenal dengan nama moresco yang diiringi oleh instrumen musik petik seperti gitar, ukulele dan cello. Lalu, pengaruh musik lokal lewat menyusupnya instrumen seruling disertai beberapa anasir gamelan.

Sejak abad ke-19, musik hibrida ini mulai menjadi popular. Di era 1960-an, keroncong menempati tahta tertinggi di kuping khalayak. Bahkan, eksperimen membaurkan keroncong dengan format band modern pun terjadi. Gitar elektrik, keyboard dan drum pun mulai terdengar dalam rekaman keroncong milik The Steps, The Peels, Eka Sapta,The Rollies dan banyak lagi. Di tahun '70-an, grup-grup seperti Koes Plus hingga Favorite’s Group pun mulai menjamah keroncong.

Terlepas dari simpang siurnya tafsiran sejarah tersebut, musik keroncong lahir dari fenomena alkulturasi budaya. Kasusnya barangkali mirip dengan musik dangdut yang bagi sebagian ahli berpendapat musik yang berasal dari India dengan pengaruh Arab namun berhasil berakulturasi dengan budaya Indonesia hingga akhirnya dinyatakan sebagai musik asli Indonesia.

Dalam istilah George Ritzer, seorang profesor di bidang sosiologi, kemunculan musik dangdut ini disebut fenomena ‘glokalisasi’, yakni sebuah pengadopsian budaya global dengan citra dan rasa lokal. Contohnya seperti apa yang dilakukan oleh Rhoma Irama bersama bandnya Soneta yang menggabungkan dangdut dengan sentuhan musik hard rock dibalut lirik dengan tema dakwah dengan pesan moral. Dalam ilmu linguistik bisa disebut ‘kreolisasi’, di mana elemen-elemen bahasa lain diserap, namun kemudian dipraktikan tanpa mempertimbangkan makna aslinya.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner