Merilis Lagu Lewat Netlabel? Naif Ataukah Jalan Pintar Memperkenalkan Karya?

Merilis Lagu Lewat Netlabel? Naif Ataukah Jalan Pintar Memperkenalkan Karya?

Netlabel hadir sebagai perpanjangan tangan para musisi hingga namanya muncul ke permukaan dan dikenal lewat musiknya, atau sesederhana ingin berbagi karya lewat media yang sejalan dengan ideologinya

Empat tahun lalu, tepatnya pada bulan november 2014, Indonesian Netlabel Union menggelar gelarannya yang kedua bertajuk “Indonesian Netaudio Festival #2 di Bandung. Menjadi menarik ketika kemudian wacana ini berlanjut pada pembahasan tentang perlu tidaknya, untung ruginya jika merilis musik lewat jalur netlabel ini. Dalam culture file sharing yang sebenarnya sudah dimulai sejak era mixtape zaman kaset dulu, berbagi musik adalah satu hal yang menyenangkan dalam hal berbagi pengetahuan tentang musik. Memasuki era yang lebih mudah di dunia dalam digital, budaya file sharing ini masih bertahan, kali ini dengan nama netlabel. Polemik kemudian muncul ketika berbagai ragam musik yang dibagi lewat netlabel, atas nama perilisan album (mini album, album kompilasi), yang biasanya akan diteruskan dengan pembicaraan tentang keuntungan berupa royalti lagu dalam sebuah album.

Netlabel tidak memberikan royalti itu, selain keuntungan yang bisa didapat adalah nama yang muncul ke permukaan dan mulai dikenal banyak orang. Dari mulai Frau sampai Semak Belukar menjadi contoh kongkrit dari keuntungan bagaimana sebuah netlabel berjasa melahirkan “Starlit Carousel” sampai “Drohaka”.  Wacana tentang netlabel ini kemudian menjadi “memanas” ketika salah seorang penggiat musik bawah tanah, yang terbilang ‘senior’, mengatakan jika netlabel adalah sebuah kesalahan, atau dengan bahasa yang lebih kasarnya menjadi sebuah “oxymoron”, dengan orientasi musik yang menjual. Spirit berbagi musik menjadi disalah artikan dengan mindset money oriented.

Netlabel seperti Yesnowave misalnya, dalam beberapa kali rilisannya acapkali membuat kompilasi band-band dengan warna musik yang menarik. Meskipun dari segi teknis rekaman tidak mendapat predikat ‘well produce’, tapi nyatanya sound ‘raw’ beberapa lagu yang dirilis disana mempunyai nilai estetika tersendiri. Ketika pola bermain musik plug and play ini nyatanya punya ‘pasar’ nya tersendiri. Bagaimana ketika bunyi-bunyi bising yang dijadikan sebagai perayaan suara, jadi hal esensial, atau ketika sayup suara gitar kopong, hasil rekaman alakadarnya, yang memberi kesan intim, karena terasa jujur dan tanpa pretensi apapun. Hal-hal semacam ini mungkin hanya akan didapatkan dari rilisan-rilisan netlabel. Karena jika bicara label besar, estetika yang dibentuk pun berbeda, dan tentunya harus ada nilai jual untuk mendapatkan profit itu tadi.  Sampai pada akhirnya menjadi polemik ketika si musisi ada di satu kalimat untuk apa mereka bermusik? Untuk jualan atau berbagi karya? Menjadi realistis atau menjadi naif?

Sumber foto : Pinterest 

BACA JUGA - Peran Sosial Media Di Ranah Musik Independen

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner