Mengintip Senjata Andalan Fajar Satritama Dalam Setiap Penampilannya

Mengintip Senjata Andalan Fajar Satritama Dalam Setiap Penampilannya

Sumber Foto : Diambil dari akun instagram @fajarsatritama

Fajar Satriatama membuktikan bahwa bermain drum bukan hanya sekedar menggebuk drum, tetapi dibalik itu terdapat proses panjang yang harus dilalui untuk mencapai titik di mana kini ia berada

Eksistensi musik rock di Indonesia tentunya masih terus berkembang hingga saat ini. Dari era 50an hingga sekarang musik Rock selalu menjadi pilihan bagi para pecinta musik, terutama bagi kaum muda. Namun jauh sebelum era digital, untuk mengakses musik-musik Rock cukup sulit. Hanya kalangan menengah ke atas lah yang mampu menikmati musik Rock saat itu. Hal itu juga diakui oleh Denny Sakrie (penulis dan pengamat musik) dalam bukunya yang berjudul “100 Tahun Musik Indonesia”. Ia menyebutkan bahwa anak-anak muda kaum menengah ke atas mengenal lagu-lagu rock lewat piringan hitam, yang notabene memiliki harga relatif cukup mahal.

Berbicara seputar musik rock di Indonesia, maka akan terasa sangat pas jika God Bless dan Edane masuk ke dalam daftar band Rock terbaik. Berkat lagu-lagunya yang selalu mampu menarik perhatian, God Bless dan Edane sukses malang melintang menjajaki kota-kota di Indonesia bahkan sampai menggelar konser di luar negeri. Di balik musik-musiknya yang cadas, terdapat seorang penggebuk drum handal yang mampu menambah warna permainan dari GodBless dan Edane yaitu Fajar Satriatama. Di sela-sela syuting program DCDC X NGEDRUM SKOOL, tim DCDC mewawancarai Fajar Satriatama seputar drum.

Di awal pembicaraan, Fajar mulai menceritakan bagaimana awalnya ia mulai tertarik untuk menggebuk drum. Fajar mengatakan bahwa saat dirinya memasuki kelas dua SMP, dirinya mulai tertarik pada drum yang terinspirasi dari kakak kelasnya saat pensi di sekolahnya. Fajar melihat kakak kelasnya itu membawakan lagu “Eye Of The Tiger” (soundtrack film Rocky) milik band Survivor dan saat itu juga Fajar berambisi untuk menjadi pemain drum. “Awalnya saya nonton kakak kelas saya ketika pensi di sekolah, saya waktu itu kelas satu SMP ngeliat kakak kelas mainin lagu rock dan yang main drum itu ternyata tetangga saya. Sejak itu kayanya yang memicu saya buat bisa main drum.” Jelas Fajar.

Pada saat itu Fajar mulai meminta kepada orang tuanya untuk dibelikan drum sebagai hadiah naik kelas. Fajar mengakui bahwa pada saat itu secara kebetulan drum pertama yang ia beli bermerk Tama yang dibeli di toko Jakarta Musik, daerah Mangga Besar. Setelah itu Fajar mulai sering berlatih secara otodidak yang ia rasa sangat sulit sekali. Lambat laun, Fajar mulai menemukan polanya dalam bermain drum hingga akhirnya ia menguasai drum meskipun belum terlalu lihai. “Waktu itu saya tetep gak bisa-bisa, saya ngerasa rumit banget nyelarasin antara kedua tangan dan kaki. Lalu saya tetep penasaran dan coba terus latihan sendiri, akhirnya saya nemu pola bermainnya.” Ucap Fajar.

Memiliki selera musik seperti Deep Purple dan Genesis, Fajar merasa lagu-lagu dari band tersebut memiliki tempo yang terlalu cepat dan ia belum sanggup untuk membawakan lagu-lagu tersebut. Dari saat itulah Fajar kagum dengan permainan drum Phil Collins. Beranjak memasuki SMA, Fajar diajak teman-temannya untuk memainkan lagu-lagu Progressive Rock seperti Rush, Genesis dan Yes yang akhirnya membuat Fajar mulai belajar pola-pola drum yang lebih rumit. Semenjak itulah Fajar sering latihan membawakan lagu-lagu Rock jaman dulu seperti Scorpion dan Iron Maiden karena teman-temannya menyuruhnya untuk mengulik lagu-lagu tersebut. Akhirnya Fajar mulai serius menekuni drum hingga sekarang.

Memasuki bangku kuliah, Fajar bertemu dengan Eet Sjahranie dan mulai akrab semenjak Fajar sering bermain bersama Eet. Kemudian setelah kedekatannya itu Eet sering menceritakan tentang John Bonham (Led Zeppelin) dan Fajar mulai memperhatikan cara bermain drum Bonham. Fajar mengakui sebelum diceritakan oleh Eet, Led Zeppelin terasa sangat heavy, dark dan suram sehingga Fajar lebih memilih musik-musik Deep Purple. Lama kelamaan Fajar mulai sadar dan menyukai gaya permainan drum Bonham. “Tapi lama kelamaan saya mulai sadar kalo Bonham ini main drumnya emang gila dan saya mulai menyukai gaya ngedrumnya John Bonham.” Ucap Fajar.

Tak hanya drummer-drummer musik keras, Fajar mengakui bahwa dirinya juga menyukai beberapa drummer Jazz seperti Dave Weck, Vinnie Colaiuta dan Steve Gadd. Kemudian Fajar juga menyukai drummer-drummer Progressive Rock era sekarang seperti Gavin Harrison, Denny Carey dan Mike Mangini yang secara keseluruhan semuanya menjadi inspirasi Fajar dalam bermain drum. Namun dari segi sound, Fajar lebih tertarik kepada John Bonham, Gavin Harrison dan Phil Collins.

Lebih jauh membahas drum, Tama adalah merk drum yang kini Fajar pakai. Berawal dari tawaran endors, Fajar kemudian mulai mencoba drum itu dengan membawanya ke studio rekaman yang waktu itu Edane sedang merekam album 170 Volts. Ketika di studio rekaman, proses take suara drum menggunakan berbagai macam merk drum. Namun setelah selesai rekaman, drum Tama lah yang dirasa cocok dengan musik-musik Edane. “Waktu itu juga ada beberapa set drum dengan merk berbeda dan hasil rekaman dari monitor room temen-temen bilang kalo sound dari drum Tama ini yang paling enak.” Jelas Fajar. Perbedaan yang paling mencolok antara drum Tama dengan drum lainnya Fajar akui bahwa perbedaannya jelas dari segi sound. “Perbedaannya jelas sih di sound. Karena saya gak terlalu terpengaruh sama penampilan dan harga, tapi kalo emang soundnya masuk itu yang lebih penting.” Tambahnya.

Untuk setelan drumnya sendiri Fajar mengatakan jika saat bermain bersama GodBlees, ia lebih memilih setelan yang cenderung lebih loose dari sisi bass drum atau kicknya. Ia mengakui bahwa musik GobBless tidak terlalu tight. Berbeda dengan Edane yang cenderung memiliki musik yang lebih tight, hingga Fajar memilih setelan bass drum dengan high pitch. Dari sisi snare, Fajar menjelaskan bahwa setelan snare yang digunakan di GodBless dan Edane tidak jauh berbeda. Namun yang membedakan dengan drum lain adalah dari sisi brass yang menggunakan head drum Aquarian Texture Coated with Dot Under dengan tuning medium. Sedangkan untuk Tom-tom, Fajar mengakui bahwa belakangan ini dirinya sedang menyukai tom-tom jenis Coated Remo Ambassador. Alasan dirinya menyukai jenis itu karena ia menyukai sound tom-tom dari Gavin Harrison dan Fajar ingin mengikutinya.

Diakhir pembicaraan, Fajar berharap dengan adanya program DCDC X NGEDRUM SKOOL bisa menjadi wadah bagi drummer-drummer dalam menampilkan kreasinya, “Harapannya sih semoga acara DCDC X NGEDRUM SKOOL bisa menjadi wadah bagi para drummer-drummer dalam menampilkan kreasi mereka. Karena sekarang banyak banget bibit-bibit muda yang berpotensial dalam bermain drum. Jadi semoga acara ini bisa menjadi inspirasi bagi mereka.” Tutup Fajar. Dalam hal ini Fajar Satriatama membuktikan bahwa bermain drum bukan hanya sekedar menggebuk drum, tetapi dibalik itu terdapat proses panjang yang harus dilalui untuk mencapai titik di mana kini ia berada. Semoga sehat selalu Om Fajar Satriatama.

BACA JUGA - Bambu Wukir : Instrumen Eksperimental Ciptaan Wukir Suryadi

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner