Mengingat Kembali Acara Diskusi Tentang Pengarsipan Scene Lokal

Mengingat Kembali Acara Diskusi Tentang Pengarsipan Scene Lokal

Sumber foto : Dok. Pribadi 133CGNDWH Public Space

Acara ini cukup bisa menjelaskan definisi antara dokumentasi dan pengarsipan, dengan wadah yang memang concern menulis secara konsisten, dan manajemen, atau lembaga yang mengelola kearsipan itu sendiri.

Sekitar tiga tahun lalu, tepatnya tanggal 26 April 2015, di sebuah kawasan yang terkenal sebagai central kain yang cukup besar di kota Bandung, Cigondewah, menyuguhkan keriaan dalam bentuk pertunjukan musik, serta diskusi mengenai dokumentasi dan pengarsipan scene musik lokal. Acara ini terselenggara atas kerja sama dari teman-teman 133 CGNDWHH Public Space, dengan beberapa pembicara, seperti Eko Wustuk (penulis buku “Saya Ada Disana”), Ojel, Jatnika “Aang” (sebagai orang yang tumbuh besar di scene musik kota Bandung), Fanny “Beatheaven”, Eski “Cupumanik”, Dadi and The Yeehaw, Bandung Lost Dog, juga Eddy Selenoid, sebagai orang yang membawa wacana pengarsipan dalam konteks scene musik lokal ke dalam materi diskusi.

Sebagai pembuka, Eko Wustuk yang juga menulis buku “Saya Ada Disana”, sedikit banyak memaparkan kenapa akhirnya dia menulis buku “Saya Ada Disana”, yang berisikan catatan dia akan scene musik grunge, dari sudut pandang dia. Eko menjelaskan jika bukunya itu bersifat subjektif, sesederhana dia suka dengan apa yang dilihat dan didengar ketika dia datang ke sebuah gigs, lalu dia menuliskannya. Sekitar 5 tahun dia nonton konser musik lokal, lebih kurangnya ada 70 konser dia datangi, yang dengan rajin dia tulis setiap konser yang dia tonton. Catatan-catatan itulah yang akhirnya dia rangkum jadi sebuah buku “Saya Ada Disana” tadi.

Selain Eko ada juga Ojel, Dadi, Fanny, dan Eski, yang dulunya sempat aktif di scene musik lokal, atau lebih spesifik dalam lingkup jalan Purnawarman (sekarang jadi BEC). Bagaimana ketika itu pergerakan scene musik yang ada di Bandung sedang bergeliat, namun tidak ditunjang dengan kesadaran akan dokumentasi dan kearsipan. Sampai akhirnya sekitar tahun 2000an awal, ketika tempat nongkrong mereka dijadikan BEC (sebuah pusat belanja elektronik terbesar di Bandung) Ojel aktif menulis, dan menyadarai pentingnya dokumentasi untuk sebuah arsip, agar pergerakan scene musik di Bandung tidak hanya sebatas katanya saja. Bahkan saat ini, dia sedang terlibat penulisan buku "Bandung Bawah Tanah", yang diinisiasi oleh Kimung, dengan melibatkan sekitar 12 orang penulis, dengan 12 seri buku, dari berbagai macam genre musik dan pergerakan lainnya, seperti zine, record label, dan merchandise.

Ditambahkan pula oleh Dadi tentang era dimana sebuah arsip menemukan wadah dalam bentuk zine foto kopian. Ketika itu kesadaran akan sebuah pengarsipan mulai muncul dari beberapa tempat di Bandung, seperti misalnya komunitas Purna itu sendiri sampai Ujung Berung, dengan Kimung yang aktif dalam menulis. Sedikit berbicara tentang Kimung, yang juga punya concern tentang pengarsipan dalam bentuk literasi, salah satunya lewat buku "Ujung Berung Rebel" yang dia buat. Namun dengan adanya buku itupun kendala masih terasa, seperti misalnya akses untuk mendapatkan buku itu dan lain sebagainya. Hal inilah yang menarik minat kang Jatnika atau biasa dipanggil Aang untuk membuat bandungunderground.com. Menurutnya akses internet di era sekarang terbilang mudah, untuk orang yang ingin mencari rujukan tentang pergerakan scene ini. Pengarsipan dalam format digital lewat internet ini sendiri mulai bergeliat belakangan ini. Salah satunya situs weneedmorestages.com, yang diinisiasi oleh Wok The Rock.

Selain itu disinggung pula soal rilisan album fisik yang belakangan kembali bergairah. Artefak sejarah musik lokal, yang dikemas dalam bentuk album ini setidaknya memberi gambaran tentang musik lokal era dulu sampai sekarang. Lepas dari “boomingnya” lagi rilisan fisik ini sekedar trend sesaat atau memang keinginan rasa ingin “memiliki”, dengan mempunyai bentuk utuh sebuah album, culture ini dinilai sesuatu yang positif sebagai bentuk dokumentasi dan pengarsipan.

Meskipun menurut Eski, kita lebih terbiasa dengan budaya oral dibanding budaya literasi atau pencatatan. Era internet ini seharusnya bisa memberikan wadah bagi pengarsipan itu sendiri. Beberapa penulis yang concern dan konsisten merangkum berbagai pergerakan scene lokal sekarang ini pun mulai banyak bermunculan. Namun hal inipun harus ditunjang pula dengan wacana yang menarik untuk diangkat. Karena apa menariknya menuliskan konser tribute, yang lagi-lagi diangkat sebagai tema sebuah acara. Juga dari sisi komunitasnya juga baiknya sadar akan media, dan mau melibatkannya sebagai wadah untuk sebuah dokumentasi dan pengarsipan.

BACA JUGA - DCDC Substereo : Bersenandung Dalam Alunan Indie Rock ala Veskil

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner