Mencari Relevansi Musik Folk dan Taman

Mencari Relevansi Musik Folk dan Taman

Sumber foto : https://wallup.net

Apa yang membuat taman menjadi gambaran ideal tentang tempat yang menyenangkan? sampai kemudian hal itu ditangkap dan dihadirkan jadi sebuah analogi, jika hal-hal indah itu terwakili dengan gambaran sebuah taman.

Sebuah lagu pada akhirnya akan diapresiasi beragam oleh pendengarnya. Apresiasi yang beragam itu melahirkan berbagai gambaran dari tiap ruang imajinasi pendengarnya. Sampai kemudian orang yang menginterpretasikan tersebut pun melahirkan lagu baru hasil ciptaannya. Referensi yang dirasakan pencipta lagu tak lepas dari input yang dia dengarkan. Bukan tanpa alasan, jika pada akhirnya para pencipta lagu metal misalnya, terbiasa menggambarkan lagunya dengan atmosfir gelap, atau sesuatu yang terbilang muram, dan jadi kontradiksi dari hal-hal indah seperti warna-warni pelangi di sebuah taman di sore hari misalnya.

Hal-hal tersebut pada akhirnya jadi sebuah keidentikan, seperti musik metal tadi misalnya. Kemudian ketika ini mengarahkan pada musik folk atau indiepop, hal-hal yang tergambar pada ruang imajinasi penikmatnya, seperti mengarah pada hal utopis tentang dunia bernama utopia. Dalam gambaran sederhananya, mereka menerjemahkan itu dalam bentuk sebuah taman yang indah. Cukup banyak band-band yang memainkan musik folk atau indiepop misalnya, menganalogikan karya nya lewat gambaran sebuah taman. Ada Pure Saturday dengan lagunya yang berjudul “Di Bangku Taman”, atau beberapa band yang memasukan kata taman dalam nama bandnya, seperti Bangkutaman, Tamankota, atau Taman Nada.

Selain itu, dari penggiat musik folk juga seakan “mengarahkan” imajinasi pendengarnya lewat gambaran sebuah taman yang indah. Hal ini kemudian dengan gamblang dijelaskan lewat beberapa isian lirik lagunya, sajian visual nya (cover album, artwork band, merch, etc), maupun pertunjukan yang digelar di sebuah taman, atau dalam ruang lingkup yang lebih luas, digelar di hutan atau gunung misalnya. Ini jadi satu hal yang menarik untuk dibahas sekaligus dipertanyakan, kenapa hal-hal imajinatif seperti itu seperti mengarah pada pola-pola tertentu, dan akhirnya menjadi identik.

Rasanya janggal jika interpretasi setiap orang akan sesuatu harus diarahkan pada analogi tertentu. Kalaupun memang itu jadi hal yang memang mewakili nuansa yang dihadirkan sebuah aliran musik, maka pertanyaannya adalah, siapa yang mengawali jika musik metal harus dengan analogi dystopia nya, lewat sebuah potret kehancuran atau hal-hal muram dan kemarahan. Lalu musik folk lewat analogi utopia nya, dengan gambaran taman yang indah tadi. Pertanyaan tersebut mungkin akan jadi menarik ketika diaplikasikan lewat sebuah vidio musik Burgerkill, dengan latar sebuah taman dan taburan warna pelangi di sore hari. Dan sebaliknya, kelompok musik Float yang notabene nya memainkan musik folk, menyajikan ilsutrasi logo bandnya dengan pemilihan huruf yang lengkap dengan aksen berdarah-darah, atau akar-akar pohon seperti halnya band Jasad misalnya.   

Kembali ke pertanyaan tentang relevansi musik folk dan taman. Apa yang membuat taman menjadi gambaran ideal tentang tempat yang menyenangkan? Seperti halnya di sebuah kota berjuluk kota kreatif dengan taman-taman kota yang bertebaran, dan katanya menghasilkan index of happiness tinggi warganya itu. Apakah masih relevan, kala itu dihadapkan pada keluhan tentang kemacetan, saat setiap orang memasang muka kelelahan di setiap persimpangan jalan. Mungkin untuk hal ini, para penggiat musik folk atau indiepop, harus mengganti analogi taman tadi dengan gambaran kamar dan kasur yang empuk. Karena sesungguhnya, hanya dengan kasur lah kita menjalin hubungan yang menyenangkan, dimana setiap inci sudutnya menjadi tempat melepas lelah untuk beristirahat, setelah lelah dengan semua kemacetan, dan hiruk pikuk pola hidup kaum urban.

BACA JUGA - A Page About : Folk Dan Kedalaman Narasi Dalam Bunyi Dawainya

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner