Membaca Arah Tren Millenials Lewat Didi Kempot, Koplo, dan Andika

Membaca Arah Tren Millenials Lewat Didi Kempot, Koplo, dan Andika

Menariknya, ada kecenderungan remaja sekarang menggemari sesuatu yang sebelumnya mungkin dianggap norak atau bahkan di luar radar lingkaran anak muda.

Salah satu fungsi dari menulis adalah merekam suatu masa, dan menghentikannya sejenak, karena dengan tulisan waktu terasa berhenti, seiring dengan kalimat yang kita baca sampai titik terakhir. Seseorang yang menulis pada era 90an mungkin akan berkisah tentang kedigdayaan musik alternative menginvasi dunia, termasuk Indonesia, yang juga terkena demam musik alternative, dengan MTV sebagai biang keladinya. Saluran TV ini selama 24 jam dalam tujuh hari berturut-turut terus memutarkan lagu-lagu dari musisi dunia, yang sedikit banyaknya kemudian jadi sebuah budaya dan cara baru mengkonsumsi musik.

Beranjak ke era sekarang, dengan youtube yang menjadi rujukan banyak anak muda mendapatkan referensi musik, atau pun hal lainnya, yang menurut mereka hype atau hits. Menariknya, ada kecenderungan remaja sekarang menggemari sesuatu yang sebelumnya mungkin dianggap norak atau bahkan di luar radar lingkaran anak muda. Contohnya Didi Kempot misalnya. Penyanyi campur sari yang hampir semua karyanya menggunakan bahasa daerah ini, kemudian direspon banyak anak muda sebagai sesuatu yang cult, hingga hal tersebut kemudian mereka blow up, dan pada akhirnya Didi Kempot dinilai relevan, dengan banyak anak muda masa kini.

Meski menyajikan lagu-lagunya dengan menggunakan bahasa daerah, nyatanya hal tersebut masih bisa ‘dimakan’ oleh banyak millenials di panggung-panggung, yang melibatkan Didi Kempot sebagai penampilnya. Bahkan ada semacam branding yang dibangun bersamaan dengan kemunculan Didi Kempot ini, dimana lirik-lirik lagunya yang banyak dinilai galau tersebut, kemudian menjadi bertolak belakang dengan musiknya, yang bisa dibilang riang. Maka dari itu sampai ada istilah : “Sedih, jogetin aja”. Jargon tersebut kemudian menjadi popular dan disambut gegap gempita oleh millenials, yang merasa terhubung dengan pembentukan citra tersebut.

Didi kempot dengan musik campur sarinya yang ‘menjogeti’ kesedihan, menemukan tandemnya yang juga sebelumnya tidak masuk radar anak muda. Koplo. Bertahun-tahun ke belakang, mungkin tidak sedikit anak muda urban yang mencibir musik koplo, mengingat musik semacam ini kadung identik dengan orang-orang pinggiran, jauh dari hingar bingar kota urban, dengan segala macam ‘ego centris’ mereka dalam menilai sesuatu, di luar lingkarannya. Hal tersebut kemudian berbanding terbalik, ketika anak muda ‘hari ini’ menyuguhkan musik koplo di panggung-panggung yang dinilai prestisius bagi anak muda urban ‘heiiits’ masa kini.

Selain itu, menariknya lagi sosok seperti Andika Kangen Band pun menjadi sesuatu yang dinilai ‘cult’, dan berbanding terbalik sangat jauh, ketika pada tahun-tahun sebelumnya dinilai ‘mengotori’ wajah musik negeri (mengambil istilah Cupumanik dalam lagu “Grunge Harga Mati”-red). Entah diangkat ke permukaan sebagai bulan-bulanan, atau memang karyanya dianggap relevan dengan banyak anak muda? Jawabannya mungkin, sebenarnya cukup banyak anak muda yang terdoktrin ‘karya’ si 'babang tamvan' ini sebelumnya, hanya saja mereka masih sungkan jika mendapuk diri sebagai penikmat karyanya, hingga kemudian ketika ada yang membawa Andika ke permukaan, maka perasaan sungkan tersebut seakan mendapatkan tempat untuk diluapkan, oleh apa yang mereka sebut dengan ‘kebebasan berekspresi’.

Jadi jika ada pertanyaan tentang apa yang akan seseorang tuliskan tentang masa sekarang ini, maka Didi Kempot, Koplo, dan Andika mungkin akan menjadi jawabannya, ketika seseorang yang pada era 90an menuliskan Kurt Cobain sebagai musisi paling berpengaruh saat itu. Coklatfriends punya pendapat lain? Tuliskan di kolom komentar ya.

BACA JUGA - Menggoreng Isu Demi Mendapat Panggung?

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner