Masih Ada Cuan Diantara Kita

Masih Ada Cuan Diantara Kita

Dalam rubrik berbisnis musik edisi ini kami mencoba merangkum beberapa aktivitas ekonomi kawan-kawan yang mencoba mempertahankan bisnis mereka ditengah segala keterbatasan

Akhirnya sampailah kita pada penghujung akhir tahun 2021. Sebetulnya secara umum situasi tidak banyak yang berubah setelah krisis pandemi melanda dunia. Walaupun dalam satu tahun terakhir secara perlahan grafik populasi yang terinfeksi terus melandai dan grafik populasi yang divaksin terus mengalami peningkatan. Itu adalah berita baik yang selama satu tahun ini kita simak, namun dampak berkepanjangan pasca covid masih bisa kita rasakan hingga kini, terutama sektor ekonomi dunia musik.

Bagi banyak orang yang bergerak  di bisnis yang berhubungan dengan musik, salah satu dampak pandemi yang masih dirasakan hingga sekarang adalah menurunnya daya beli masyarakat pecinta musik. Sebuah fenomena yang wajar, mengingat pada masa sulit orang menjadi cenderung lebih selektif dalam membelanjakan uangnya. Fokus mereka lebih kepada memenuhi kebutuhan dasar untuk bertahan hidup. Sederhananya mereka lebih memilih beli beras dan harus berfikir seribu kali untuk membeli rilisan cd album terbaru dan merchandise band. Hal ini tentu menjadi sebuah persoalan  besar bagi para pelaku yang berkecimpung dalam bisnis musik.

Bagi band dan musisi salah satu cara untuk mempertahankan eksistensi di dunia musik mereka lebih memilih untuk merilis karya secara digital, memanfaatkan pelantar digital yang bertebaran di jagat maya. Tujuannya tentu bukan untuk mencari keuntungan secara ekonomi, namun lebih kepada menjaga relasi dengan para pendengar setianya dan proses penyebaran karya yang dinilai lebih praktis. Namun justru karena berubahnya orientasi bisnis tersebut membuat sektor yang lain terganggu. Kawan-kawan yang menggeluti bisnis toko retail atau sebutan popular diranah musik indie adalah distro musik menjadi kelimpungan. Disamping aturan pembatasan sosial yang tidak memungkinkan untuk membuka toko fisik, sepinya rilisan fisik juga turut mempengaruhi minat konsumen untuk berbelanja.

Beberapa distro musik yang menjual produk rekaman dan band akhirnya terpaksa gulung tikar. Ongkos kontrak tempat berjualan dengan pemasukan tidak sebanding adalah alasan utama mereka. Namun ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa kreativitas adalah tanda dari kemiskinan. Tanda-tanda tersebut sudah mulai bisa terbaca dengan makin maraknya kreativitas menyikapi situasi pandemi.

Dalam rubrik berbisnis musik edisi ini kami mencoba merangkum beberapa aktivitas ekonomi kawan-kawan yang mencoba mempertahankan bisnis mereka ditengah segala keterbatasan. Berikut adalah beberapa cara yang dilakukan menjalankan bisnis musik dimasa pandemi.

1. Jualan Secara Online.

Cara ini dinilai menjadi solusi sementara untuk menghemat biaya sewa tempat. Biasanya pelantar sosial media seperti Instagram, facebook dan twitter menjadi kantor mereka untuk menawarkan dagangan. Namun dengan sistem transaksi dan jual beli yang masih mengandalkan kepercayaan konsumen banyak dari mereka (konsumen) yang merasa ragu untuk bertransaksi. Banyak kasus penipuan dengan sistem seperti ini.

2. Buka Warung Digital di Marketplace.

Dengan makin banyaknya marketplace sebagai pihak ketiga yang hadir di jagat maya membuka peluang dan kesempatan untuk tetap dapat menjangkau konsumen. Walaupun bagi sebagian pelaku bisnis cara ini dinilai masih terlalu rumit dan butuh proses administrasi. Namun dengan adanya fasilitas rekening bersama membuat konsumen merasa aman untuk melakukan transaksi. Ditambah dengan maraknya program diskon diberbagai pelantar marketplace menjadi buruan konsumen.

3. Sistem Penjualan Pre-order.

Sistem penjualan ini menjadi solusi bagi para pelaku bisnis karena mereka tidak harus mengeluarkan modal diawal produksi. Proses jual beli terjadi sebelum barang diproduksi. Sistem ini banyak dilakukan oleh band ketika mereka merilis produk rekaman atau merchandise. Sistem ini dinilai aman secara bisnis namun konsumen harus menunggu dengan sabar hingga akhirnya produk selesai diproduksi dan sampai ditangan mereka.

4. Sistem Penjualan Bundling.

Sistem ini dilakukan ketika ada satu produk yang memang susah untuk terjual. Biasanya penjual mensiasati dengan cara menjual produk tersebut disatukan dengan produk yang lebih diminati oleh konsumen. Misalnya produk CD atau piringan hitam yang dijual sepaket dengan t-shirt. Tentu dengan iming-iming harga yang ditawarkan menjadi jauh lebih murah. Namun sistem ini secara market cenderung menjadi lebih terbatas. Dalam bisnis musik biasanya target yang dituju lebih kepada para kolektor yang memang ingin melengkapi koleksi mereka.

Sejauh ini sistem bisnis tersebut banyak memberi solusi para pelaku yang bergerak di bisnis musik. Selain tentu saja faktor promosi dan kualitas produk tersebut tetap menjadi kunci dari keberhasilan penjualan. Terkadang situasi sulit melahirkan banyak solusi dan tentu saja masih ada cuan diantara kita. Semoga berlanjut hingga tahun berganti.

BACA JUGA - Parodi : Trik Menarik Dalam Bisnis Kaos Musik

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner