Maha Benar ‘Music Snob’ Dengan Segala Analisanya

Maha Benar ‘Music Snob’ Dengan Segala Analisanya

Tentang snob-snob an ini biasanya akan terlihat berseliweran di berbagai akun sosial medianya masing-masing sembari pamer selera musiknya, lengkap dengan analisanya yang melebihi jurnalis musik sekalipun

Suatu hari teman saya pernah berujar seperti ini “perasaan dulu kalo orang mau ngopi ya ngopi aja, ngga usah jadi harus ngeribetin asal usul kopinya darimana, kopinya pake gula atau ngga, diaduk atau ngga. Terus mereka bisa ngobrol tentang apapun, dari mulai yang receh sampai hal-hal filosofis soal hidup, bukannya malah ngobrol berjam-jam ngomongin soal filosofi kopi. Gilanya lagi kalo mereka ngelihat ada orang yang nyeduh kopi sachet itu bisa dibully abis-abisan. Emang kenapa sih?”. Setengah menggerutu teman saya kemudian mengatakan “dasar coffee snob!”. Saya yang mendengar itu cuma bisa tersenyum tipis sambil diam-diam mengiyakan pendapat teman saya. Ada benarnya juga saya pikir.

Orang ngopi sekarang jadi ada kastanya, dari mulai kasta warung kopi sachet (biasanya lengkap dengan gorengan dan mie instan), sampai coffee shop yang menyediakan berbagai jenis kopi entah dari mana ngga ngerti juga. Perbedaan mencolok dari kedua tempat ini biasanya seputar obrolannya. Kalau di warung kopi sachet biasanya obrolan berkutat seputar hidup, cara bertahan hidup, dan sedikit memaknai hidup dengan kepasrahan atau bahkan perlawanan. Namun mereka masih sempat menyelipkan lelucon segar ditengah obrolan. Karena itulah meski hidup mereka susah mereka masih bisa tertawa lepas sambil menyeruput kopi sachet harga ekonomis. Pakai gula atau tanpa gula, mereka persetankan, karena yang terpenting obrolan dan nongkrongnya, bukan kopinya.

Sedangkan di coffee shop biasanya obrolan berkutat seputar citra dan bagaimana mereka ingin dilihat. Menjadi sesuatu yang prestis dengan konsep, konten, dan hal-hal lainnya yang berhubungan dengan pembuktian diri. Tidak jarang disela-sela obrolan tersebut, sambil menyeruput kopi mereka analisis kadar kopi tersebut, asal kopi, hingga hal detail lainnya yang kemudian ditutup dengan menertawakan kubu pecinta kopi sachet harga ekonomis. “kasian ya mereka ga tahu kopi enak kaya gimana”, ujarnya.

Hal ini kemudian berbanding lurus pula dengan para pemerhati musik yang anti lagu-lagu arus utama. Seperti halnya kopi sachet yang diharamkan karena kadar ‘pasarannya’, para music snob ini juga seperti mengharamkan untuk mendengarkan lagu-lagu dari Padi, Dewa, Sheila On 7, dan lainnya yang ada di arus utama. Sebaliknya, mereka akan berceloteh panjang lebar tentang musik-musik ‘aneh’ bin ajaib yang hanya didengar oleh segelintir orang saja. Ketika band yang mereka dengarkan kemudian mendapat perhatian dan pendengar yang lebih banyak, dengan serta merta mereka mundur dan mencari band ‘aneh’ lainnya untuk mereka bedah musikalitasnya.

Sebenarnya tidak ada yang salah ketika seseorang ingin tahu lebih jauh soal kopi, musik, atau apapun itu, namun kemudian menjadi sedikit menggelikan ketika mereka menjadi seolah paling tahu tentang itu. Mengartikan kopi dan musik jadi sesuatu yang harus diimani layaknya agama dengan semua aturannya, rasanya akan menjadi berlebihan. Namun, ada juga yang menganggap kopi dan musik hanya pelengkap saja, tidak menempatkannya di urutan pertama, karena alih-alih menghabiskan energi untuk menganalisa kopi dan musik yang baik, tenaga mereka kemudian dihabiskan untuk mencari pendamping yang tepat, untuk menemani ngopi dengan iringan musik yang menarik. Apalah artinya ngopi dan mendengar musik jika sendirian. Eeeaaa.

Tentang snob-snob an ini biasanya akan terlihat berseliweran di berbagai akun sosial medianya masing-masing sembari pamer selera musiknya. Mungkin banyak diantara kita yang kemudian menjadi awkward ketika berhadapan dengan orang seperti ini. Suatu hari saya dan seorang teman sedang mendengarkan lagu Dewa 19, “Risalah Hati”. Kami berpendapat lirik lagu tersebut bagus dan bisa related dengan perasaan kami saat itu. Namun, lalu datanglah si music snob ini. “yaah lagu kaya gitu doang apa bagusnya. Dengerin tuh nih .Feast, liriknya kritis dan kekiri-kirian gitu lah”. Respon terbaik menanggapi itu adalah tersenyum, karena berdebat akan hal itu adalah kesia-siaan belaka.

Tentu dengan semua nyali yang tersisa ingin rasanya menghajar mulutnya dengan satu dua pukulan, tapi balik lagi, itu adalah kesia-siaan belaka. Tidak lama setelah itu si music snob kembali berujar. “ini bagus nih Anarcute. Ngepunk banget. Mereka bisa menunjukan kalo band punk itu bisa bikin lagu cinta dengan gagah”. Mendengar analisa dia yang terakhir akhirnya saya ga tahan dan terpaksa harus mendaratkan pukulan. Saya pikir ini sudah keterlaluan. Jangankan bisa dikatakan bagus, mendekati jelek aja masih jauh. ‘Total chaos’ mungkin lebih tepat.

BACA JUGA - 'Supergrup' : Proyek Ambisius Gabungan Musisi ‘All Star’

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner