Lagu-Lagu ‘Kacangan?’ Dibenci Tapi Dinikmati

Lagu-Lagu ‘Kacangan?’ Dibenci Tapi Dinikmati

Seberapa bencinya kita terhadap lagu-lagu ‘kacangan’  arus utama, nyatanya kita semakin hafal dengan lirik-lirik lagu tersebut. Kondisi seperti ini sering datang tanpa diundang, muncul di luar kendali

Beberapa diantara kita tidak sedikit yang merasa jika urusan selera musik menjadi prestisius dan berpengaruh besar pada citra dirinya. Banyak diantaranya yang kemudian menjadi ketagihan untuk pamer selera musik di banyak platform, dari mulai twitter dengan tagar nowplaying nya itu, hingga unggahan insta story yang memasang lagu-lagu edgy yang dianggap punya kasta tinggi untuk urusan musikalitas. Namun, tidak sedikit juga dari kita yang hafal lagu-lagu -maaf- Wali hingga Armada di luar kepala. Padahal lagu-lagu tersebut -menurut sebagian orang- dinilai kacangan untuk urusan musikalitas, dan secara ‘kasta’ tidak termasuk golongan lagu-lagu ‘edgy’ yang kerap diagungkan kaum muda hipster kekinian.

Seberapa bencinya kita terhadap lagu-lagu ‘kacangan’ di arus utama, nyatanya kita semakin hafal dengan lirik-lirik lagu tersebut. Kondisi seperti ini sering datang tanpa diundang, muncul di luar kendali, dan seolah berputar tanpa tahu kapan berakhir. Pada tahun 2001, peneliti James J. Kellaris dari University Cincinnati Amerika Serikat yang pertama kali mengemukakan jika kondisi seperti ini dinamakan dengan istilah earworm (secara penggunaan kata dia menyerap dari bahasa Jerman "Ohrwurm"-red). Dalam studinya, Kellaris menemukan hampir 98 persen orang mengalami earworm. Menurutnya, lagu dengan lirik sebanyak 73,7 persen punya peluang hinggap di kepala orang, jingle atau iklan mencapai angka 18,6 persen, dan lagu instrumen sebesar 7,7 persen.

Para psikolog musik dari Universitas Goldsmith, Inggris yang konsisten mengkaji fenomena ini menyebut besaran persentase serupa, sedikitnya 90 persen orang dihinggapi nada setiap pekan. Biasanya, lagu yang tertanam dalam benak adalah lagu yang mudah untuk dipakai bergumam atau dinyanyikan, sekalipun selera masing-masing individu tetap memengaruhi. Menariknya, semakin orang berusaha tidak memikirkan lagu tersebut, lagu malah susah pergi dari benak. (Sumber : https://tirto.id/nada-nada-yang-singgah-lama-di-kepala-kita-ceeS)

Lagu yang berstruktur melodi nada yang naik-turun, dan disertai pengulangan, secara umum mudah menyebabkan orang menjadi terngiang-ngiang. Dalam sebuah wawancara bersama Soleh Solihun, musisi Denny Chasmala mengamini jika resep membuat lagu hits adalah dengan banyak menggunakan pengulangan melodi dan ritmis yang sama, diulang terus menerus hingga kemudian melekat, dan karena mudah diingat akhirnya menjadi hits hingga sukses di pasaran. Denny yang menjadi orang dibalik kesukseskan nama-nama besar seperti KD, Reza Artamevia, hingga banyak lagi lainnya mengakui beberapa diantara lagu-lagu hits yang dia buat justru tidak disukainya, karena dianggap kacangan, dan pada proses penciptaannya pun hampir tanpa effort sama sekali. Namun jika konteksnya bisnis (industri musik-red) formula seperti yang dibuat Denny itu disukai dan sejalan dengan yang 'pasar' inginkan. Karenanya, hal itu jadi menguntungkan, baik bagi label rekaman, si pencipta atau pun si penampil/penyanyi.

Masih ingat sama RBT kan? Seperti halnya Tik Tok, RBT juga tidak menampilkan lagu secara utuh, tapi hanya bagian reffrainnya saja, atau hanya memutar bagian hook nya saja. Contoh paling absurd terjadi pada lagu ‘’Salah Apa Aku’’ (Entah Apa Yang Merasukimu) dari band ILIR 7, yang justru mengetengahkan hook lagunya bukan dari lirik atau pun musik, tapi dari suara burung gagak, hasil olah kreasi dari DJ dengan nama yang sama, DJ Gagak. Untuk hal ini, semua rumusan di atas tentang faktor penting yang menyebabkan earworm menjadi dipatahkan begitu saja dengan suara gagak tersebut.

Menjadi menarik, karena hal seperti itu terjadi juga di negara lain lewat sebuah karakter animasi dan musisi CGI asal Swedia bernama Crazy Frog. Dibuat pada tahun 2003 oleh aktor dan penulis naskah Erik Wernquist, Crazy Frog awalnya dikenal sebagai 'The Annoying Thing' dan dipasarkan oleh penyedia nada dering Jamba. Meski dikenal sebagai 'The Annoying Thing' lagu-lagu dari Crazy Frog ini nyatanya sanggup menempati top chart di tangga lagu Inggris dan sejumlah negara di Eropa dan Amerika. Hal ini membuat vokalis Coldplay, Chris Martin tak habis pikir dan bertanya dengan nada satir, ‘’bagaimana mungkin kami bisa kalah oleh seekor kodok fiktif?’’, ujarnya dalam sebuah kesempatan wawancara dengan MTV.

Namun lepas dari itu, dianggap kacangan atau cutting edge, musik akan selalu menemukan pendengarnya, dari mulai yang hanya menganggap musik sebagai sarana hiburan saja, hingga yang mengimani musik sebagai pegangan, entah karena merasa relate dengan lirik lagunya, atau pun merasa terhubung dengan budaya yang musik itu bawa seperti misalnya jamaican sound dengan kaum rastafara nya, atau pun grunge dengan kaum kucel nya (mengutip istilah Che Cupumanik) hehehe. Atau mungkin baiknya mengaku saja lah jika dalam hidup setidaknya satu atau dua momen kita lewati dengan berkaraoke lagu-lagu ‘kacangan’ arus utama, khususnya di acara keluarga, karena di mata keluarga kita adalah medioker.  

BACA JUGA - Kata Siapa Musik Lama Selalu Bagus?

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner