Lagu Perlawanan? Beneran Ingin Melawan Atau Cuma Pilihan Alternatif?

Lagu Perlawanan? Beneran Ingin Melawan Atau Cuma Pilihan Alternatif?

Banyak pertanyaan tentang alasan dibalik musisi membuat lagu perlawanan. Apakah beneran ingin melawan, atau hal tersebut hanya sebuah alternatif saja agar bisa membuat lagu diluar tema cinta atau tema-tema klise lainnya

“Kalian itu bikin lagu perlawanan, emang beneran pengen melawan atau cuma cari cara agar tidak menulis lagu cinta?”, ujar seseorang, yang tidak perlu disebutkan namanya, namun pertanyaannya begitu membekas buat saya hingga hari ini. Menghubungkan pertanyaan tersebut dengan sebuah lagu -so called-‘perlawanan’, yang tidak jarang beberapa diantaranya terdengar cukup menggelikan, atau bahkan banal karena apa yang dia utarakan menjadi wacana usang dan hanya menyentuh permukaannya saja. Apakah yang dilawan pada tahun 98 masih bisa related dengan hari ini? atau apakah wacana yang dikemukakan masih sama dengan yang digaungkan pada 20 tahun lalu? Apakah musik harusnya menangkap zaman? Atau musik tenggelam pada suatu zaman?

Banyak pertanyaan tentang alasan dibalik musisi membuat lagu perlawanan. Balik lagi, apakah beneran ingin melawan, atau hal tersebut hanya sebuah alternatif saja agar bisa membuat lagu diluar tema cinta atau senja. Dalam sebuah wawancara, vokalis band Efek Rumah Kaca, Cholil Mahmud membuat kutipan menarik seperti ini... “Kalo semua lagu lo semuanya tentang cinta, apa hidup lo  penuh dengan cinta, dan ga punya masalah?”

Meski terkesan 'alergi', Cholil dan band Efek Rumah Kaca sebenarnya bukan band yang anti dengan lagu-lagu cinta, karena bahkan lagu hits mereka, “Desember” begitu erat dengan sebuah dilema asmara yang kompleks. Namun sampai akhirnya mereka membuat lagu-lagu perlawanan seperti “Mosi Tidak Percaya” hingga "Di Udara", apakah itu hanya alternatif lain agar mereka tidak melulu menulis lagu cinta? Saya pikir jawabannya tidak, mengingat Cholil dan teman teman lainnya tidak menulis lagu fiksi atau romantisme dari cerita cerita demonstrasi terdahulu. Mereka ada dalam barisan kala menyuarakan keresahannya. Namun ketika para kaum rebahan yang bahkan takut sinar matahari bicara tentang perlawanan, rasanya kok saya lebih respect pada band-band semisal Kahitna yang terang terangan bicara tentang cinta. Daripada mereka bicara tentang sesuatu yang mereka tidak mengerti, rasanya lagu cinta jauh lebih baik.

Beberapa musisi yang ingin keluar dari tema cinta kemudian menyentuh tema sosial untuk dijadikan ‘peluru’ dalam karyanya. Ada yang mengangkat perihal buruh, ketimpangan sosial, dan lain sebagainya, yang tidak jarang hal tersebut berujung dangkal, karena tidak dibarengi dengan pemahaman mendalam dari si empunya lagu. Selain itu, tema di luar cinta bisa dibilang menjadi pertaruhan tersendiri, mengingat tema ini terbilang segmented, jika dibandingkan dengan pembahasan perihal perasaan jatuh cinta, atau pun kerinduan pada orang terkasih. Namun ada juga beberapa musisi yang memilih tema di luar cinta, biasanya memang bersentuhan langsung dengan apa yang mereka tulis. Misalnya saja Navicula, dengan Roby sebagai orang paling bertanggung jawab pada penulisan lirik lagu-lagu di bandnya, yang memang dikenal sebagai seorang activist lingkungan, hingga hal tersebut berimbas pada karyanya seperti lagu “Metropolutan” misalnya.

Jadi apakah musisi yang berwacana dan mau repot-repot mengangkat isu tertentu, dianggap mencari panggung agar namanya muncul ke permukaan? Temukan jawabannya pada setiap bait lirik yang mereka nyanyikan. Apakah memiliki nyawa atau tidak, punya kedalaman makna atau tidak. Namun lepas dari itu, yang menarik disini adalah tentang budaya kritik yang lahir di ranah musik, karena seperti kita tahu ada banyak musisi atau band yang akhirnya menulis lagu untuk menyuarakan protes. Dari Amerika kita akan menemui grup musik Rage Againts The Machine (RATM) yang kerap menyuarakan protes dalam bentuk lagu, meskipun lucunya RATM sendiri pada akhirnya tidak luput dari kritik, karena dianggap menggoreng isu politik demi mendapat ‘panggung’.

Dari dalam negeri ada band-band semisal Seringai hingga Pure Saturday yang tidak luput dari lagu-lagu ‘perlawanan’. Menariknya apa yang mereka tulis punya latar belakang cerita dan alasan kuat kenapa mereka melawan. Pure Saturday misalnya. Mereka membuat lagu “Coklat” dengan latar belakang kisah sang mantan vokalis, Suar yang pernah ditilang 'si cokelat'. Lucunya, belasan tahun kemudian, ketika Suar sudah tidak lagi menjadi vokalis PS dan diganti oleh Satria NB alias Iyo, pun mendapat perlakuan yang sama-sama kurang menyenangkan dari si ‘coklat’. Kala itu Iyo mendapat pukulan keras di kepalanya hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Iyo dianggap melanggar aturan jam malam di kota Bandung, sampai akhirnya dia mendapat kontak fisik seperti itu.

Peristiwa tersebut ramai di sosial media sampai banyak memunculkan tagar #coklat. Lagu “Coklat” kemudian menjadi begitu relevan, karena sang vokalisnya langsung yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari si ‘coklat’ itu sendiri. Bagi yang memang berseberangan dengan si 'coklat' itu, ketika mendapat kabar Iyo jadi korban pemukulan banyak yang langsung bereaksi, termasuk tentunya para pure people (sebutan untuk para penikmat karya Pure Saturday). Atau ada juga Arian 13 dari Seringai yang kerap berurusan dengan aparat kala masih berstatus mahasiswa. Dendamnya bahkan diabadikan dalam akun instagram dan twitternya, @aparatmati (juga diambil dari nama bandnya sebelum Seringai).

Dari paparan di atas kemudian melahirkan sebuat pertanyaan tentang apakah Roby, Cholil, Suar, hingga Arian beneran melawan dengan lagunya? mungkin jawabannya, Iya, karena mereka menulis berdasarkan pengalamannya. Tapi jika ada musisi yang tidak bersentuhan langsung dengan konflik yang dia tulis, apakah mereka menulis untuk melawan atau hanya alternatif agar tidak membuat lagu cinta? Aduh, gatel pengen menyebutkan nama bandnya, tapi yaudahlah ya hahaha. Intinya sih ada aja lagu lagu banal yang dihadirkan hanya untuk mendapat perhatian. Atau kalau pun mereka beneran ingin melawan, apa memangnya yang ingin dilawan?

BACA JUGA - Yang Harus Dipelajari Anak Musik Dari Anak Seni Rupa

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner