KarnaTra : “Rock Hangat Dari Dewa Matahari”

KarnaTra : “Rock Hangat Dari Dewa Matahari”

KarnaTra bicara banyak hal tentang proses kreatif mereka dalam bermusik, album terbaru mereka, Erlang, hingga tentang dewa matahari yang dijadikan rujukan saat membuat nama band. 

Bagi sebuah band, nama terbilang penting mengingat itu merupakan satu hal sentral yang menjadi ‘pintu’ bagi awam, sebelum mengenali lewat musiknya. Pun begitu dengan KarnaTra. Kolektif yang sempat menjadi perbincangan berkat beberapa single mereka (“Gadis Hujan”, “Heroine”, “Api di Dalam”, etc) yang dinilai ‘ear catchy’ ini, punya cerita menarik tentang pemilihan KarnaTra sebagai sebuah nama untuk bandnya, termasuk, mungkin yang paling mencolok, tentang penulisan huruf T yang dibuat kapital di tengah kata Karnatra.

Ditemui disela-sela syuting DCDC MusikKita, sang vokalis Ndit menuturkan jika penulisan KarnaTra dibuat seperti itu agar memudahkan orang membaca dan tidak salah menyebut KarnaTra menjadi Kantata atau Kantara, dan lain sebagainya. Selain itu, KarnaTra yang terdiri dari dua suku kata, Karna dan Tra ini jika didefinisikan satu persatu mempunyai arti keturunan dari titisan dewa matahari, merunut pada kata Karna yang diambil dari nama karakter wayang Adipati Karna (menurut cerita pewayangan merupakan titisan dewa matahari-red), dan Tra yang berarti Trah atau keturunan.

Bicara tentang matahari, satu hal yang jika ditarik benang merahnya menurut ilmu cocoklogi yang belakangan mencuat ke permukaan, KarnaTra menguatkan filosofi tentang dewa matahari tadi ke dalam aliran musiknya yang mereka namakan rock hangat, atau ‘warm rock’. Tidak ada arti khusus tentang hal itu, hanya saja menurut mereka istilah itu muncul karena rasa malas mereka menanggapi pertanyaan tentang ‘apa aliran musik KarnaTra?’

“Terlalu riskan jika kita mengklaim musik kita a b c dan seterusnya, namun ketika apa yang kita klaim ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan orang. Jadi kita menengahi itu dengan istilah ‘warm rock’, atau rock hangat”, ujar sang basis, Rachim.  

Lebih dari satu dekade berdiri sebagai sebuah band, hal tersebut kemudian bermuara pada album terbaru mereka, Erlang. Tentang album tersebut menurut Rachim merupakan pengejawantahan dari semua pemikiran dan refleksi dari apa yang mereka alami. Secara penulisan juga menurutnya terbilang relate, karena banyak berisikan tema yang memang sesuai dengan umur mereka saat ini, dengan semua problematika dan dinamika yang mereka rasakan di umur yang sekarang. “intinya, album Erlang mencerminkan kehidupan kita masing-masing saat ini”, ujarnya.

Sang vokalis, Ndit menambahkan jika ada banyak cerita perpisahan dalam album Erlang. “entah kenapa tema itu masuk di album Erlang. Ada yang posisinya kita yang meninggalkan, ditinggalkan, dan ada juga yang menyesal setelah berpisah”, ujar Ndit.

Ketika ditanya tentang pemilihan nama Erlang sebagai judul albumnya, dengan sedikit berseloroh, Ndit menuturkan jika nama itu diambil dari karakter di serial Kera Sakti, bernama Panglima Erlang. Alasannya sederhana, karena menurut Ndit Panglima Erlang itu bermata tiga, dan KarnaTra juga sekarang tinggal bertiga. Satu jawaban yang kemudian disambut tawa pecah oleh kedua rekannya, Puguh dan Rachim, yang ternyata baru mengetahui alasan sebenarnya tentang pemilihan kata Erlang sebagai judul album mereka.

Mengintip sedikit akun sosial media mereka, ada satu hal yang menarik untuk dibahas, ketika pada salah satu unggahannya KarnaTra menuliskan jika “Ada masanya, menyembah senja adalah sesuatu yang cool. Setelah senja jadi pasaran, bersama-sama mencemooh senja is the new cool”. Pernyataan tersebut memancing pertanyaan tentang pandangan mereka menyikapi tren ‘senja’ di kalangan musisi indie (khususnya yang memainkan folk). “Sebenarnya lucu aja. Banyak orang bersenja-senja ria, tapi kalo akhirnya jadi pasaran jadi katro. Orang ngebully semua yang berbau senja, tapi nanti orang yang anti senja malah jadi pasaran juga. Ya sengaja aja nulis kaya gitu biar orang merasa tergelitik”, ujar Ndit.

Tentang penulisan liriknya sendiri, Ndit menuturkan jika dirinya merasa lebih nyaman menulis tentang sesuatu yang eksplisit. “Kalo dibilang responsif, kayaknya KarnaTra ga terlalu responsif juga. Kaya dulu “justice for audrey” rame, tapi tahunya salah. Selain itu, sebenarnya gua pencerna yang lambat, dan setiap isu harus diserap pelan-pelan, jangan sampe gua menyesal bikin statement itu. Kalo karya kita kan punya tanggung jawab. Ibarat anak lah. Kita lahirin anak, dan harusnya kita ga nyesel lahirin itu. Tapi kalo berdasar cerita di sekitar ya iya. Misalnya di album Erlang ada lagu berjudul “Musim Dingin Di Dermaga”, nah cerita di lagu itu gua ngeliat pernikahan yang gagal, sampai akhirnya gua menganalogikan itu sebagai musim dingin. Musim dingin itu gua artikan kaya udah basi”, ujar Ndit. Dalam proses pengerjaan album Erlang juga diakui oleh mereka jika intensitas mereka latihan sudah tidak sesering dulu. “Makanya sekalinya latihan kita itu khusu. Kaya orang jarang solat. Sekalinya solat, nangis”, ujar Ndit.

Tentang bandnya sendiri, ketika ditanya “KarnaTra ingin dikenal sebagai band seperti apa?”, mereka menjawab jika KarnaTra sempat dibandingkan dengan band Efek Rumah Kaca. Tapi menurut mereka bedanya Efek Rumah Kaca lebih lugas dalam penulisan lirik dibanding dengan KarnaTra yang tidak selugas itu. “Gua pengen lagu-lagu KarnaTra itu bisa dinyanyikan banyak orang”, ujar sang gitaris Puguh. Satu hal yang juga ditanggapi oleh Ndit yang mengatakan jika dia ingin KarnaTra dikenal sebagai band yang ikhlas.

BACA JUGA - Banyak Menjajal Festival Musik Dunia, Lightcraft Ingin Relate Dengan Penikmat Karyanya

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner