Jerinx dan Budaya Kritik di Ranah Musik

Jerinx dan Budaya Kritik di Ranah Musik

Baik itu Jerinx, Ucok, atau Cholil, ketiganya sama-sama mendapat trigger dari sebuah keresahan hingga akhirnya tergerak untuk menyuarakan itu, sampai lahirlah sebuah karya yang sarat akan kritik, dengan semua sensivitas kreasinya. 

Berita tertangkapnya drummer Superman Is Dead (selanjutnya ditulis SID), jadi buah bibir belakangan ini, tagar #savejrx atau #bebaskanjrx ramai menghiasi linimasa sosial media. Jerinx mungkin bukan yang pertama sebagai musisi yang dijebloskan ke sel penjara karena terlalu lantang bersuara, karena jika kilas balik ke belakang, bahkan grup musik legendaris Koes Plus pun pernah dipenjara hanya karena bernyanyi dengan bahasa Inggris, yang dianggap kurang bisa mencerminkan kepribadian bangsa. Selanjutnya, masih banyak yang lain kalau kamu mau menyisihkan waktu, buat cari tahu tentang siapa saja musisi yang pernah dijebloskan ke penjara.

Namun lepas dari itu, yang menarik disini adalah tentang budaya kritik yang lahir di ranah musik, karena seperti kita tahu ada banyak musisi atau band yang akhirnya menulis lagu untuk menyuarakan protes. Dari Amerika kita akan menemui grup musik Rage Againts The Machine (RATM) yang kerap menyuarakan protes dalam bentuk lagu, meskipun lucunya RATM sendiri pada akhirnya tidak luput dari kritik, karena dianggap menggoreng isu politik demi mendapat ‘panggung’. Satu hal yang jika ditarik garis lurus ke SID, band ini juga pernah mendapat kritik keras dari ranah musik bawah tanah kala menjalin kerja sama dengan label besar, yang dianggap sebagian orang di bawah tanah sebagai ‘musuh’, karena berlawanan dengan spirit yang mereka usung. Hal yang juga dialami oleh Jeruji, Rocket Rockers, hingga Koil, yang dianggap ‘berkhianat’ dari scene mereka. Dari cibiran segelintir orang hingga perundungan dialami band-band ini.

Sampai akirnya kita tahu meributkan indie vs major sudah tidak relevan pada era sekarang. Semua bebas memilih jalannya masing-masing, karena toh ketika album Koil dirilis oleh label mainstream, mereka masih lantang mengutarakan pernyataan tentang “nasionalisme untuk negara ini adalah pertanyaan”, dengan musik tidak ramah telinga bagi yang kadung terbiasa dengan irama pop melayu. Seturut dengan Koil, bahkan ketika SID dirilis oleh label besar sekalipun band ini kerap menuliskan kritik dalam lagu-lagunya (mungkin sebagian ada yang ingat lagu "Punk Hari Ini"...?). Sampai akhirnya SID dan Shaggydog berkolaborasi bersama ‘menyalakan tanda bahaya’, lewat lagu berjudul “Kuat Kita Bersinar”, yang menyoroti tentang semangat anak muda dan menyikapi indahnya perbedaan.

Lagu ini kemudian menjadi kuat karena tema yang mereka usung, di mana perbedaan menjadi satu hal yang terkadang justru dipermasalahkan. Padahal kita tahu jika kita hidup di negara dengan banyak sekali suku dan budaya yang berbeda, maka aneh rasanya jika sebagian orang yang berkepentingan justru mempermasalahkan perbedaan tersebut. Dengan semangat yang sama, grup musik Seringai memuntahkannya lewat lirik lagu “Mengadili Persepsi" (Bermain Tuhan), yang diakui Arian 13 sang penulis lirik, dilatari oleh kemarahannya akan orang-orang fasis yang memaksakan ideologinya ke banyak orang. Makanya dia lantas berteriak “Individu merdeka” di tengah-tengah lagu, yang kemudian disambut koor panjang dari barisan Serigala Militia.

Bicara Seringai, band ini juga tidak luput dari urusan kritik mengkritik. Selain dari lagu-lagunya, media kritik band ini merambah pada merchandise-nya, dan bahkan Seringai pernah berurusan dengan pihak yang berwajib karena desain kaos mereka. Desain dengan tulisan berbunyi “Melindungi dan Melayani Siapa?” dianggap menghina instansi pihak yang berwajib. Kisah ini diceritakan dalam video dokumenter Seringai yang berjudul “Generasi Menolak Tua”. Bahkan menurut Dadan Ketu (pemilik toko Riotic) yang menjual kaos tersebut, pihak yang berwajib membredel kaos tersebut, sampai akhirnya pihak Seringai melakukan mediasi dan hal tersebut dapat diselesaikan. Hingga hari ini kaos tersebut masih ada dan diproduksi, bahkan kabarnya termasuk item dengan jumlah penjualan terbanyak. 

Dari mulai RATM, SID, hingga Seringai, ketiganya bisa dibilang sebagai band-band yang ‘menuhankan’ distorsi sebagai benang merahnya. Namun, urusan kritik mengkritik dalam musik, band indie pop seperti Pure Saturday (selanjutnya ditulis PS) pun mempunyai lagu kritik berjudul “Coklat”. Lagu ini sanggup memberi energi tersendiri kala dibawakan di atas panggung, dan menjadi ‘kode’ bagi banyak orang yang memang berseberangan dengan si ‘coklat’ itu.

Lagu "Coklat" dilatari kekesalan Suar (vokalis PS saat itu) ketika dirinya ditilang pihak yang berwajib. Lucunya, belasan tahun kemudian, ketika Suar sudah tidak lagi menjadi vokalis PS dan diganti oleh Satria NB alias Iyo, pun mendapat perlakuan yang sama-sama kurang menyenangkan dari si ‘coklat’. Kala itu Iyo mendapat pukulan keras di kepalanya hingga harus dilarikan ke rumah sakit. Iyo dianggap melanggar aturan jam malam di kota Bandung, dan menurut pernyataan yang berwajib Iyo seperti memberikan gestur hendak melawan, sampai akhirnya dia mendapat kontak fisik seperti itu.

Peristiwa tersebut ramai di sosial media yang kemudian banyak memunculkan tagar #coklat. Lagu “Coklat” kemudian menjadi begitu relevan, karena sang vokalisnya langsung yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari si ‘coklat’ itu sendiri. Bagi yang memang berseberangan dengan si 'coklat' itu, maka ketika mendapat kabar Iyo jadi korban pemukulan banyak yang langsung bereaksi, termasuk tentunya para pure people (sebutan untuk para penikmat karya Pure Saturday). Sampai paragraf ini, sudah menemukan jawaban siapa itu ‘coklat’?

Lalu ada pula Efek Rumah Kaca, yang meski dikenal dengan nada-nada minor nan gelap, trio ini bahkan bisa sangat lantang bersuara tentang banyaknya ketimpangan yang terjadi. Dari mulai “Mosi Tidak Percaya”, “Menjadi Indonesia”, “Jangan Bakar Buku”, bahkan kritik mereka tentang maraknya video porno yang beredar lewat lagu “Kenakalan Remaja di Era Informatika”. Semuanya mempunyai isian yang mampu menggetarkan, terlebih kala sang vokalis mulai memejamkan matanya, bernyanyi, dan bersuara menyuarakan orang-orang minoritas, yang jangankan bisa bersuara, keberadaannya saja bahkan dianggap tidak ada.

Seringai yang keras, Pure Saturday yang ngepop, hingga Efek Rumah Kaca yang melankolis tapi ‘sadis’ itu seakan menegaskan jika budaya kritik mengkritik lewat musik itu lumrah terjadi, sampai hal ini menemukan gambaran paling ideal lewat kolektif musik bernama Homicide. Meski namanya sudah lama dikubur, namun lagu-lagu penuh kritik dari kolektif ini masih jadi rujukan banyak orang tentang “tata cara menulis lagu kritik”. Grup ini begitu konsisten menulis kritik, dengan semua kepekaan mereka menyuarakan semua bentuk ketimpangan. Menggaris bawahi kalimat "negara sedang tidak baik baik saja", jadi latar yang kerap mereka utarakan dalam setiap lagunya, dan sang MC, Herry Sutresna alias Ucok, masih cukup energi untuk kemudian membidani grup baru bernama Bars Of Death, yang juga masih mengetengahkan lagu-lagu kritik dalam pola kreasinya. Begitu banyak keresahan yang dia rasakan, hingga musik menjadi kendaraan yang tepat untuk dia memuntahkan semua itu.

Baik itu Jerinx, Ucok, atau Cholil, ketiganya sama-sama mendapat trigger dari sebuah keresahan hingga akhirnya tergerak untuk menyuarakan itu. Menariknya, mungkin memang semua karya yang tercipta lahir dari keresahan yang kemudian berbuah kritik, bagaimanapun bentuknya, dari mulai keresahan akan kondisi sosial, hingga keresahan akan ditinggalkan pacar. Semua bebas saja menyuarakan keresahannya, mau itu sambil marah dengan distorsi yang menyala, atau dengan suara mendayu meratapi sang kekasih hati yang telah pergi. Bebas saja, selama kamu berdiri dengan apa yang kamu yakini. "If you dont stand for something, you will fall for anything", begitu kata Malcolm X  

BACA JUGA - Musik dan Cara Unik Musisi Mendobrak Batasan

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner