Fanatisme, Musik, dan Orang-Orang yang Kalah

Fanatisme, Musik, dan Orang-Orang yang Kalah

Tidak ada fasis yang baik selain fasis itu sendiri harus mati, seperti apa yang pernah Ucok ‘Homicide’ sampaikan jika “fasis yang baik adalah fasis yang mati”

Dilansir dari instagram @seringai_official, yang diwakili oleh drumer mereka Edy Khemod, menyatakan pendapatnya tentang peristiwa yang terjadi pada hari Minggu lalu, perihal meninggalnya salah satu supporter sepak bola akibat pengeroyokan. Drumer Seringai itu menanggapinya dengan mengambil gambaran tentang peristiwa sepuluh tahun lalu, dalam sebuah konser musik di Bandung yang menelan korban jiwa, hingga hal ini berujung pelarangan beberapa konser musik yang ada di Bandung. Padahal hal itu terjadi bukan karena kekerasan. Namun beberapa pihak beranggapan jika musik keras menjadi penyebabnya. Dengan tampilan yang urakan, musik keras mudah menjadi kambing hitam. Hingga hal ini direkam dalam salah satu lagu Seringai berjudul “Dilarang di Bandung”.

Komunitas musik Bandung saat itu bekerja keras membuktikan diri, hingga akhirnya diterima kembali dan bisa membuat acara dengan skala yang lebih besar, dan berdampak positif secara ekonomi, sekaligus mengharumkan nama bangsa ke luar negeri. Kita tentu tahu jika nama-nama band seperti Burgerkill, Jasad, Beside, sampai Down For Life, yang notabene-nya band yang memainkan musik keras, pada akhirnya bisa membuktikan jika mereka bisa bicara banyak di kancah internasional. Hal itu kemudian memancing pertanyaan bagi Edy tentang kekerasan yang terjadi berulang kali di sepak bola, pernahkah olahraga ini dilarang? Dengan prestasi minim dan fanatisme buta yang sering berujung pada perkelahian, bahkan sampai memakan korban jiwa, apa yang diperlukan agar kejadian biadab ini tidak terulang?

Kegelisahan yang dirasakan Edy seakan berbanding lurus dengan apa yang pernah Dave Mustaine (Megadeth) katakan, saat dia berujar “killing people for football and religion is something i don’t understand”. Dave menjadi satu dari sekian banyak orang yang juga mempertanyakan ini. Namun bagi orang-orang yang memang merasakan sensasi menjadi pendukung tim sepak bola dengan kebanggaan semu nya, hal itu menjadi tidak relevan, karena dengan hal itulah mereka mencari jati dirinya. Mereka seperti sekumpulan orang-orang yang kalah dan ingin terlihat seperti pemenang. Menjatuhkan pendukung tim lawan menjadi satu hal krusial bagi orang-orang ini. Dengan meminjam nama besar tim idolanya, mereka seakan menjadi pemenang ketika menjatuhkan lawan, karena dalam permainan harus ada kalah dan menang, maka itulah keduanya ingin sama-sama jadi pemenang.

Hal ini seperti mempertanyakan tentang siapa yang paling rock n roll antara Rolling Stones dan The Beatles, mana yang lebih ‘brithpop’ antara Oasis dan Blur, mana yang lebih menggambarkan new metal antara Limp Bizkit dan Slipknot, dan banyak lagi lainnya. Perdebatan itu seakan dibungkam oleh John Lennon dari The Beatles yang berkolaborasi dengan Mick Jagger, sang pentolan dari Rolling Stones, hingga dua pentolan raksasa britania Noel Gallagher (Oasis) dan Damon Albarn (Blur) menyudahi perseteruannya dengan ngebir bareng. Dalam dunia musik, perseteruan tentang kebanggaan berada di salah satu kubu sudah tidak relevan, jauh meninggalkan belasan bahkan puluhan tahun silam ketika penyuka musik punk dan grindcore saling berselisih, sampai perang dingin antara ranah indie vs mainstream.

Para musisi bisa menjadi peredam perselisihan itu dengan terus ‘mendidik’ penggemarnya untuk dewasa, dan menganggap jika perselisihan semacam itu hanya akan menunjukan kualitas orang dengan tingkatan paling rendah. Karena tidak ada fasis yang baik selain fasis itu sendiri harus mati, seperti apa yang pernah Ucok ‘Homicide’ sampaikan jika “fasis yang baik adalah fasis yang mati”. Pun begitu dengan fanatisme dalam hal apapun, termasuk nasionalisme yang dipertanyakan oleh Koil saat sang vokalis Otong berujar “Nasionalisme untuk negara ini adalah pertanyaan”.

Bahaya dari fanatisme adalah pandangan tentang yang berbeda dengannya itu berarti salah, padahal tidak ada kebenaran yang mutlak selama seseorang itu hanya menggambarkan satu ekor gajah hanya dari gadingnya saja, dan satu orang lainnya hanya dari kakinya saja. Keduanya tidak bisa menggambarkan gambaran satu ekor gajah dengan utuh, lengkap dengan gading, belalai, ekor, telinga, badan, dan kakinya, karena keduanya tidak berada di satu titik yang tepat dalam memandang sesuatu. Setangkai bunga akan terlihat indah jika dilihat dengan jarak yang pas. Dengan jarak 1 cm setangkai bunga tidak akan terlihat indah, dibanding dengan jarak 1 meter misalnya. Fanatisme tidak pernah dipandang dengan jarak yang pas, hingga orang-orang yang berada didalamnya lupa dengan sisi lain diluar lingkaran yang dia buat.

Seharusnya sepak bola dipandang seperti apa yang ditangkap seorang anak kecil saat sedang bermain. Dia membuang jauh perasaan ingin menjatuhkan lawan, karena tidak ada papan skor dalam permainan yang mereka buat. Tidak ada keharusan untuk menang. Yang perlu mereka waspadai hanyalah omelan orang tuanya karena mereka bermain lupa waktu, hingga tidak mengerjakan pekerjaan rumah. Selebihnya mereka hanya ingin bermain dan bergembira.

Mereka. Orang-orang yang mengeroyok almarhum hari itu lupa, jika kebahagiaan yang pernah mereka rasakan saat mereka kecil bukan dengan memukul dan menendang orang sampai tewas. Mereka lupa jika mereka pernah begitu bahagia hanya dengan bola plastik murah di warung dekat rumahnya. Mereka lupa jika orang yang mereka bunuh adalah karya agung orang tuanya, yang disambut dengan tangis haru saat anaknya lahir, lalu dirawat dan dibesarkan dengan cinta yang besar. Jauh lebih besar dari kecintaan terhadap tim sepak bola yang mereka puja. Mereka lupa jika sebenarnya mereka tidak memenangkan apapun. Karena mereka sejatinya adalah orang-orang yang kalah. 

BACA JUGA - Para Musisi Ini Memulai Karirnya di Panggung 17-an

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner