Ekspresi Kebebasan 'Anak Band' di Panggung 17-an

Ekspresi Kebebasan 'Anak Band' di Panggung 17-an

Rasanya kita lebih butuh panggung hiburan dibanding jargon kebangsaan yang dipampang di papan reklame dengan ukuran besar. Ya kan? Merdeka!

Dalam sebuah wawancara, Aska, vokalis/gitaris Rocket Rockers pernah menuturkan jika panggung pertama Rocket Rockers berawal dari panggung 17-an. Hingga, bukan tanpa alasan jika Rocket Rockers menjadikan tanggal 17 Agustus sebagai hari ulang tahunnya, mengingat hal itu diambil dari hari pertama mereka manggung. Menariknya lagi, saat itu Ucay (ex-vokalis Rocket Rockers) manggung hanya menggunakan sandal, tanpa persiapan matang layaknya musisi yang biasanya lebih well-prepared ketika mereka manggung. Namun lepas dari itu, Rocket Rockers terbilang berani untuk ukuran band baru yang memainkan lagunya sendiri, mengingat panggung 17-an biasanya hanya berisikan band-band cover version dari band-band yang sudah terkenal.  

Selain Rocket Rockers, ada juga musisi berjuluk gitaris 'seribu band', Pandu Fuzztoni (Morfem, The Adams, Zzuf, The Upstairs, Barefood, etc), yang juga mengawali “karir” bermusiknya di panggung 17-an. Pandu menuturkan jika panggung pertama dia dimulai saat dia kelas 5 SD, tepatnya pada tahun 1998. Namun Pandu yang saat ini menekuni gitar sebagai instrumen yang dia mainkan, saat itu masih bermain drum di panggung pertamanya itu. Uniknya lagi, untuk latihan drum Pandu dan temannya menjadikan kardus sebagai drum set, yang dia mainkan hampir setiap hari sepulang sekolah di rumahnya. Jadi ketika bertemu drum set beneran dia sudah tidak kaku lagi, dan siap manggung, membawakan lagu-lagu dari band Rumah Sakit seperti lagu “Hilang”, “Flow”, “Sakit sendiri”, dan “Pop Kinetik”.

Dari penuturan Aska dan Pandu di atas, kita jadi ingat jika panggung 17-an kerap menjadi sarana bagi orang-orang yang suka main musik untuk menunjukan kebolehannya di atas panggung. Mulai dari dangdut sampai musik metal pernah mengisi panggung rakyat seperti ini. Satu hal yang biasanya sepaket dengan acara lainnya, seperti tarian atau kabaret. Acara ini menarik andai saja lepas dari sambutan-sambutan dari ketua RT, RW, Lurah, atau mungkin Bupati, yang biasanya berlaga seperti presiden Soekarno yang terkenal dengan pidatonya yang berapi-api itu.

Panggung 17-an mungkin menjadi cikal bakal panggung-panggung kolektif dengan gigs kecil, yang bermodalkan dana patungan dari panitia atau bahkan dari pengisi acaranya itu sendiri, seperti gelaran semacam studio show misalnya. Namun bukan tidak mungkin jika hal semacam itu bisa jadi membesar, ketika itu membuahkan komunitas yang jika diatur dengan benar bisa membuat gelaran festival musik yang besar dan diperhitungkan, lengkap dengan band-band yang lahir dari komunitas tersebut, seperti misalnya komunitas musik asal Ujungberung bernama Homeless Crew, yang melahirkan band-band semisal Burgerkill, Forgotten, Beside, hingga Jasad. Gelaran yang diinisiasi oleh komunitas ini salah satunya adalah Bandung Berisik, yang bahkan sampai hari ini masih dicatat sebagai salah satu festival musik terbesar di Indonesia. Konon, gelaran sebesar itu pada awalnya bermula dari sebuah gelaran panggung 17-an.

Panggung 17-an jadi sebuah ajang berekspresi kebebasan bagi anak band untuk bisa ‘tampil’ dan menemukan eksistensi disana. Minimal satu kampung tahu kalo dia/mereka anak band. Dulu mendapat gelar ‘anak band’ jadi satu hal yang prestis, dengan semua persona dan citra yang dibangun band-band di layar kaca, hingga hal itu dinilai sangat mempengaruhi imajinasi banyak anak kampung yang mendapat trigger untuk bermusik juga. Panggung 17-an salah satunya yang membuat mereka mendapat wadah.

Setidaknya meski nasionalisme untuk negara ini adalah pertanyaan (mengutip dari lirik lagu Koil-red) momen perayaan hari kemerdekaan pada tanggal 17 ini bisa menemukan esensi dari kebebasan dalam bentuk lain, lepas dari apakah kita seorang yang nasionalis atau bukan, momen perayaan ini menjadi milik semua orang yang ada di negara ini. Seni apapun, termasuk musik yang selalu berbanding lurus dengan kebebasan dalam berkarya dan berekspresi menemukan momennya di panggung 17-an ini. Panggung hiburan yang memang dibuat rakyat untuk rakyat. Ya mau gimana lagi, negaranya sering memusingkan, jadi rakyat butuh hiburan. Hiburannya, dibuat sendiri oleh rakyat, dan kadang dirusak oleh sambutan pidato wakil rakyat, dari mulai pak RT, RW, dan seterusnya. Kalau sudah seperti itu ingin rasanya berteriak “A Stone A”.  

Menggaris bawahi kalimat “A Stone A”, hal ini mengingatkan pada salah satu istilah dalam standup comedy bernama hackling, yakni sebuah upaya penonton untuk menggagalkan penampilan kita di panggung. Menghubungkannya dengan panggung musik, khususnya di daerah Jawa Barat, banyak kita temui orang-orang yang melakukan hackling dengan meminta dibawakan lagu favorit mereka, seperti misalnya teriakan kalimat “A Stone A” itu tadi, yang berarti mereka minta dibawakan lagu-lagu The Rolling Stones. Uniknya, lagu-lagu The Rolling Stones yang mereka pahami (di beberapa daerah), bukan benar-benar lagu The Rolling Stones asli, melainkan lagu asing berbahasa Inggris (lazim disebut lagu barat). Tidak terjadi di semua daerah memang, tapi hal itu jadi satu dinamika tersendiri yang berhasil mengundang senyum ketika mengingatnya.

Segala macam romantisme yang dibawa oleh memoar manis panggung 17an, kemudian menemukan momen menyedihkan pada masa pandemi seperti sekarang ini, di mana panggung musik seolah menjadi ‘musuh’ utama pada masa ini. Peraturan yang mungkin tidak sepenuhnya bisa disalahkan, tapi juga menjadi sesuatu yang menyebalkan, terlebih dengan ketidak-konsisten-an akan peraturan yang diterapkan. Beberapa bisa merayakan dengan gelaran panggung musik secara live, beberapa lainnya hanya bisa menyaksikan di  kanal Youtube. Rasanya kita lebih butuh panggung hiburan dibanding jargon kebangsaan yang dipampang di papan reklame dengan ukuran besar. Ya kan? Merdeka!

BACA JUGA - “Skill Is Dead” : Jargon Seru Untuk Menampar ‘Ketertiban’ Dalam Musik

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner