Edo “Fun House Studio” : Ketika Mimpi Rockstar Kandas, Sukses di Dunia Studio Rekaman

Edo “Fun House Studio” : Ketika Mimpi Rockstar Kandas, Sukses di Dunia Studio Rekaman

Sumber foto : Diambil dari dokumen pribadi Edo Jatmika

Saya merasa era sekarang ini manusia ingin jadi midi dan midi mencoba menjadi manusia. Sisi rasa manusiawinya menjadi hilang”

Sebuah keputusan nekat akhirnya diambil oleh Edo Jatmika. Seorang remaja SMU yang memutuskan untuk keluar dari sekolah ditengah jalan. Remaja yang kala itu sedang tergila-gila oleh band-band glam rock, dengan kekuatan musiknya yang menghipnotis anak muda akan fantasi seorang rockstar yang bersenang-senang lewat musik. Bermain band, membuat album lalu lanjut dengan tur panjang adalah cita-cita yang diidamkan oleh Edo pada awal tahun 1990. “Buat saya sekolah hanya buang-buang duit dan terasa membosankan. Saat itu waktu saya lebih banyak dihabiskan untuk mendengarkan, ngulik musik dan mengkoleksi album rekaman dari berbagai band rock favorit”, kenangnya. Keputusan yang jelas mendapat tentangan keras dari kedua orang tuanya yang berharap Edo bisa terus melanjutkan jenjang pendidikan formal.

Tekadnya sudah bulat untuk serius di dunia music, sampai akhirnya pada tahun 1993 Edo pergi meninggalkan Bandung dan hijrah ke kota Solo. Edo beralasan kota Solo punya iklim berkesenian yang bisa mendukung energi bermusiknya. Kebetulan ada seorang temannya yang tinggal dikawasan STSI Solo dan Edo bisa punya kesempatan bergaul serta menimba ilmu dari banyak mahasiswa di STSI Solo. Disinilah hasrat Edo terhadap musik dapat terlampiaskan dengan membentuk sebuah band beraliran metal dan sempat menjadi band pembuka band Dewa 19 ketika tampil di Gor Bengawan. Target yang ingin dicapai Edo kala itu adalah menjajal kerasnya industri musik mainstream dan pilihannya adalah pindah ke Jakarta. Akhirnya Edo membentuk sebuah band yang musiknya lebih popular demi bisa dirilis oleh major label. Nama band Lovina dipilih sebagai awal perjuangan membuat demo yang dikirim ke berbagai perusahaan rekaman sampai akhirnya membuahkan hasil. Musica Record tertarik dengan lagu-lagu yang dibuat oleh Lovina dan mereka akhirnya menandatangani kontrak rekaman. Namun ditengah perjalanan menjelang rilis album pihak Musica Record memutuskan untuk menunda perilisan dan mendahulukan band lain untuk dirilis.

Ditengah penantian yang tidak pasti, satu persatu personil band mulai patah semangat dan memilih melanjutkan hidup masing-masing. Tahun 1998 terjadilah gelombang kerusuhan yang meluluhlantakan kota Jakarta. Salah satu lokasi terjadinya aksi pembakaran adalah kawasan pertokoan Glodok di mana gudang master rekaman album Lovina disimpan ikut terbakar. Mimpi menjadi rockstar dan bisa membuktikan pada orang tua akhirnya kandas. “Saat itu mau pulang ke Bandung malu sama keluarga, terus saya ngerasa sudah mengorbankan banyak hal. Makanya saya memutuskan untuk tetap di Jakarta cari kerja”. Pilihannya akhirnya berlabuh di studio rekaman 601 Studio Lab, bekerja sebagai arranger musik. Setelah kenyang menimba ilmu sambil bekerja di Jakarta akhirnya tahun 2000 Edo kembali ke Bandung. Melanjutkan apa yang telah dilakukan di Jakarta Edo mendirikan Fun House Studio. Sebuah studio kecil yang awalnya diperuntukan mengerjakan proyek musik secara pribadi. Meneruskan relasi bisnis dengan kawan-kawan yang pernah bekerjasama menggarap rekaman ketika masih di Jakarta.

Makna Fun House sendiri menurut Edo mengandung arti studio rekaman yang menyenangkan dan terbuka bagi semua musisi dari berbagai aliran musik. Pada tahun 2002 Edo memutuskan bisnis studio rekamanya untuk go public alias dibuka untuk umum. Mengambil lokasi di Jalan Ahmad Yani 890 dikawasan Cicaheum, Fun House Studio mulai melayani konsumen umum yang mau rekaman. Berawal dari sinilah Edo bersama bisnisnya mulai beririsan dengan komunitas musik di Bandung yang didominasi oleh musik-musik ekstrim seperti death metal, hardcore dan punk. Ditengah kesibukannya sebagai operator studio, Edo sempat terlibat di band The Cruel dan Hell Beyond. Menurut Edo ada hal yang sangat berbeda jika membandingkan dunia industri musik antara Jakarta dan Bandung. “kalo di Jakarta kan iklimnya sudah sangat bisnis, hal apapun yang terkait dengan musik bisa kita jual. Kita sebagai pencipta lagu bisa jual lagu, kita sebagai player bisa jadi session player, banyaklah peluangnya. Ketika saya ke Bandung, studio rekaman hanya berfungsi sebagai studio rekaman saja. Namun di Bandung akhirnya saya bisa bersentuhan dengan industri musik independen yang terkenal loyal dan militan ”.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner