Do It With Your Friends Dan Bersenang-Senang Dalam Kebaikan

Do It With Your Friends Dan Bersenang-Senang Dalam Kebaikan

Semangat pertemanan yang menjadi modal sosial utama pada akhirnya mempunyai peran penting bagaimana sebuah komunitas bisa berkembang dengan nilai-nilai moral dasar seperti kejujuran, saling percaya dan semangat egaliter.

Entah siapa yang pertama kali menggagas pergerakan Do It Your Self dalam ranah musik independen. Dari beberapa literatur dan catatan tentang sejarah pergerakan musik independen, gerakan ini tercatat muncul di Amerika dan Inggris sejak tahun 1970. Seperti kita tahu bersama bahwa tahun 1970 adalah bagian dari puncak revolusi industri musik di Inggris dan Amerika. Banyak band maupun musisi yang melakukan banyak terobosan dan inovasi dalam proses penciptaan karya maupun perkembangan bisnis dan tata kelola musik.

Penerapan standarisasi mutu terhadap suatu karya musik akhirnya menjadi semacam kemutlakan agar ketika dikemas menjadi sebuah produk untuk dipasarkan bisa memenuhi target penjualan. Walaupun memang pada akhirnya banyak karya yang awalnya dinilai ‘nyeleneh’ dan dirasa tidak mampu memuaskan permintaan pasar namun ketika dirilis bisa menghasilkan kejutan dari sisi penjualan. Tentu saja ikut dibantu banyak trik pemasaran yang dimainkan seperti menciptakan isu dan kontroversi melibatkan industri media besar seperti media cetak dan elektronik terkait karya yang akan dirilis dan dipasarkan.

Tentu ini menjadi hal yang menggembirakan terutama bagi para band atau musisi yang memang karyanya bisa menyesuaikan dengan keinginan pasar. Lalu bagaimana dengan nasib band atau para musisi keras kepala yang tidak mau tunduk terhadap skema dan rencana bisnis pemilik label rekaman ? tentu mereka mencari cara agar karya mereka bisa tersebar dan dinikmati oleh berbagai kalangan.

Salah satu cara yang ditempuh adalah mengandalkan jasa kawan-kawan mereka untuk ikut mempromosikan dan menyebarkan karya mereka. Biasanya jaringan perkawanan melibatkan komunitas yang terdiri dari banyak band dan tersebar di berbagai kota. Jejaring komunitas inilah yang pada akhirnya membentuk sebuah pola ‘bisnis’ musik dengan mengandalkan modal sosial dalam bentuk usaha kolektif yang dilandasi oleh kecintaan yang sama terhadap musik yang mereka mainkan.

Pergerakan yang awalnya mengandalkan inisitif dan kemandirian individu dalam segi produksi dan penjualan hasil karya music, pada akhirnya beririsan secara sosial dengan kelompok atau komunitas. Titik temu inilah yang pada akhirnya membentuk sebuah kesadaran kolektif untuk melakukan sebuah investasi sosial dalam praksis saling membantu dan saling mendukung antar kawan dikomunitas maupun diluar komunitas dengan minat dan kecintaan yang sama terhadap musik. Di Indonesia sendiri gerakan semacam ini telah muncul di era 90an seiring dengan mulai masuknya pengaruh musik sub genre dari rock seperti metal, hardcore dan punk.

Di Indonesia masa tahun 1990an hegemoni industri musik besar sangat terasa sekali dan mampu mengontrol selera musik dimasyarakat. Sementara disisi lain ada geliat dan semangat baru diranah musik dengan ekspresi-ekspresi baru yang tidak mampu masuk dalam arus utama industri musik di Indonesia. Banyak band atau musisi tersebut akhirnya membentuk diri kedalam kumpulan komunitas. Berangkat dari kumpulan komunitas yang dianggap minoritas mereka mengembangkan sebuah pola baru pengembangan bisnis ‘tandingan’.

Semangat pertemanan yang menjadi modal sosial utama pada akhirnya mempunyai peran penting bagaimana sebuah komunitas bisa berkembang dengan membawa nilai-nilai moral dasar  seperti kejujuran, saling percaya dan semangat egaliter. Dengan nilai-nilai itulah maka perlahan komunitas yang asalnya minoritas mampu berkembang dan menjadi ‘lawan tanding’ yang seimbang dengan industri musik diarus utama. Birokrasi yang ringkas dan setiap persoalan bisa selesai dengan mediasi serta saling menghargai karena memang dilandasi semangat yang egaliter dan sejajar pada akhirnya mampu membawa pada sistem yang lebih terbuka dan membawa pada kemajuan.

Dalam sistem industri musik besar yang kaku rasanya tidak mungkin terjadi proses negosiasi kontrak rekaman hanya mengandalkan pembicaraan lisan dan tanpa tertulis. Semua berdasarkan rasa percaya dan memang niatannya untuk mendukung teman dalamberkarya. Begitupun dengan acara festival yang digelar oleh komunitas secara kolektif. Tidak pernah terjadi proses negosiasi yang alot dengan rincian klausal kontrak yang rumit dan kosakatanya hanya mampu dipahami oleh ahli hukum. Cukup bersepakat untuk tampil dengan asas hubungan mutualisme dimana band yang tampil bisa promosi dan acara festival menjadi lebih meriah.

Mungkin akan terdengar sangat remeh apabila kita mengalami proses membangun komunitas dengan semangat saling dukung dan saling bantu. Karena dari awal pun sama sekali tidak ada niatan untuk mengambil keuntungan secara financial. Tindakan yang dilakukan lebh kepada memahami hukum sebab akibat. Apabila kita berbuat baik pada teman kita maka sudah sepantasnya akan ada kebaikan yang membalasnya. Sesederhana mempromosikan band teman-teman di medsos kita atau misalnya membeli produk dari band teman-teman kita seperti rilisan fisik dan merchandise. Apabila ada teman kita bikin acara festival dengan dana kolektif maka sudah sepantasnya kita dukung dengan membeli tiket dan berlaku sesuai etika ketika bersenang-senang di moshpitt.

Konsistensi untuk berbuat baik pada akhirnya membawa peran yang signifikan dalam membesarkan kutur independen di Indonesia. Jika awalnya dilakukan oleh diri sendiri maka selanjutnya lakukan bersama teman-temanmu sambil bersenang-senang. Jangan pikirkan soal pahala atau nantinya akan dibalas surga. Selama temanmu senang dan yakin kultur ini akan terus membesar oleh kebaikan.

BACA JUGA - Apakah Kamu Sudah Merdeka?

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner