Catatan 13 Tahun Perjalanan Album ‘Time for a Change Time to Move On’, Pure Saturday

Catatan 13 Tahun Perjalanan Album ‘Time for a Change Time to Move On’, Pure Saturday

Album 'Time for a Change Time to Move On' terbilang istimewa karena kembali menghadirkan Suar di ruang yang sama dengan Satria NB, serta teman-temannya, sesama mantan personil Tambal Band, sebelum namanya menjadi Pure Saturday

“Mang ai album PS aya di spotify?” (bang, album PS ada di spotify?), tanya saya suatu hari. “Ah teuing pamalesan kabeh barudak PS mah. Euweuh nu daek ngurusna” (ah ngga tahu males semua anak-anak PS tuh. Ngga ada yang mau ngurusnya), jawab Satria NB, vokalis Pure Saturday. Obrolan ngalor ngidul tersebut secara random terjadi antara saya dengan Satria NB, atau saya kerap memanggilnya mang Iyo. Biasanya saya tak pernah berani memulai obrolan dengan dia. Menggemari Pure Saturday sejak SMA dan dihadapkan pada sosok dibalik kemudi lagu-lagu yang saya anggap sakral tersebut, membuat tidak mudah bagi saya untuk membuka obrolan lebih dulu. Beberapa menyebut kondisi seperti itu dengan istilah starstruck.

Sampai akhirnya pertanyaan itu kemudian menjadi kenyataan kala Pure Saturday merilis album Time for a Change Time to Move On ke dalam format digital, dan sudah bisa didengarkan di layanan pelantar digital seperti spotify. “wah pas pisan album nu ieu” (wah pas banget album yang ini), ujar saya ketika tahu album tersebut sudah tersedia di spotify. Album tersebut menjadi terasa istimewa karena di dalamnya berisikan lagu-lagu pilihan dari Pure Saturday. Bisa dikatakan seperti album The Best Of nya Pure Saturday, dengan dua lagu tambahan, “Spoken” dan “Pagi”. Menariknya, Suar Nasution, vokalis pertama Pure Saturday kembali dihadirkan menjadi tandem bernyanyi bagi Satria NB di album ini. Format dua vokalis ini seolah menjembatani pro dan kontra para penggemar PS yang kerap meributkan siapa yang lebih pantas sebagai sosok terdepan di band ini. Apakah Suar atau Iyo?

Saya sendiri tumbuh besar di era album Elora, yang mana sosok Suar sudah tidak lagi berada dibalik kemudi lagu-lagu PS. Berganti Iyo yang kemudian melantunkan barisan lagu-lagu catchy di album tersebut. Yang paling menarik perhatian adalah lagu berjudul sama dengan albumnya, “Elora”. Lagu paling ‘religi’ yang pernah lahir dari Pure Saturday (setidaknya menurut saya). Lirik pembukanya tidak pernah saya lupakan sampai hari ini, “tiada lagi yang kuinginkan lebih dari yang kau berikan”. Jika kamu sefrekuensi dengan saya, rasanya bohong jika tidak sampai menitikan air mata melantunkan lirik itu.

Kerap berkutat dengan harapan yang terpatahkan dan banyaknya keinginan yang tidak bisa didapatkan, lirik lagu “Elora” tersebut seolah menjadi jawaban dari benang kusut yang kerap saya rasakan. Lagu itu seolah berkata jika harusnya tidak ada lagi yang saya inginkan, lebih dari yang DIA berikan. Karena esensi dari kepasrahan ternyata bisa begitu menguatkan, mengingat hal tersebut begitu erat kaitannya dengan keterbatasan saya sebagai manusia biasa. Waduh maaf kejauhan ya? Mau bagaimana lagi, lagu tersebut memang se’dalam’ itu buat saya.

Kembali ke album Time for a Change Time to Move On. Album tersebut istimewa karena kembali menghadirkan Suar di ruang yang sama dengan teman-temannya, sesama mantan personil Tambal Band (nama band mereka sebelum Pure Saturday), lengkap dengan si kembar Adhi Udhi, yang kini menemukan jalan lain selain bermusik di hidupnya. Formasi PS tidak pernah se-ideal itu sebelumnya, kala mereka menjembatani para penggemar baru (di kubu Iyo), dan penggemar lama, dengan semua romantismenya (di kubu Suar). Keduanya sama-sama bernyanyi, dan tergambar secara sempurna di lagu “Spoken”, kala Iyo dan Suar bergantian menyanyikan lirik lagu tersebut.

Makin lengkap kala Anggun Priambodo menangkap itu menjadi sebuah momen intim lewat video klip lagu “Spoken”. Menarik menyaksikan para Pure People (sebutan untuk penggemar Pure Saturday) berada dalam sebuah momen intim bersama band idolanya. Hadir pula beberapa kerabat sesama musisi yang tertangkap kamera berada di momen itu. Sekali lagi Pure Saturday memenangkan hati saya, karena setelah “Elora” mereka kembali mengukir catatan penting dalam referensi musik saya. “Spoken”, salah satu lagu penting bagi perjalanan bermusik Pure Saturday, yang juga ditulis dengan lirik ‘berisi’, dan tidak berlebihan rasanya jika sampai sanggup menggetarkan hati (minimal buat saya lah).

Bagi sebagian orang mungkin album pertama Pure Saturday (self titled) menjadi album paling berkesan, namun sayangnya hal tersebut menjadi tidak related dengan saya, karena saya tidak tumbuh pada era album itu menjadi hits. Pun begitu dengan album kedua mereka, Utopia, yang menurut saya terlalu gelap. Sampai kemudian Elora mampu sejalan dengan selera saya, yang kemudian beberapa lagu di dalamnya juga kembali dihadirkan di album Time for a Change Time to Move On.

Album Time for a Change Time to Move On kini sudah bisa didengarkan di layanan musik digital, kala manusia sudah bergerak begitu cepat dan dinamis, dengan satu kali klik dan lagu berpindah ke lagu berikutnya. Berbeda dengan ingatan di dalamnya yang sanggup berdiam lama, kala setiap lagu menyimpan ceritanya masing-masing. Bagi pendengar baru, lagu-lagu di album Time for a Change Time To Move On mungkin hanya akan dimaknai secara teknis, bahwa pernah ada band asal Bandung yang sanggup menyajikan musik pop dengan cita rasa progresif di dalamnya. Bagaimana rumitnya ritmis yang dibuat Udhi, lalu diteruskan permainan bass Ade Muir yang setiap bassline nya terasa begitu kawin, lengkap dengan hujan lick guitar jungly dari Adhi dan Arief, dengan tingkah chorus dan reverb yang begitu renyah terdengar telinga.

Namun bagi pendengar lama, romantisme yang pernah mereka rasakan dengan lagu-lagu Pure Saturday akan sekali lagi mereka rasakan lewat album ini. Analog atau pun digital, selama pendengar memegang erat cerita yang dia simpan, rasanya nyawa di album ini akan sama saja. Menyalakan layar ponsel pintar dan mulai memutar lagunya, satu persatu menggiring kita dengan perjalanan yang sudah dilalui. Apakah kita masih ada di jalan yang sama dan sudah menemukan rahasia dari semesta? Kita bisa menemukan jawabannya di album ini, dari lagu “Buka” sampai “Spoken”. Lalu setelahnya, kita tahu tempat yang kita tuju, seperti apa yang dilantunkan Iyo di lagu “Pagi”.

Pure Saturday masih ada dan bergerak, meski kini hanya menyisakan tiga punggawa di dalamnya. Tapi, seperti apa yang pernah ditulis Idhar di buku Based On True Story : Pure Saturday. Akan selalu ada kursi kosong yang akan ditempati Suar yang diam-diam memperhatikan band lamanya ini, dan si kembar, Adhi Udhi yang menorehkan catatan penting dalam pondasi musik Pure Saturday. Memang sudah bukan band yang sama saat album Time for a Change Time to Move On dirilis pertama kali pada tahun 2007 lalu. Namun sejalan dengan yang dikatakan Pure Saturday di album tersebut, jika perkara waktu, hal tersebut akan selalu erat kaitannya dengan semua perubahan yang terus bergerak dan melangkah, seiring dengan bumi yang berputar. Atau jika tidak harus seserius itu mengartikan ini, perilisan album Time for a Change Time to Move On versi digital ini merupakan sebuah pernyataan jika band yang berusia lebih dari dua dekade ini masih punya nyali untuk selalu bermusik. Sepuluh atau dua puluh tahun lagi mungkin? 

BACA JUGA - Lewat ‘Deathhymn’ WARKVLT Kembali Ke Jalan Yang Benar

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner