Black Friday On September, Obituari Untuk Aries Tanto aka The Real True

Black Friday On September, Obituari Untuk Aries Tanto aka The Real True

Eben lebih memilih jalan yang gelap, terjal dan berliku untuk bisa menemukan siapa dirinya yang sebenarnya. Memilih menjalani hidup sebagai pariah. Mengorbankan segala kemudahan demi mimpi yang dia kejar

Hari Jumat, 3 September, jam dua siang ditengah kesibukan harian kantor, istri saya tiba-tiba memandang lekat sebuah foto yang dipajang diruang kerja kami. Sebuah foto band Burgerkill ketika mereka tampil di Wacken Open Air Festival 2015, ketika untuk pertama kalinya Burgerkill menghajar Jerman. Masih dengan formasi Abah Andris, Viki Mono, Ramdan, Agung dan Eben. Istri saya berujar “duh ga sadar ternyata orang-orang ini ternyata udah ga di band ini lagi”. Telunjuknya satu-satu menyentuh wajah Abah Andris dan Viki Mono yang ada di foto, lalu kembali duduk dan tenggelam dalam kesibukan. Saya hanya tersenyum pahit dan hanya berucap lirih dalam hati, “mereka band yang sudah terbukti tahan banting dan pasti akan bangkit”.  Sebuah firasat.

Pasca pemakaman, sore harinya saya menerima pesan whatsapp dari Morgue Vanguard aka Herry Sutresna. Dia memberi saya tautan website pribadinya www.gutterspit.com, untuk membaca artikel yang dia tulis. Untuk beberapa saat saya rada enggan untuk membacanya. Barulah keesokan harinya saya baca dengan seksama. “Pariah” adalah judul tulisan yang didedikasikan untuk merayakan 25 tahun perjalanan Burgerkill didunia musik cadas. Sontak ingatan saya bergerak mundur secara cepat laksana rollercoaster pada masa tahun 1997, bulan Ramadhan. Terdampar disebuah kamar kostan Eben yang sempitnya 2x3 meter dibelakang Studio Palapa Ujungberung. Terkurung dalam gang sempit dan aroma busuk selokan pada musim kemarau. Para pemuda yang sedang khusyu mendengarkan tumpukan CD dengan aneka musik koleksi Eben. Tape Polytron kami siksa hingga speakernya tersenggal memohon ampun, hingga waktu tak terasa menunjukan pukul 3 dini hari dan speaker toa masjid mulai berteriak sember membangunkan orang-orang untuk segera sahur.

Bergegas Eben keluar bergerombol berdesakan di gang sempit menuju warung makan langganan. Dipinggir jalan Rumah Sakit yang penuh lubang dan debu kerap terbang tersingkap truk kontainer yang lewat setiap saat. Warung nasi bu Atom yang kerap dijadikan terminal bayangan angkot pink jurusan Gedebage-Sadangserang. Pelanggan tetapnya adalah sopir angkot, calo, sopir kontainer, preman local, dan tentu saja kami. Yang membuat warung makan ini tetap bertahan bukan karena rasa masakannya yang enak namun karena harganya yang murah, dengan porsi nasi untuk standar kuli panggul, dan tentu saja karena belas kasihan dari pelanggannya. Segera kami antri diantara aroma keringat sopir-sopir dan semburan debu dari kontainer yang melaju tergesa menuju jajaran pabrik sepanjang jalan Rumah Sakit. Menu sahur yang kami pesan nasi putih dengan tungir ayam dan satu plastik besar teh manis panas. Kami bungkus karena tidak tahan dengan aroma selokan dan lalat yang sibuk hilir mudik merubung setiap kali piring disajikan. Hingga saat ini masih jadi misteri kepanjangan nama dari bu Atom. Saya dan Eben berspekulasi mungkin dia adalah salah satu generasi yang berhasil selamat dari ledakan bom Atom Hiroshima-Nagasaki di Jepang dan memilih bermigrasi ke Ujungberung untuk melanjutkan hidup. Wallahuallam bisawab. 

Porsi tersebut biasa kami nikmati untuk bertiga atau berempat tergantung berapa orang yang terdampar dikostan. Sebagian dari kami ada yang memilih untuk terdampar menghabiskan malam di trotoar sebrang mesjid Agung Ujungberung, karena kamar sudah terlalu penuh untuk bisa lurus berbaring. Biasanya saya, Kimung dan almarhum Ivan lebih menyukai trotoar daripada harus tidur berdesakan dikostan Eben, namun tetap ikut makan dan berbagi isapan rokok sebelum waktu imsak datang.

Eben adalah salah satu dari kami yang paling beruntung yang punya akses terhadap musik. Dengan janji pada orangtua untuk rajin kuliah di Bandung dia manfaatkan jatah uang kuliahnya untuk memenuhi hasratnya membeli rilisan album dari band-band import, hingga merekam album perdana Burgerkill. Apalagi saat itu hasratnya pada musik sedang membara diubun-ubun karena menemukan habitat yang sempurna. Kumpulan pemuda nihilis yang tidak percaya nilai diluar dirinya. Kumpulan pemuda yang sok asik, sok keren, kumal, miskin dan merasa bisa mewujudkan mimpi tentang dunia yang ideal versi mereka. Para pemuda generasi Pariah. Serupa suatu kaum di India Kuno, yang dalam tingkat sosial berada lebih rendah daripada kasta Sudra, di mana manusia dianggap sama dengan binatang dan tidak diakui keberadaannya.

Terlahir dari keluarga berada dengan segala kemudahan yang bisa dia dapatkan, Eben lebih memilih jalan yang gelap, terjal dan berliku untuk bisa menemukan siapa dirinya yang sebenarnya. Memilih menjalani hidup sebagai pariah. Mengorbankan segala kemudahan demi mimpi yang dia kejar. Saat itu kita selalu melempar lelucon yang sama bahwa kaya atau miskin itu bukan takdir melainkan pilihan. Malam berganti hari, bulan berganti tahun dan kehidupan terus berlanjut. Berbagai torehan prestasi dan kesuksesan berhasil diraih bersama Burgerkill dan Eben sebagai lokomotif utama. Terus menderu penuh tenaga meninggalkan semua yang tidak bisa mengikuti kekuatan dan kecepatannya. Menghajar semua batasan dan rintangan.

Hari Jumat pukul 16.50 salah satu rekan kerja tergopoh dengan ekspresi panik menuju lantai 2. Mengabarkan berita yang masih saya anggap belum pasti. 15 menit menuju RS Bungsu menjadi perjalanan terpanjang dalam hidup saya bersama Istri. Didepan selasar ruang IGD beberapa kawan terjongkok dengan dengan ekspresi mendung. Segera memeluk kami sambil terisak. Saya masih belum percaya hingga masuk ruangan IGD. Melihatmu terbujur sudah tak bernafas. Saya tahan untuk tidak menangis, mengingat pesanmu kala Ivan Scumbag dimakamkan. “jangan nangis, Ivan sudah pulang. Sudah tenang”. Saya tepati omonganmu Ben. Hingga ucapan selamat jalan dan terimakasih untuk segalanya saya bisikan ditelingamu.

Selamat jalan Ben. Selamat bertualang dialam Rupadhatu. Alam dimana kamu sudah dibebaskan dari segala macam keruwetan tetek bengek urusan duniawi. Selamat hingga menuju Arupadhatu. Bersemayam dalam rumah penciptamu. Menjadi abadi. 

BACA JUGA - PPKM (Tidak) Bisa Batasi Musik

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner