Banyak Menjajal Festival Musik Dunia, Lightcraft Ingin Relate Dengan Penikmat Karyanya

Banyak Menjajal Festival Musik Dunia, Lightcraft Ingin Relate Dengan Penikmat Karyanya

Ditemui disela-sela syuting untuk program DCDC MusikKita, Lightcraft menuturkan tentang awal terbentuknya band ini, hingga cerita tentang festival musik di luar negeri yang mereka singgahi.

Sekitar tahun 2004/2005 menjadi kali pertama Lightcraft terbentuk, sewaktu tiga personilnya, yakni Imam, Fari, dan Enrico masih kuliah di Kuala Lumpur, Malaysia. Sempat mengusung nama Parallel Lines dan Tenterhooks sebagai nama band, mereka nyatanya merasa lebih cocok menyandang nama Lightcraft, sebagai nama dari wadah kreativitas mereka. Sempat merilis satu buah mini album, The Modern Seasons (2006) dan album debut mereka berjudul Losing Northern Lights (2008) di Malaysia, Lightcraft kemudian kembali ke Indonesia, setelah lebih kurang tujuh tahun menjalani karir bermusik di negeri Jiran tersebut.

“Satu per satu meninggalkan Kuala Lumpur, karena sudah menyelesaikan studi masing-masing, dan tinggal saya sendiri di sana, karena waktu itu sedang mengambil S2 dan bekerja di Malaysia. Sampai akhirnya pada tahun 2012, barulah saya pulang kampung, bergabung kembali dengan Fari dan Enrico. Setelah melewati dua drummer yang berbeda dari masa saya pulang ke Jakarta, kami akhirnya merekrut Yopi, dan terbentuklah Lightcraft dengan formasi yang sekarang”, ujar Imam menjelaskan.

Di tanah air, Lightcraft mengawali pijakannya dengan merilis album penuh keduanya yang berjudul Colours Of Joy pada tahun 2013 lalu. “proses rekamannya memakan waktu hampir dua tahun, karena pada saat kami memulai rekaman, saya masih berbasis di Kuala Lumpur, sementara yang lain di Jakarta. Jadinya saya merekam parts saya di KL, lalu kalau saya sedang pulang ke Jakarta, kami gabungkan dan lanjutkan lagi. And that went on and on sampai saya akhirnya sudah pulang for good. Barulah kami bisa melakukan proses rekaman yang normal”, ujar Imam menjelaskan tentang album penuh kedua Lightcraft tersebut.

Tentang musiknya sendiri, mereka beranggapan jika pemilihan karakter sound dalam musik-musik mereka menjadi satu hal yang sebenarnya mereka pun belum menetapkan genre nya apa, namun mereka menggambarkan itu lewat istilah anthemic indie rock. “Yang pasti musik Lightcraft itu terbalut di dalam lapisan-lapisan melankolis yang kami buat secara tidak sengaja menjadi lagu-lagu yang bersifat anthemic”, ujar Imam menjelaskan tentang musik bandnya.

Lightcraft dikenal sebagai band tanah air yang kerap tampil di festival-festival musik luar negeri. Pencapaian tersebut tidak dengan mudah mereka dapatkan, dari mulai seringnya mereka submit ke banyak festival musik di dunia, bahkan diakui sang gitaris Fari, jumlahnya mencapai sekitar 50 festival Musik, hingga akhirnya baru pada tahun 2014 mereka dapat bermain Baybeats Music Festival di Singapura, pada Januari 2014. Tahun berikutnya, Lightcraft berhasil tampil di India pada festival Saarang 2015 di IIT Madras, Chennai. Disusul pada awal Mei 2015, Lightcraft sukses dengan penampilan perdana mereka di Kanada pada festival Canadian Music Week 2015 di Toronto, Kanada, dan dilanjutkan dengan penampilan di Zandari Festa 2015 di Korea Selatan, yang diadakan di Seoul dari tanggal 2-4 Oktober 2015.

Perjalanan mereka menjajal banyak festival musik di dunia terus berdatangan, mereka kemudian diakui oleh publik musik di dunia dan diundang ke berbagai festival musik bergengsi, dari mulai Liverpool Sound City, Inggris hingga festival SXSW (South by Soutwest). Sebuah festival musik bergengsi, yang bertempat di Austin, Texas, Amerika. Tentang torehannya tersebut mereka menuturkan jika setiap kali mereka dapat kesempatan ke luar negeri, mereka selalu berusaha untuk berteman dengan siapa pun. Hingga hal tersebut kemudian membangun jejaring dengan banyak orang di dunia. Selain, satu hal yang tidak kalah penting adalah Internet, karena menurut mereka ada banyak sekali jalan untuk ke luar negeri, apa lagi dengan kualitas band-band di Indonesia yang sebenarnya bagus-bagus.

Ketika ditanya perbedaan yang mereka rasakan tentang festival musik di luar negeri dan di tanah air, mereka menuturkan jika beda tempat, beda atmosfir. “Terutama untuk manggung, terasa ada perbedaan dibandingkan saat main di negeri sendiri – baik itu dari segi penonton, band-band yang main bersama kami, dan lain-lain. Mereka cenderung lebih terbuka dari segi musik dan juga dari segi pertemanan. Tentunya, kami juga selalu mencoba untuk merasakan dan meresapi kultur dari setiap tempat yang kami kunjungi – dan juga cuacanya! Dunia ini sebenarnya sangat indah”, ujar sang vokalis, Imam.

Mereka juga menambahkan jika kesiapan mental sangat penting ketika tampil di festival musik luar negeri. “Jika kami bermain di tempat yang belum pernah kami datangi, pasti akan menjadi pengalaman yang sangat berbeda. Kalau waktu dan finansial mengijinkan, kami akan riset untuk mencari kesempatan-kesempatan tampil di luar main event. Menentukan lokasi tempat tinggal juga penting jika disediakan oleh organiser – antara dekat dengan bandara udara atau dengan venue penampilan. Saya pribadi suka hunting CD, jadi saya akan selalu melakukan riset mengenai CD/record shops di kota tujuan. Selain dapat mencari CD yang tidak ada di Indonesia, dapat juga menjadi kesempatan untuk menjual CD sendiri!”, tambah Imam menjelaskan.

Lepas dari torehan mereka yang banyak menjajal festival musik di luar negeri, mereka juga menuturkan jika pada dasarnya mereka hanya ingin musik yang mereka mainkan bisa relate dengan pendengarnya. Mereka ingin dikenal sebagai band yang bisa menyenangkan siapapun yang menikmati karya mereka. Karena seperti halnya yang mereka suguhkan di album terbarunya, Us Is All, dengan pesan intinya yang berbunyi kita adalah semua, dimana perbedaan harusnya bisa dihargai dan bukan dijadikan penghalang untuk kita bisa bersatu.

BACA JUGA - Fais ‘Karat’ : “Metal Tidak Harus Selalu Gelap”

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner