“Bandung Pop Darling” : Tonggak Sejarah Perkembangan Scene Pop Bandung

“Bandung Pop Darling” : Tonggak Sejarah Perkembangan Scene Pop Bandung

Sumber Foto : Diambil dari instagram @eabooks

Pergerakan Indie pop pada era awal-awal kemunculannya terasa tidak mudah dan penuh rintangan. Tetapi disisi lain, akan terasa sangat menyenangkan ketika bisa terjun langsung dalam perkembangan skena ini

Mendengar kata “pop” mungkin akan terlintas pada band-band yang lagunya sering diputar di outlet-outlet pedagang atau kerap hadir pada sebuah acara televisi dengan jargon “la la la, ye ye ye” nya itu (merujuk pada jargon acara musik di televisi seperti Dahsyat atau Inbox-red). Ya, memang tidak salah bahwa sebenarnya band-band itupun dapat dikategorikan sebagai band pop. Akan tetapi sebenarnya jauh sebelum band-band pop mainstream itu hadir, terdapat sebuah skena pop yang bergerak di bawah tanah secara independen, dengan gaya musik ala-ala musik pop dari Britania Raya (lazim disebut Brit Pop).

Dalam sebuah buku dari penulis Irfan Popish berjudul “Bandung Pop Darling”, skena pop bawah tanah ini kerap dikenal sebagai musik Indie pop, di mana (dalam buku itu) dijelaskan pula bahwa setiap pelaku yang berada di dalam Indie pop sering disebut sebagai barudak (anak-anak dalam bahasa Indonesia-red) indies. Hal ini cukup unik, mengingat bahwa sebenarnya istilah “indies” hanya ada di Indonesia, bahkan di negara-negara yang melahirkan band-band Indie pop tidak mengenal istilah itu.

Semangat independen sudah sangat terasa ketika saya membuka bagian bab 1 dari buku ini. Di awal pembahasan sudah dijelaskan bahwa nama pop sendiri seakan-akan menggiring opini kita pada sebuah musik yang penuh hingar-bingar dan seolah menjauhkan dari nilai-nilai independen. Tetapi sebenarnya dibalik euforia dan gambaran orang-orang tentang pop, pergerakan Indie pop sendiri hadir untuk melawan arus Pop (dengan P besar) yang dinilai tidak “bebas” dalam berkarya.

Berawal dari Inggris, gelombang Indie pop kemudian menginvasi seluruh dunia, termasuk Indonesia yang juga turut terserang gelombang ini melalui Bandung dan Jakarta, tepatnya pada era 90an. Untuk mendeskripsikan musik Indie pop yang tumbuh berkembang di skena bawah tanah itu, kemudian istilah “Indies” lahir dan akhirnya terus digunakan. Era 90an kala itu musik Britpop sedang gencar diperbincangkan, sehingga istilah “Indies” diidentikan pada musik-musik Britpop. Padahal menurut beberapa pelaku awal skena ini lahir, musik-musik seperti Shoegaze, Tweepop, Post-Punk dan lainnya juga dapat dikategorikan sebagai bagian dari ‘musik’ Indies.

Awal masuknya skena Indie pop ke Indonesia ini tentunya tidaklah instan dan mudah, terlebih lagi pada era 90an itu untuk mengakses musik-musik dari luar negeri sangat terbatas. Lalu bagaimana musik-musik dari Barat bisa masuk ke Indonesia pada saat itu? Jawabannya adalah lewat beberapa orang yang memiliki tingkat perekonomian menengah ke atas (baca : orang berada). Beberapa dari orang-orang itu bisa mendapatkan informasi mengenai musik-musik Barat tersebut, karena sebagian mereka ada yang sedang melakukan studi atau pun memang sering bolak-balik luar negeri hanya untuk sebatas hiburan.

Ketika kembali pulang ke Indonesia, rilisan fisik seperti kaset, piringan hitam, majalah dan merchandise menjadi sumber informasi utama bagi mereka yang berada di tongkrongan. Pada era awal-awal skena Indie pop hadir di Bandung, terdapat beberapa anak muda yang kerap berkumpul di Taman Lalu Lintas lengkap dengan papan skateboard. Tongkrongan ini sering disebut sebagai anak-anak TL (Taman Lalu Lintas). Tak jauh dari tempat itu, terdapat sebuah toko buku bernama Q*Ta yang lebih tepatnya berada di bilangan Jalan Riau, Bandung. Charlie Jojaya Kusuma adalah pemilik toko buku ini yang kerap memajangkan beberapa majalah dari luar negeri seperti Thrasher, Select, Spin dan lain-lain.

Ketika membaca lebih jauh tentang awal-awal skena Indie pop ini ada, buku “Bandung Pop Darling” ini mampu membuat saya berdecak kagum ketika membayangkan bagaimana keseruan pada era 90an itu. Terlebih lagi saya adalah generasi era milenial baru yang semasa pubertas mulai tertarik musik-musik Britpop (The Smith, Oasis, The Stone Roses dan semacamnya). Hadirnya buku ini tentunya membuka wawasan baru mengenai skena Indie pop ini.

Ketika semua referensi tentang musik Indie pop ini mulai tersebar, beragam respon terlontar dari kalangan muda kala itu. Ketika beberapa tongkrongan mulai menyukai musik ini, mereka kemudian bergaya dan berpenampilan seperti personil band-band Indie pop favoritnya. Berbeda dengan orang-orang yang kontra dengan Indie pop, mereka malah mengatakan bahwa anak-anak Indies itu “aneh”. Memang jika dilihat dari gaya berpakaian era 90an, khususnya di ranah bawah tanah  masih didominasi oleh tampilan Metal yang sangar. Perlahan tapi pasti, skena ini akhirnya mulai merambah ke berbagai wilayah di Bandung kala itu.

Semakin menjamurnya skena Indie pop di Kota Bandung, kemudian lahir beberapa komunitas baru yang cukup besar eksistensinya seperti tongkrongan Kintam di kawasan Ranggamalela dan Paguyuban Rockers Bandung di Dipati Ukur (DU). Di dalam buku “Bandung Pop Darling” ini secara rinci menjelaskan band-band apa saja yang terlahir dari dua komunitas itu. Akan tetapi sebelum band-band ‘indies’ muncul dari kedua komunitas itu, Pure Saturday menjadi band pembuka di skena ini. Selain itu, ada pula band-band lainnya yang diakui sebagai pionir seperti Cherry Bombshell dan Kubik. Band-band itulah yang akhirnya menjadi warna baru bagi kancah musik bawahtanah kala itu.

Pagelaran gigs juga turut disinggung dalam buku ini, dimana gigs-gigs Indie Pop di Bandung pada saat itu lebih banyak diselenggarakan di pentas seni sekolah, kampus dan acara komunitas. Selain itu, dijelaskan pula bahwa di tengah kejayaan dua komunitas itu terdapat masalah yang cukup krusial sehingga skena sedikit goyah. Terlepas dari skena Indies, Irfan Popish juga turut melampirkan beberapa tanggapan dari skena-skena bawah tanah lain tentang pandangannya terhadap skena yang baru muncul ini.

Di bagian pertengahan buku ini, turut dijelaskan tentang bagaimana skena Indies mulai terpengaruh dengan hadirnya jaringan internet yang semakin memudahkan aliran persebaran musik-musik pop barat. Beberapa tayangan televisi seperti MTV menjadi acuan utama para Indies yang kala itu arus sedang diramaikan oleh musik Britpop. Memang jika dipikir-pikir kalo penyebaran musik pop barat pada era sekarang, mungkin akan sangat simpel dan tidak memerlukan biaya lebih seperti pada era 90an.

Kemudian untuk bagian terakhir atau lebih tepatnya pada pembahasan “Yang Baru, Yang Bertahan”, Irfan Popish menjabarkan tentang apa yang terjadi pada skena Indies ketika sudah melalui fase-fase berat selama kurang lebih lima tahun dari awal terbentuk. Bukan hanya itu, di buku ini juga disebutkan dengan gamblang bahwa selain pergerakan Indies terdapat juga beberapa subkultur yang juga tak kalah mentereng di Bandung, diantaranya skena Bandung Mods/Scooter dan skena Casual Bandung.

Kedua skena yang tadi disebutkan bila dilihat dari fashion dan referensi musik tentunya tidak beda jauh, atau bahkan bisa dikatakan sama. Saya rasa kedua skena tersebut memang sudah sangat pantas disinggung dalam buku ini. Terlebih lagi sumber-sumber referensi musik mereka masih sejalan dengan Indies. Beberapa label Indies yang masih mempertahankan gaya musik Indie pop pun turut disebutkan sebagai cerminan bahwa skena Indies masih tetap eksis. Elemen-elemen pendukung yang mengangkat tema-tema seputar skena Indies juga dilampirkan yang diantaranya tulisan-tulisan di internet, buku, majalah, koran, jurnal, film dan fanzine.

Buku “Bandung Pop Darling” ini tentunya dapat menjadi sebuah buku yang patut sekali dijadikan sebagai tonggak sejarah masa-masa Indie pop di Indonesia, atau bahkan bila perlu buku ini bisa saja menjadi buku pembelajaran bagi sekolah atau kampus yang membahas seputar musik. Tak terhitung berapa respek yang saya berikan kepada Irfan Popish sebagai penulis buku ini. Tentunya akan terasa sangat sulit mengumpulkan informasi-informasi seputar scene ini untuk kemudian ditumpah-ruahkan pada buku “Bandung Pop Darling” ini. Semoga saja buku ini dapat menjadi literasi yang bermanfaat bagi skena Pop di Indonesia. Salut!

BACA JUGA - Song Review : Iksan Skuter – “Badut”

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner