'Bandung Pop Darling' : Skena Pop Bandung dan Pergerakannya

'Bandung Pop Darling' : Skena Pop Bandung dan Pergerakannya

Foto : Fikri Ihsan

Malam itu, selain Irfan yang menjadi central point di acara peluncuran bukunya, juga menjadi ajang temu kangen antar penggiat, penikmat, dan orang-orang yang punya ketertarikan dengan musik pop atau indie-pop di Bandung.

Anto Arief. Musisi yang dikenal sebagai seorang gitaris dari band 70sOC (dulunya bernama 70’s Orgasm Club) ini juga dikenal sebagai seorang penulis musik. Namun satu hal yang mungkin tidak banyak orang tahu adalah ketika Anto menjadi gitaris dari band The Bride. Sebuah band yang juga masuk dalam album kompilasi berjudul This Is Bandung (kelak album ini menjadi begitu dicari karena berisikan band-band ‘indies’ pilihan asal kota Bandung) pada era 90an. Meski sering mendapuk diri sebagai musisi funk, tidak bisa dipungkiri jika Anto merupakan anak ‘indies’ (istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan musik pop yang berkembang di skena bawah tanah Indonesia pada era 90an. Dan menjadi identik dengan musik britpop, dan turunan musik pop lainnya seperti shoegaze, twee-pop, post punk dan lain-lain) Terbukti malam itu dia didaulat sebagai seorang DJ yang bertanggung jawab memutarkan lagu-lagu pop pilihan dari mulai James hingga Blur.

Penampilan Anto malam itu bukan tanpa alasan atau hanya sebatas merayakan romantisme dengan musik pop asal tanah britania tersebut, tapi juga sebagai bagian dari gelaran perilisan buku ‘Bandung Pop Darling’ karya penulis muda berbakat, Irfan Popish. Bertempat di 107 Garage Room, jalan Ciumbuleuit no 107 Bandung, acara dibuka sekitar pukul 8 malam oleh Alvin Yunata (Teenage Death Star, Irama Nusantara) dan Amenkcoy (Sleborz) yang bertindak sebagai moderator acara malam itu.

 

Memasuki area acara, terdapat jejeran buku ‘Bandung Pop Darling’ serta merchandise lainnya seperti kaus dan CD mixtape, yang tentunya menarik untuk menjadi Collector's Item. Selain itu, satu hal menarik lainnya adalah konsep lesehan bagi para pengunjung dalam gelaran tersebut. Membuka obrolan malam itu diawali oleh cerita Irfan ketika dia bersinggungan dengan indie-pop untuk pertama kalinya. Diakui olehnya jika perkenalannya dengan musik ini berawal dari ketidaksengajaan. Seperti halnya anak muda pada era 2000an awal yang dilanda demam musik metal, bahkan post hardcore atau emo, Irfan pun menjadi salah satu yang terkena gelombang tersebut, hingga akhirnya pencarian dia tentang band Bullet For My Valentine kemudian beranjak pada sebuah band yang asing bagi dia bernama My Bloody Valentine.

Meski mempunyai nama yang hampir sama, My Bloody Valentine (selanjutnya ditulis MBV) ternyata menyuguhkan musik yang jauh berbeda, dengan karakter ‘aneh’ lewat bebunyian noise  yang susah dicerna. Namun bukannya ‘menyerah’ dengan kebisingan yang ditawarkan MBV, Irfan malah semakin tertarik untuk ‘ngulik’ lebih jauh tentang band ini, hingga pencariannya berlanjut pada band-band ‘indies’ lainnya, dan mulai lah saat itu dia jatuh cinta dengan musik ini, serta mendapuk diri sebagai indiekid.

Pembahasan tentang awal mula perkenalan Irfan dengan indie-pop kemudian membuatnya bersentuhan dengan komunitas pop di Bandung, seperti Maritime, lewat sebuah acara yang digagasnya di Twank Cafe, berupa tribute untuk Sarah Records. Hingga tentang pergerakan Sarah Records sendiri menjadi satu hal yang dirasa ‘seksi’ bagi Irfan, dan hal tersebut akhirnya menjadi pilihan ‘anti mainstream’ jika dibanding dengan raksasa britania kala itu seperti Oasis atau pun Blur misalnya. "Jangan ngaku indiekid kalo ga tahu Sarah Records", kenang Irfan kala itu. 

Alvin Yunata yang didaulat sebagai moderator malam itu cukup lentur dalam mengarahkan kendali acara, meski tidak jarang pembahasan menjadi sedikit melebar, seperti misalnya ketika Alvin menyoroti tentang pergerakan komunitas pop di Bandung yang dinilai stuck, ketika dirinya melihat itu dari kacamata media besar seperti Trax Magazine, dimana Alvin menjadi penulisnya ketika itu (era awal 2000an).

 

Beberapa narasumber seperti Helvi (FFWD), Joz (Maritime), Mawir (PRB), Niskhra dan Sutuq (Poptastic), hingga Ade Muir dari Pure Saturday sedikit membawa romantisme kala Bandung masih baru dengan semua pergerakan musik bawah tanahnya, khususnya skena musik pop. Minimnya referensi kala internet masih menjadi embrio dan belum menjadi rujukan seperti sekarang, orang-orang semisal Helvi, Niskhra, atau pun Sutuq yang kebetulan mempunyai akses ke luar negeri, mengaku hal tersebut kemudian membuat mereka mendapatkan referensi yang cukup lumayan tentang musik-musik semacam ini. Sampai kemudian apa yang mereka dapat di luar negeri tersebut, kemudian diaplikasikan di tanah air, lewat ragam cara, dari mulai membuat label rekaman seperti yang dilakukan Helvi dengan FFWD, hingga gigs-gigs komunitas yang diprakarasai oleh Niskhra dan Sutuq lewat Poptastic nya tersebut.

Selain pembahasan tentang romantisme skena indie-pop era 90an, acara peluncuran buku ‘Bandung Pop Darling’ tersebut juga menampilkan band untuk tampil. Didaulat menjadi pengisi acara malam itu adalah Turks & Caicos yang membawakan lagu miliknya. Penampilan dari band ini juga kemudian menjadi pembahasan menarik, mengingat band ini datang dari gelombang baru dari skena indie-pop itu sendiri. Dengan semua kekurangan dan kelebihannya, band ini menjadi representasi jika skena ini masih ada dan terus bergeliat.

Tidak hanya didaulat untuk tampil membawakan lagunya saja, sang vokalis Nadhif Ardana juga diminta untuk menjadi pembicara bersama dengan Mirza sebagai ‘wakil’ dari generasi baru skena indie-pop Bandung. Dari obrolan yang diarahkan oleh Alvin dan Amenk, pembahasan kemudian mendapati satu hal menarik tentang gap antara generasi lama dan baru, yang dengan semua pembawaan Alvin berhasil membuat suasan menjadi cair, karena banyak diselingi dengan celotehan khas ‘bandung banget’ dengan semua leluconnya.

 

Malam itu, selain Irfan yang menjadi central point di acara peluncuran bukunya, juga menjadi ajang temu kangen antar penggiat, penikmat, dan orang-orang yang punya ketertarikan berlebih dengan musik, khusunya pop atau indie-pop di Bandung.

BACA JUGA - Synchronize X Archipelago : Mengulas Pola Promosi dan Membangun Jejaring Di Ranah Digital.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner