Apakah Jargon Pasar Bisa Diciptakan Masih Relevan Untuk Efek Rumah Kaca?

Apakah Jargon Pasar Bisa Diciptakan Masih Relevan Untuk Efek Rumah Kaca?

Kenyaris-sempurnaan band ini, kalaupun harus dicari celah nya, mungkin terletak pada kesulitan untuk bisa melampaui pencapaian yang ada di tiga album mereka, dan apakah jargon pasar bisa diciptakan masih relevan untuk mereka?

Efek Rumah Kaca adalah antitesis. Jika kalimat perlawanan terlalu dini disematkan pada ERK (kependekan dari Efek Rumah kaca), maka boleh kiranya jika ERK digambarkan sebagai antitesis dari hal-hal popular. Keberadaannya menawarkan pop yang punya “isian” lebih. Menelanjangi pop yang notabene-nya adalah musik popular dengan isian yang tidak popular, namun uniknya malah disukai. Bagaimana ketika ERK mematahkan eksploitasi rasa tentang dua insan yang jatuh cinta lewat lagu “Jatuh Cinta Itu Biasa Saja”. Atau ketika ERK mematahkan prositusi karya yang menghamba pada kata cinta lewat lagu “Cinta Melulu”, yang diteruskan lewat sebuah lagu dua babak, "Biru" (Pasar Bisa Diciptakan, Cipta Bisa Dipasarkan). ERK seolah menegaskan keberpihakannya pada hal-hal yang jarang tersentuh. Mereka memainkan sesuatu (dalam hal ini musik) yang popular dengan cara yang tidak popular. Singkatnya, mereka membuat suatu pakem jika pasar bisa diciptakan.  

Memangnya apa yang sesunggunya dijual oleh ERK untuk dipasarkan? Jawabannya adalah intuisi. Intuisi mereka yang berkata jika ada hal kecil yang akan, dan bisa sampai pada tiap-tiap hati kecil orang yang berbisik, sampai pada akhirnya mereka mengapresiasi itu. Dari sanalah terjalin chemistry yang kuat antara intuisi ERK lewat lagunya dengan pendengar karya nya. Bahwa ada getaran dalam lirik “tapi aku tak pernah mati, tak akan terhenti”, yang ditujukan untuk alm Munir pada lagu "Di Udara". Ada getaran lewat lirik “semoga ada yang menerangi sisi gelap ini, yang setia menunggu hujan reda”, pada lagu mereka “Desember”. Sampai akhirnya mereka mendapatkan ‘pasarnya’ lewat riuh tepuk tangan penikmat karya nya, tiap sudut panggung, tempat dimana mereka menggelar pertunjukan musiknya. Para penikmat karya ERK seakan mengiyakan intuisi ERK tadi jadi sebuah bentuk interaksi hati.

Sulit menemukan cela di band ini. Dari mulai remaja baru hipster dengan aksi #nowplaying nya itu, sampai Heri Sutresna, orang dibalik kolektif hip hop berbahaya, lewat aksi sumpah serapah dalam lagu-lagunya, pun beberapa kali ada di barisan penonton kala Efek Rumah Kaca menggelar konser. Bahkan lagu “Di Udara” masuk daftar lagu protes terbaik, yang dia susun di blog pribadinya, bersanding dengan nama-nama besar, dari kelompok musik Swami, sampai Abah Iwan Abdurahman.

Kenyaris-sempurnaan band ini, kalaupun harus dicari celah nya, mungkin terletak pada ekspektasi penggemarnya, mengingat album Sinestesia sudah terlampau maju melampaui zamannya. Mereka mungkin akan dihadapkan pada kesulitan untuk bisa melampaui pencapaian yang ada di tiga album mereka, yang kesemuanya mengalami progres yang signifikan, dan hampir tidak ada cela tersebut. Lalu apakah mereka masih merasa nyaman dengan lagu sejuta umatnya yang berjudul “Desember”, yang selalu mereka bawakan demi memenuhi keinginan penonton, berbagai kalangan, yang terhubung di lagu romantis tersebut. Atau mereka akan seperti Radiohead, yang mulai enggan membawakan lagu hits nya seperti “Creep”, lalu beralih dengan deretan lagu ‘idealis’ nya yang susah dicerna itu? Apakah mereka akan tetap memegang pakem ‘pasar bisa diciptakan’ tersebut, meskipun lagu “Desember” menghilang dari deretan ‘song list’ mereka diatas panggung?

Sumber foto : http://jazztraffic.com

BACA JUGA - A Page About : Menangkap Nilai Estetis Cholil Mahmud Dalam Membuat Lirik

View Comments (1)

Comments (1)

  • Hasnandanmomo
    Hasnandanmomo
    28 Feb 2018
    Saya vote obat pencahar
You must be logged in to comment.
Load More

spinner