Apa Memang yang Ingin Kita Rayakan di Hari Musik Nasional?

Apa Memang yang Ingin Kita Rayakan di Hari Musik Nasional?

Memperingati “Hari Musik Nasional” kemudian menjadi hal yang ambigu kala dihadapkan pada sebuah pertanyaan, kemana musik nasional ini akan dibawa? Kalau pun ini jadi sebuah perayaan, apa memang yang ingin dirayakan?

Jika menurut Friedrich Nietzsche “tanpa musik, hidup adalah sebuah kesalahan”, maka ketika itu dihubungkan dengan masa pandemi satu tahun belakangan ini musik kemudian menjadi sebuah kesalahan itu sendiri, mengingat kehadirannya sering berkaitan erat dengan pengumpulan orang dalam jumlah besar. Hal itu bertolak belakang dengan apa yang dikampanyekan pemerintah perihal tagar di rumah saja, demi menghindari penyebaran virus covid 19.  

Namun apa yang para pemangku keputusan tuduhkan tentang musik yang berkaitan erat dengan keriaan banyak orang, hal tersebut kemudian bersinggungan pula dengan hajat hidup banyak musisi yang menggantungkan mata pencaharian di panggung musik.  Lalu ketika menghubungkan musik dengan sebuah momentum peringatan “Hari Musik Nasional” yang diperingati setiap tanggal 9 maret di Indonesia, hal tersebut kemudian kerap melahirkan tanda tanya tentang apakah momen tersebut hanya dijadikan sebagai sebuah wacana saja, dan apakah esensinya masih ada? Seperti kebanyakan momentum hari peringatan lainnya yang begitu banyak dibahas orang namun menjadi nir makna, dan berakhir sebagai sebuah judul saja.

Memperingati “Hari Musik Nasional” kemudian menjadi hal yang ambigu kala dihadapkan pada sebuah pertanyaan, kemana musik nasional ini akan dibawa? Apakah “Hari Musik Nasional” hanya akan berakhir menjadi sebuah perayaan tanpa isian di dalamnya? Kalau pun ini jadi sebuah perayaan, apa memang yang ingin dirayakan? Mengingat musik kemudian dianggap sebagai sebuah kesalahan, bertolak belakang dengan Nietzsche yang justru menganggap hidup sebuah kesalahan jika tanpa musik. Tentang musik, hidup, keriaan, aturan, wabah, konspirasi semuanya terasa saling tumpang tindih meminta perhatian lebih, yang sayangnya pada momentum perayaan hari musik nasional justru terasa hambar, bagai sayur tanpa garam kurang sedap kurang nikmat, karena itu Inul goyang agar semuanya senang. Aduh maaf jadi ngelantur. Alih alih diperhatikan, semuanya malah menjadi polemik yang disikapi dengan gagap.  

Tapi lepas dari itu, jika bicara musik secara umum pun rasanya selama itu konteksnya ke industri akan sama hambarnya dengan momentum perayaan Hari Musik Nasional, di mana kita kerap kebingungan sedang merayakan apa, karena jika konteksnya bicara tentang kebebasan dalam bermusik, toh nyatanya industri arus utama selalu menghubungkan itu dengan sebuah formula yang sama, dengan pola, gimik, dan cara pemasaran yang sama. Satu hal yang mungkin mengingatkan pada salah satu satu adegan menarik dalam film Bohemian Rhapsody, saat Ray Foster dan Queen berdebat soal formula dalam membuat lagu.

Ray menginginkan Queen membuat lagu populer seperti halnya lagu “Killer Queen”, sedangkan Queen sudah tidak mau mengulang lagu dengan formula yang sama, hingga mereka mengusulkan gaya baru dalam pembuatan lagu, lewat perpaduan unsur musik rock dan opera. Ray menolak usulan Queen, sampai akhirnya keputusan itu harus menjadi penyesalannya seumur hidup, karena membuat Ray kehilangan Queen, yang namanya makin melejit usai merilis “Bohemian Rhapsody”. Sebuah lagu yang memadukan musik rock dengan opera itu tadi.

Cuplikan adegan film Bohemian Rhapsody di atas, sedikit banyaknya mewakili gambaran seperti apa industri arus utama itu ‘dimasak’, dengan apa yang Ray Foster sebut ‘formula’. Seberapa sering kita mendengar lagu-lagu dengan tema patah hati? Tema perselingkuhan? Atau mungkin kita masih ingat dengan segala macam tren musik yang pernah ada di Indonesia, dari demam pop melayu hingga ‘korean wave’, yang menjadi rujukan para produser musik membuat ‘formula’ itu tadi.

Namun meski begitu, untungnya harapan akan musik dengan sajian estetika karya yang baik masih bisa kita dapatkan, dari apa yang banyak orang sebut dengan musik arus pinggir atau sidestream, atau lumrah kita sebut musik ‘indie’ (meskipun ini agak rancu, karena kata indie awalnya merujuk pada sebuah pergerakan distribusi musik secara independen/mandiri, bukan mengarah pada jenis musik-imho). Para musisi atau band yang ada di jalur ini masih punya kesadaran akan pentingnya esensi dan estetika karya yang baik, ketimbang harus mengikuti ‘formula’ itu tadi. Semangatnya mungkin sama dengan apa yang Queen sajikan saat mereka bereksperimen membuat lagu “Bohemian Rhapsody”, dimana kreativitas dan eksplorasi musikal menjadi harga mati bagi para musisi.

Lalu, kembali ke pertanyaan tadi, apa memang yang ingin kita rayakan di Hari Musik Nasional ini? Apa tentang romantisme musik Indonesia zaman dulu? Tentang lagu-lagu arus utama? Tentang lagu-lagu nasionalis? Atau mungkin tentang hari kelahiran W.R Supratman, yang kemudian diabadikan dalam momentum perayaan hari musik ini? Jika para musisi masih diberkan ruang untuk berekspresi mungkin momen perayaan Hari Musik Nasional akan jauh terasa relate dan dekat dengan para pelaku musik. Tidak seperti saat ini, dibuat berjarak karena jangankan merayakan hari musik, untuk bisa bermusik saja mereka sulit.

BACA JUGA - Lagu-Lagu ‘Kacangan?’ Dibenci Tapi Dinikmati

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner