Album Review: Grausig - 'Dogma Dunia Baru'

Album Review: Grausig - 'Dogma Dunia Baru'

Sebagai band yang sudah berumur, secara keseluruhan dalam bermusik Grausig dirasa memang sudah tidak perlu diragukan lagi.

Entah mengapa saya tidak mempunyai alasan untuk menyukai musik death metal. Sejak pertama kali saya mengenal skena musik underground, secara pribadi saya merasa kurang bersahabat dengan musik yang satu ini. Musik yang identik dengan tema kekerasan atau pembunuhan, dengan memainkan guitar down tune, dentuman drum sepanjang lagu yang seakan tiada hentinya, teknik suara geraman parau yang dinyanyikan sang vokalis, serta artwork yang memperlihatkan pembuhunan secara sadis seakan menjadi sajian penyempurna bagaimana menyeramkannya aliran musik yang satu ini. Menurut saya, cover album bisa menjadi jembatan awal pengenalan seseorang dengan suatu karya tersebut. Kalau pengenalan awalnya saja sudah menakutkan, mungkin orang juga belum tentu mau lanjut mendengarkan karyanya. Alasan itu yang membuahkan hasil tidak harmonis antara saya dan death metal, meskipun pada dasarnya saya mendengarkan musik heavy metal dan thrash metal.

Kali ini, saya berkesempatan untuk me-review sebuah album dari band dedengkot old-school death metal asal Jakarta, Grausig, yang notabenenya musik yang mereka bawakan kurang saya sukai. Akan tetapi, saya mencoba objektif untuk menilai sebuah karya, dengan bermodalkan menggali dan membaca dari berbagai referensi.

Band yang berumur hampir tiga dekade ini baru saja melahirkan karya terbarunya berbentuk album yang bernama Dogma Dunia Baru. Media Cianjur Musik Cadas sudah terlebih dahulu mengulas tentang album ini dan memaparkan opininya, "Grausig memberikan suguhan musik old school death metal yang terbilang padat, dengan delapan lagu berbahasa Indonesia yang bertemakan kritik sosial dengan tema adanya pembenaran berbalut kesucian dan atas nama radikalisme yang terjadi, dikemas dengan musik yang super ekstrim memberikan kesan seram dan bergairah". Artikel ini sangat membantu saya menambah referensi untuk melengkapi review.

Setelah saya menelisik lebih dalam lagi tentang Grausig, memang di album ini Grausig terdengar lebih seram dan kelam dari pada album-album mereka sebelumnya. Di album ini, mereka seperti memperkenalkan karakter yang sebenarnya. Apabila dilihat dan didengar dengan seksama, album ini seperti mengingatkan kita pada album pertama milik Suffocation, Effigy of the Forgotten. Saya melihat ada banyak kemiripan antara dua album ini. Selain dari gaya musik yang Grausig bawakan, pemilihan artwork untuk cover Dogma Dunia Baru yang dikerjakan oleh Dee Gozali ini sekilas terlihat mirip dengan cover Effigy of the Forgotten hasil buatan dari tangan handal Dan Seagrave.


Cover Album Suffocation – Effigy of The Forgotten


Cover Album Grausig – Dogma Dunia Baru

Dalam kedua artwork tersebut, terilhat gambaran sebuah robot atau monster penghancur. Posisi peletakan logo untuk nama bandnya pun terlihat sama, disimpan di pojok kiri atas, serta penulisan nama album disimpan sama persis di bagian bawah. Berangkat dari konsep lirik yang Grausig angkat, mungkin Dee Gozali ingin mencoba mengimplementasikan sosok monster tersebut sebagai jelmaan dari orang-orang yang sering mengaku dirinya sebagai dewa, yang menyebarkan khotbah penyesatan demi memecah belah pihak dengan tujuan tertentu, dan memperjualbelikan ayat suci.

Sebagai band yang sudah berumur, secara keseluruhan dalam bermusik Grausig dirasa memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Mereka berhasil membuktikan kualitasnya lewat album Dogma Dunia Baru, terutama dalam unsur produksi musik. Bermodalkan materi yang mereka miliki saat ini, tidak ada salahnya apabila saya menyandingkan Grausig dengan band death metal dunia lainnya seperti Suffocation, Deicide, dan Kataklysm.

BACA JUGA - Album Review: Paint In Black (Self-Titled)

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner