Album Debut Black Horses, 'Ballads of the Freedom Youth', Era Baru Rock Indonesia? (Bagian Empat)

Album Debut Black Horses, 'Ballads of the Freedom Youth', Era Baru Rock Indonesia? (Bagian Empat)

Foto didapatkan dari siaran pers. Kredit tidak disertakan

Sebuah era baru rock Indonesia baru saja dimulai. Meski sempat padam, pesimis, namun sayup-sayup bara api kembali berpendar. Dijaga dan diwujudkan dengan cukup menjanjikan oleh Black Horses

Oke kembali ke jalur review, kedua, versi awal dari trek “Mr. Glass” dan “Martyr” diluar daripada departemen vokalis mereka yang lama maupun yang baru, sama-sama memiliki karakter kuat dan khas. Menurut kuping saya versi Rafi lebih orisinal dari segi sound. Jauh lebih raw, nuansa musik lawas sesuai dengan konsep yang digaungkan Black Horses meski faktor digital tidak bisa dibohongi ikut ambil bagian menyempurnakan trek demi trek. 

Soal selera dan rasa tidak bisa dibohongi, kembali ke kepekaan inderawi masing-masing pendengar. Entah versi milik Rafi atau Salim yang (kadung) lebih cocok di telinga. Bebaskan selera dan kuping hadiran dan hadirot yang menentukkannya.

Disusul kemudian lagu paling berisik dan keras di album ini, berjudul “Horsemen”. Persembahan bagi Kusir yang tak kenal lelah memecut kuartet Black Horse untuk mencipta karya hingga tahap ini. Peranan penting pendengarnya yang terkenal cukup ‘liar’ di setiap aksi panggung Black Horses terekam dalam tempo dan riff yang sanggup memicu kerusuhan kecil di  area moshpit. Aksi pamer skill ditunjukkan tiap personil. Mulai dari solo gitar Kevin, estafet diteruskan ke solo  bas dari Lucky Azary, dan ditutup dengan bebunyian hasil gebukan drum dari Julian Aditya Karnajaya. Bayangkan, menjelajahi lorong waktu dan tiba-tiba sedang berada di Sumba barat, Nusa Tenggara Timur, Indonesia - terik matahari menyengat kala menonton festival adat Pasola di lapang gersang, saling serang dan lempar lembing kayu antar dua kelompok prajurit perang berdarah-darah.  Ada pula yang terjungkal dari kuda tunggangannya tak sadarkan diri dengan musik latar dari Black Horses ini. Epik. Ini fantasi saya semata, bukan kisah nyata. Terinspirasi sedikit, mungkin iya.

Entah masalahnya memang bermuara  dari kuping saya yang terlalu manja tiap kali mendengarkan musik yang terlampau keras. Faktor usia dan selera? Faktor pertama? tidak! itu hanya perihal angka saja. Jiwa saya selalu muda, atau katakanlah dibawa muda kembali oleh Black Horses seperti lagu yang menjadi favorit saya berjudul “North”. 

Faktor kedua, lagi-lagi kembali soal selera kuping, bukan? dan Ballads of the Freedom Youth ditutup dengan baik lewat lagu ini. Satu-satunya lagu tanpa distorsi, bahkan hanya gitar akustik, banjo, dan vokal. Meskipun terasa belang dan suara salim sedikit keteteran di beberapa bagian, “North” tetap menjadi penutup yang mengesankan untuk saya, tanpa serta merta menanggalkan keriuhan nuansa rock purba ala 70-an. Lepas dari kebisingan sesaat dan memilih menepi ke pinggiran untuk melakukan perjalanan ke barisan gunung bagian utara Indonesia. Bukan untuk mengibarkan bendera dan swafoto lalu unggah ke media sosial sebagai tanggung jawab ke pengikut, tetapi untuk melakukan yoga dan meditasi sambil “rekreasi”. Sudah lebih dari cukup. Menyatu dengan alam dan menikmati masuk angin dalam perjalanan pulang setelahnya.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner