Akankah Isu ‘Mental illness’ Kembali Mengudara di Tahun 2021?

Akankah Isu ‘Mental illness’ Kembali Mengudara di Tahun 2021?

Seperti halnya ketika lagu-lagu senja merebak ke permukaan, lagu tentang isu kesehatan mental ini kemudian menemukan ‘pasarnya’ sendiri, ketika orang (kebanyakan anak muda) merasa jika isu ini dekat dengan diri mereka

Sebuah lagu bisa berkisah tentang apa saja, bisa tentang pagi, siang, senja, malam, atau tentang mobil balap, bahkan bisa tentang pergi ke bulan naik delman. Sama seperti karya seni lainnya, sebuah lagu terlahir dari perasaan, pengalaman, dan daya hayal si empunya lagunya. Tiga unsur tersebut kemudian diterjemahkan beragam oleh masing-masing pencipta lagu. Ada yang kemudian menjadi responsif dengan hal-hal di luar dirinya, seperti kebanyakan lagu-lagu bertema sosial, politik, dan sesuatu yang berhubungan dengan ‘dunia luar’. Namun ada juga yang kemudian merespon apa yang ada dalam dirinya untuk kemudian diterjemahkan dalam bentuk sebuah lagu. Dari mulai drama patah hati, sampai yang lebih ‘dalam’ dari itu, perihal tentang isu kesehatan mental atau akrab dengan istilah ‘Mental illness’.

Sempat menjadi tren pada tahun 2018-2020, lagu-lagu yang menyoroti tentang isu kesehatan mental kemudian menjadi mengudara di banyak pemutar musik offline dan online. Menuliskan tentang hal ini bisa jadi pertaruhan tersendiri, karena alih-alih bisa menjadi teman bagi pendengar yang juga mengalami isu kesehatan mental, lagu-lagu yang kemudian mengatasnamakan isu tersebut tidak sedikit juga yang kemudian jadi bias, karena hanya menyoroti kulit luarnya saja. Apakah drama patah hati ditinggalkan sang kekasih kemudian masuk dalam kategori isu kesehatan mental? Atau hanya bagian dari dinamika asmara yang rasanya setiap orang pernah mengalaminya. Maka apakah ketika seorang penyanyi menuliskan syair “kembalilah wahai sayangku, aku tidak bisa hidup tanpamu”, lalu dia terindikasi punya masalah kesehatan mental?

Dalam konteks musik, sebuah lagu sedih bisa erat kaitannya dengan sebuah perasaan yang lebih baik ketika mendengarkannya. Ingat lirik lagu The Beatles yang ini? “take a sad song and make it better” (Hey Jude). Layaknya Glen Fredly yang kerap hadir di sudut-sudut gelap banyak orang kala merasakan patah hati, sang pendengar kemudian merasa punya teman senasib. Pun mungkin kala sebuah lagu mengangkat isu kesehatan mental ke permukaan, pendengar akan merasa jika dia tidak sendirian. Namun, balik lagi, apakah yang dipaparkan si penulis lagu menjadi terkorelasi dengan indikasi dari orang yang punya gangguan kesehatan mental?

Mungkin seperti halnya ketika lagu-lagu senja merebak ke permukaan, lagu tentang isu kesehatan mental ini kemudian menemukan ‘pasarnya’ sendiri, ketika orang (kebanyakan anak muda) merasa jika isu ini dekat dengan diri mereka. Ada yang memang sudah mendapat vonis dari psikiater, atau ada juga yang merasa jika dia mempunyai indikasi yang mengarah pada gangguan kesehatan mental, meski banyak juga yang bahkan tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan psikiater.

Menyoroti hal tersebut sebenarnya menjadi sah sah saja, namun ketika itu menjadi formula untuk mendapatkan ‘pasar’ yang kemudian muncul ke permukaan menjadi terasa kurang jujur dan banal. Mungkin sama dengan era pandemi yang terjadi belakangan yang kemudian direspon banyak musisi dalam bentuk lagu. Beberapa diantaranya sukses menggambarkan dilema pandemi dengan cukup baik, namun ada juga yang malah memanfaatkan hal tersebut sebagai ‘alat jualan’ lagunya. Dengan narasi tentang pandemi yang cukup panjang, namun justru dalam lagunya tidak cukup baik menggambarkan tentang pandemi itu sendiri. Memang betul sebuah lagu bisa jadi potret sebuah masa, di mana ketika lagu itu diputar satu atau sepuluh tahun lagi kita bisa tahu sedang dalam masa seperti apa ketika lagu itu dibuat. Apakah dalam masa perang, masa peralihan, atau masa pandemi.  

Kembali lagi ke masalah isu mental illness, Oscar Lolang yang ditemui DCDC disela-sela syuting DCDC Musikkita pernah menuturkan analisanya tentang ‘tren’ lagu bertema isu ini. Menurutnya setiap orang di perkotaan memiliki tendensi yang cukup besar untuk memilik gangguan psikis dan mental. “karena di kota kan udaranya ngga sehat, makanannya junkfood, belum lagi stress dari masa kecil, entah itu di sekolah atau di keluarga. Bagi aku itu adalah masalah yang cantik untuk dikemas dalam pop culture. Ketika orang melakukan self diagnose mungkin karna orang itu relate sama orang disekitar dia. Mungkin dia belum ke psikiater, tapi beberapa orang sudah berani mengklaim kalo dia ada gangguan psikis/mental. Belum lagi di TV pun seperti itu. Jadi itu sih menurut aku kenapa ada self diagnose sih, semuanya saling terkait, kondisi sosial, kondisi politik, dan isu-isu yang lain”, ujarnya tentang ‘tren’ musisi yang membuat lagu berdasar pada isu kesehatan mental.

Jadi apakah isu ini akan kembali mengudara di tahun 2021 ini? Mungkin coklatfriends punya pendapat sendiri. silakan tuliskan di kolom komentar.

BACA JUGA - Apakah Mini Series yang Berlatar Lagu Akan Menjadi Tren di 2021?

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner