Sang Raja Dangdut Di Antara Riuh Pop, Rock, Metal dan Jazz

Sang Raja Dangdut Di Antara Riuh Pop, Rock, Metal dan Jazz

Akhir pekan kemarin pada 28-30 Oktober 2016 di Jakarta diadakan festival musik multi-genre berskala nasional bertajuk Synchronize Fest. Yang spesial dari festival musik yang dihadirkan oleh Dyandra Promosindo dan label independen Demajors ini adalah istilah multi-genre yang digadangkan bukan sekedar basa-basi. Dari musik kencang seperti metal, grindcore, death metal dan metal core, bisa bersanding tidak hanya dengan jazz, pop, folk dan R&B, melainkan juga dangdut. Dan tidak tanggung-tanggung urusan dangdut, Soneta grup pimpinan raja dangdut Rhoma Irama yang hadir jadi perwakilan dan menjadi aksi penutup di hari kedua.

Sosok Rhoma Irama sendiri bagi saya bagaikan James Brown dalam musik funk dan Bob Marley dalam musik reggae. Mereka para pionir dalam genrenya. Sosok beliau juga menemani masa kecil saya melalui film-film Indonesia tahun 1970-an yang ia bintangi bersama dengan film-film Benyamin S. dan Warkop DKI yang sering diputar ulang di televisi nasional. Kemudian di bangku SMP saya menyadari bagaimana musik Rhoma Irama bisa terdengar di pelosok kota Jakarta. Dari pedagang kaki lima, terminal dan bis kota, gang-gang perkampungan hingga masuk ke dalam rumah saya. Dibawa oleh om saya yang berjasa mengenalkan berbagai musik sejak kecil dari pop, rock termasuk musik Rhoma Irama.

BACA JUGA - Di antara Jeritan Perempuan dan Teriakan Lelaki

Perhatian kepada Rhoma Irama muncul kembali ketika di bangku kuliah saya banyak menyimak musik Indonesia era 1970-an. Pada musik dangdutnya saya menemukan peleburan rock 1970-an dengan musik Melayu dan India yang menjadi pijakan musik Soneta. Melodi gitar fuzz ngerock, betotan bass dan kendang joget dangdut, tiupan brass section dan imbuhan synthesizer disusupi tiupan seruling melayu dan mandolin menambah keeksotisan musiknya. Untuk urusan gitar fuzz sendiri, tidak berlebihan kalau menyatakan Rhoma Irama sebagai legenda fuzz Indonesia. Selain konsisten, sound gitar fuzz beliau turut membentuk identitas musik dangdut. Saya selalu membayangkan keseruan tersendiri jika bisa mengobrol langsung dengan beliau membahas tentang eksplorasi dan efek fuzz yang ia gunakan dari dulu hingga sekarang.

Kekuatan utama Rhoma Irama adalah lirik. Tema cinta, agama, kritik sosial, politik dan kekuasaan telah diangkat pada lagu-lagunya. Gaya hidup pun tidak lepas dari sorotannya. Simak lirik lagu “Santai”, “Darah Muda”, “Judi”, “Mirasantika” dan “Begadang” yang berbicara kehidupan manusia baik itu di perkampungan maupun perkotaan. Sanjungan saya untuk lirik lagu “Darah Muda” yang berbicara tentang jiwa memberontak remaja. Dalam kata lain “Darah Muda” adalah lagu dangdut yang berbicara soal ideologi rock n roll. Sanjungan juga saya tujukan pada lirik lagu “Santai” yang funky. Sebuah ajakan rileks dan berlibur yang diperuntukan bagi para kelas pekerja. Kejelian beliau dalam menyoroti tema menghasilkan lirik lagu yang abadi dan selalu kontekstual hingga kini. Semua hal itu adalah alasan saya merasa wajib menyimak aksi beliau di Synchronize Fest ini. Plus bayangan akan jaminan kenyamanan menonton Rhoma Irama di festival musik besar yang didominasi musik-musik terbaik arus samping ini. Karena biasanya menonton beliau selalu identik dengan acara gratisan di lapangan terbuka yang dihadiri ribuan penonton umum dan warga sekitar serta harus mengorbankan kenyamanan. Belum lagi harus berurusan dengan parkir liar ataupun preman setempat.

Pada hari kedua Synchronize Festival, Soneta dijadwalkan bermain pukul 23:30 namun setengah jam sebelumnya penonton sudah menyemut di depan panggung karena Soneta sedang melakukan soundcheck final. Bahkan bang Rhoma yang sempat muncul di tengah sesi tersebut langsung disambut riuh. Ada momen lucu: ketika lagu-lagu Soneta mengalun saat soundcheck penonton langsung bergoyang. Dan beliau langsung menegur sambil tertawa: “Belum mulai. Ini masih jajal, hey”. Dan setiap berganti lagu peringatan itu harus beliau ulangi berkali-kali karena penonton sudah tidak sabar ingin bergoyang.

Soneta membuka pertunjukannya dengan “Viva Dangdut”. Tanpa basa-basi beliau langsung memancing penonton bernyanyi di bagian reff-nya dan koor penonton pun terjadi. Sepanjang pertunjukan bang Rhoma selalu komunikatif dan aktif mengajak bernyanyi bersama. Selain piawai di atas panggung, tampilan visual Soneta juga menunjukan kelasnya. Terdiri dari 14 musisi dengan formasi dua deret. Deretan pertama diisi oleh bang Rhoma yang diapit antara pemain kibor, seruling, pemain mandolin dan pemain bass serta gitar ritem. Deret kedua diisi oleh brass section, gendang dholak, drum elektrik/kendang serta vokal latar Soneta Femina yang terdiri dari para wanita berhijab. Visual itu terasa lengkap dengan sound yang sangat mantap nyaris tanpa cela di telinga. Suara gendang, ketipung dan betotan bass ndut-ndutan, sisipan suling maupun melodi gitar fuzz bang Rhoma sukses menggelitik badan. Sehingga banyak pemuda-pemudi masa kini yang kemudian kehilangan kendali dan melepaskan diri kepada irama dangdut.

Jejak musik 1970-an sangat terasa pada aksi panggungnya. Selain pengaruh musik rock progresif, kentara juga pengaruh musik kulit hitam dalam aksi panggungnya. Formasi mereka mengingatkan pada band funk/soul seperti Earth Wind & Fire yang selalu memboyong personil tidak sedikit ke atas panggung dan selalu melakukan gerakan koreografi kompak. Vokal latar Soneta Femina juga mengingatkan pada vokal latar wanita Bob Marley & The Wailers, ‘The I Three’. Mereka begitu lincah menari mengikuti irama lagu. Kehadiran mereka ini terasa vital untuk mengimbangi cool nya bang Rhoma yang irit bergoyang sesekali ketika mengikuti gerak koreografi band. Pengaruh musik kulit hitam lainnya terasa ketika salah satu lagu paling populer “Santai” berkumandang. Permainan gitar ritem wah-wah ala musik film blaxploitation pada intro yang funky langsung disambut antusias. Dari situ kemudian berturut-turut hits lainnya berkumandang. “Tinak Tin Tana (Yang Sedang-Sedang Saja)”, “Judi”, “Mirasantika”, “Kata Pujangga”, “Tembang Reformasi”, “Yang Kaya Makin Kaya Yang Miskin Makin Miskin”. Setelah berlangsung satu setengah jam penampilan Soneta mencapai klimaksnya dengan encore dua lagu beliau yang paling populer: “Begadang” dan “Darah Muda”. Penonton pun menggila. Hacep, sob.

Pada akhirnya ungkapan musik dangdut menyatukan semua golongan ini terbukti tidak klise. Kapan lagi melihat pemuda-pemudi subkultur anak muda bergoyang dangdut? Anak disko, punk, metal, rocker, jazz, britpop, reggae semua larut dalam musik dangdut. Para metalhead membentuk moshpit, muda-mudi dengan gaya joget EDM nya juga asik masyuk bergoyang dangdut. Di tengah kerumunan penonton, hingga penonton yang berceceran di sisi panggung ataupun agak jauh di belakang mereka semua asik bergoyang larut dibuai irama melayu sang raja. Kalau sudah begini musik dangdut tidak hanya menyatukan semua golongan namun juga menyatukan berbagai genre. Dan hal ini hanya mungkin terjadi dan berlaku di bawah pimpinan sang raja dangdut Rhoma Irama.

Images: Brama

Vokalis/gitaris 70s Orgasm Club dan buruh musik untuk Musik Tulus. Suka nongkrong Dheg Dheg Plat, suka membaca tentang musik, serta penggemar film.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner