Perspektif dalam Lirik (Bagian 2)

Perspektif dalam Lirik (Bagian 2)

‘Sebuah narasi terbuka untuk Yuki PAS band’

Atap Class adalah sebuah program pertemuan, diskusi lintas generasi dan latar belakang yang dikelola oleh Atap Promotions sebagai bagian dari proyek pendukung penulisan buku sejarah Bandung Bawah Tanah yang sedang digarap oleh Kimung. Beliau juga yang menjadi Kepala Sekolah bagi kelas terbuka non formal tersebut. Hari ini, tema yang akan dibahas adalah dinamika musik rock di kota Bandung era '90an. Dua narasumber yang hadir menjadi "dosen tamu" malam itu adalah Mbak Arin, mantan penyiar GMR dan Yuki (Pas Band). Dua sosok ini sudah saya kenal melalui kiprahnya di dunia musik rock kota Bandung melalui karya-karya mereka.

Malam itu, saya sengaja menyempatkan diri untuk hadir, dikarenakan dua sosok yang hadir ini banyak memberi saya inspirasi. Terutama Yuki, salah satu sosok rocker legendaris yang dimiliki kota Bandung dan Indonesia, yang kiprahnya sebagai vokalis dan pencipta lirik bersama Pas Band mampu memberikan banyak terobosan yang mengejutkan di industri musik Indonesia. Yang menjadi moderator malam itu adalah Ojel, seorang penulis dan peneliti sejarah yang telah menghasilkan banyak karya novel berlatarbelakang sejarah. Diskusi dan obrolan berjalan dengan santai dan menarik. Ojel dengan handal mampu meramu pertanyaan yang sanggup membuat narasumber bercerita dengan gamblang dan terbuka, sehingga kawan-kawan yang hadir larut dalam buaian dongeng mereka di masa lalu, ketika untuk pertama kalinya mereka bersentuhan dengan musik rock. Nuansa yang terbangun begitu akrab, ibarat kita mendengarkan curhat dari sahabat yang sudah lama tidak berjumpa.

BACA JUGA - Perspektif dalam Lirik (Bagian 1)

Dari penuturan kedua narasumber, dapat ditarik kesimpulan bagaimana musik sebagai sebuah produk budaya mampu merubah jalan hidup seseorang. Melalui musik rock, musik yang mereka cintai, mereka berani melakukan petualangan-petualangan yang mendebarkan dalam hidup. Mereka mengalami beragam proses pencarian identitas, konflik personal, konflik sosial hingga pergulatan batin untuk menemukan titik akhir perjalanan hidup. Banyak cerita dan pengakuan dari Yuki yang rasanya tidak akan kita temukan dalam dalam sesi wawancara resmi di media-media mainstream.

Sesi demi sesi, dengan aneka pertanyaan dari moderator dan pernyataan dari narasumber berlangsung dengan seru, hingga akhirnya tidak terasa sudah tiga jam lebih mereka berbicara dan berbagi sudut pandang tentang pergerakan dan dinamika musik rock Bandung di era '90an. Satu pertanyaan terakhir dilemparkan oleh moderator pada audience malam itu, dan direspon oleh satu kawan yang bertanya pada Yuki. Inti pertanyaannya adalah seberapa puas seorang Yuki terhadap karya musik yang telah dihasilkan. Yuki menjawab panjang lebar dengan sudut pandang seorang vokalis yang bertanggung jawab membuat lirik. Hingga akhirnya, jawaban mengerucut pada hal apresiasi fans terhadap lirik yang telah Yuki buat. Di akhir pemaparan, ada satu pernyataan yang membuat saya cukup terhenyak. Saya menangkap kesan penyesalan dari seorang Yuki, yang seolah-olah karya yang dia ciptakan bersama Pas Band telah menginspirasi orang atau fans Pas Band yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara untuk menjadi pribadi-pribadi pemberontak, yang mengabaikan nilai-nilai dasar sosial. Mereka melupakan kewajiban menyembah dan beribadah kepada Tuhannya hanya demi menonton Pas Band, membuat kericuhan, terlibat penyalahgunaan alkohol dan narkoba serta hal-hal lainnya yang secara norma sosial dianggap melanggar.

"Saya menangkap kesan penyesalan dari seorang Yuki, yang seolah-olah karya yang dia ciptakan bersama Pas Band telah menginspirasi orang atau fans Pas Band yang tersebar di seluruh pelosok Nusantara untuk menjadi pribadi-pribadi pemberontak, yang mengabaikan nilai-nilai dasar sosial."

Ingatan saya lantas jauh mundur ke belakang. Pada suatu masa, ketika saya memutuskan untuk membentuk sebuah band dan berniat serius di jalan tersebut. Masih dengan celana pendek biru dan kemeja putih, sepulang sekolah saya mendatangi toko kaset di depan pasar Ujungberung. Mini album Pas Band 4 Through the Sap yang saya cari. Pedagangnya tidak hapal bandnya, tapi saya ingat betul sampul kasetnya yang bernuansa ungu, yang pernah ditunjukan oleh seorang kawan di sekolah. Saya tunjuk dipojokan rak, dan semenjak itulah kaset mini album Pas Band secara resmi menjadi milik saya. Hampir setiap hari saya dengarkan, baik sendiri maupun beramai-ramai bersama kawan sebaya. Lagu "Dogma" dan "Here Forever" menjadi soundtrack yang selalu terngiang di telinga dalam setiap aktivitas. Saat itu, saya tidak paham apa itu indie label atau pola DIY (Do It Your Self). Fokus saya saat itu hanya berkisar pada musik mereka yang keren, dengan komposisi lirik yang tidak biasanya. Musik dan lirik yang unik pada jamannya. Barulah, ketika band saya terbentuk, mulai memproduksi lagu sendiri, dan mulai serius menggarap rekaman, saya belajar banyak tentang sepak terjang Pas Band yang berhasil meruntuhkan semua tatanan industri mapan musik mainstream dengan menerapkan pola kemandirian dalam produksi, distribusi dan promosi secara mandiri. Semua mengatasnamakan kebebasan berekspresi dan kepuasan dalam menghasilkan karya. Pendeknya, menjaga idealisme.


Pas Band | Foto: @pasbandofficial

Pola tersebut yang pada akhirnya menjadi fondasi dasar bagi band saya dan kawan-kawan di Ujungberung dalam menentukan arah "ideologi" dalam karir bermusik. Dan jika pada akhirnya Pas Band memutuskan diri untuk bergabung dengan major label, tidak lantas melunturkan idealisme mereka dalam menghasilkan karya berikutnya. Kebetulan saja, saya menjadi vokalis dan bertugas memproduksi lirik bagi band saya. Saat itu, hampir 90% referensi musik saya datang dari luar negeri, khususnya Eropa dan Amerika. Ada banyak band lokal yang saya konsumsi, tapi tidak lantas mendorong proses kreatif saya dalam memproduksi karya. Ada rasa sungkan dan tidak percaya diri ketika saya mulai memaksakan diri menulis lirik bahasa Indonesia. Salah satu referensi terbesar saya berani menulis lirik bahasa Indonesia saat itu adalah sosok Yuki. Setiap Pas Band mengeluarkan album, saya selalu kaji liriknya. Saya banyak belajar bagaimana cara Yuki mencoba mengekspresikan perasaannya ke dalam bait-bait lirik, pemilihan diksi, penyusunan kalimat hingga merangkai susunan kalimat tersebut menjadi sebuah lirik yang utuh. Terkadang, saya harus membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk sekadar dapat memahami maksud dan makna di balik kata tersebut.

Ranah musik bawah tanah Kota Bandung tidak akan pernah sama jika Addy Gembel tidak hadir di era '90an. Bersama grup musik ekstrim yang dinamai Forgotten, ia lantang menyuarakan tentang hal-hal provokatif dan kontroversial, dengan dua jenis pilihan bahasa: frontal dan sangat frontal. 

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner