Passion Not Fashion

Passion Not Fashion

Jujur Saja, sebenernya agak geli dan malas kalau menyinggung masalah “passion”, apalagi kalau urusannya sama musik. Seolah saya ini orang yang punya passion terbesar di dunia musik, atau seolah saya ini orang yang memiliki ilmu tertinggi dalam dunia musik. Padahal nggak semua orang kenal saya juga. Di kompleks saya saja nggak semua tetangga tahu kalau saya ini main musik. Yang mereka tahu, saya ini karyawan swasta atau wiraswastawan atau bahkan beberapa tahunya saya ini pengangguran yang kalau lagi ada orderan kadang-kadang suka manggung. Padahal sebagian hidup saya habis untuk musik. Maen musik. Bukan pemusik ato musisi, tapi pengamen. Bedanya apa? Nggak tahu. Pikir aja sendiri. Intinya sama-sama cari uang dari musik.

“D’Ubz” photo by Ekky Darmawan

 

Oke balik lagi. Ketika kita bicara masalah musik, masalah passion juga akan selalu menjadi bagian penting dari kegiatan ini. Tujuan kita dalam bermusik, serta latar belakangnya memilki cerita yang berbeda. Beberapa tahun yang lalu saya pernah membuat tulisan pendek di sebuah rubrik di harian Pikiran Rakyat tentang “Hidup Dari Musik”, yang katanya sangat susah untuk dilakukan. Aslinya sih, emang susah. Apalagi kalau banyak mengeluh. Tapi kan, hidup dari musik itu ternyata bukan hanya sebagai pemain musik. Banyak hal lain yang bisa dilakukan yang notabene berhubungan dan bersinggungan dengan dunia musik. Tinggal dipikirkan saja mana yang mau dilahap. Nah, langkah selanjutanya adalah: keseriusan dan passion. Kenapa?

 

Sepengetahuan saya, bangsa kita ini sudah terkenal dengan segala yang berbau trendi. Mengikuti apa yang lagi musim atau tren. Apapun yang terlihat, terasa, dan menang pada musimnya, sedang naik daun, sedang hangat-hangatnya, semua pada ngikutin. Salah? Yah nggak lah! Di mana salah nya. Set your foot where the opportunity occurs. Silahkan dicoba ketika ada kesempatan, selama bersiap untuk menanggung segala resikonya. When you’re willing to try, you’re willing to die. Nah terus apa masalahnya? Ya balik lagi: Passion. Ada petuah bijak: “do what you love, love what you do” yang kalau menurut saya adalah rumusan dasar dari sebesar apa passion yang kita punya untuk sesuatu yang kita kerjakan.

Dalam hal bermain musik, banyak sekali bermunculan nama-nama baru di Bandung. kadang -kadang ada pertanyaan, sebanyak apa pula yang memang memiliki passion tinggi dalam bermusiknya. Jujur saja, banyak yang ternyata cuman “tuturut munding” alias ikut ramenya aja. Perkembangan jenis musik alias genre seakan membuat kita punya banyak pilihan. Mau bikin band apa ya yang lagi rame? Semacam masuk toserba dan pilih-pilih mie instan mana yang mau kita beli. Salah kah? Yah nggak lah. Hak siapapun untuk berbuat macam itu. Kalau tiba-tiba ada orang yang mau bikin grup musik beraliran folk/ ballad macam Kings Of Convenience atau Noah & The Whale, ketika jenis musik itu lagi naik daun, ya bikin lah.  Ya bikin yang sebaik-baiknya. Jangan cuma musiman karena lagi rame. Nanti begitu sudah ada jenis musik lain yang naik daun, trus ngikut juga. Salah kah? Ya nggak juga sih. Cuma sayang aja.

“Kings Of Convenience” photo courtesy of theplace2.ru

 

Perkembangan teknologi sekarang sebenernya menjadi salah satu sarana untuk bermain musik tanpa passion. Lah kok bisa? Ya, mungkin dari apa yang ada di pikiran saya yang notabene gagap teknologi apalagi teknologi digital di dunia musik. Kemudahan yang datang dari segala aplikasi atau perangkat lunak yang seharusnya adalah media penunjang proses kreatif dalam bermain musik, sudah beralih posisi menjadi media andalan dalam membuat musik. Nah saya mau cuci tangan dulu nih, tolong diperhatikan, bahwa saya tidak bilang kalau membuat musik dengan media teknologi itu tidak kreatif atau tanpa passion. Yang saya maksud adalah, sangat disayangkan ketika yang diutamakan adalah proses produksinya, bukan proses kreatifnya. Karena menurut saya, dari proses kreatiflah bisa terlihat passion kita dalam bermusik. Menurut saya, teknologi hadir sebagai supporting act untuk mereka yang memang passion-nya adalah membuat musik. Kawan-kawan saya seperti Babam dan Evan dari Storn System adalah contoh yang menggunakan media teknologi untuk implementasi proses kreatif dan passion mereka terhadap musik. Deep passion, good creativity & high technology may create the best audio product .

“Evansstorn” photo courtesy of Storn System FB Page

“Babam” photo by Uhat Ngademus

Satu contoh ringan dan banyak kita temui adalah kegiatan hiburan electone atau organ tunggal, yang konsep sebenarnya adalah karaoke hidup.  Ketika pertengahan 1990-an, hiburan organ tunggal mulai digemari untuk menjadi satu sajian dalam sebuah gelaran acara. Mereka para musikus organ tunggal berlomba-lomba untuk memperbanyak bank lagu mereka. Haram hukumnya untuk menolak atau tidak memainkan request dari penonton. Di sini kemampuan bermain organ/keyboard benar-benar diuji. Biasanya, sebuah organ/keyboard yang bagus sudah memiliki preset/set up sound dan irama yang lumayan banyak. Sang pemain tinggal memilih apa yang diperlukan, dan selanjutnya dia tinggal “memainkan nada-nada” dari lagu yang diminta.  Harap diingat, yang dimaksud dengan “memainkan nada-nada” di sini adalah dalam artian sebenar-benarnya dalam bermain organ/keyboards. Sang pemain harus tahu nada, kords, dan segala macam yang berhubungan dengan bermain musik. Dia adalah pemain musik, yang dengan passion-nya dalam mencari nafkah, dibantu oleh teknologi. Meskipun dia tidak membuat hasil karya sendiri.

 

 

“Goodnite Elektun” photo by Ekky Darmawan

 

Sejalan dengan waktu, teknologi makin berkembang dan canggih, demikian pula dengan teknologi organ tunggal. Sekarang lebih banyak pemain organ tunggal yang sebenarnya kalau menurut saya lebih berfungsi sebagai “operator” organ/keyboard. Download file, colok flashdisk, pencet tombol. Mereka adalah operator teknologi yang memainkan musik. With passion? No think so.

 

Bukan cuma di urusan organ tunggal aja sih. Banyak juga di area lain. Contohnya di dunia per-DJ-an yang sejujurnya saya kurang mengerti, tapi tampaknya wabah no-passion just fashion ini juga terjadi. Saya punya 1 kawan yang menurut saya adalah DJ terbaik di Bandung saat ini, E-one (Eye Feel Six). Saya sempat beberapa kali kerja sama dengan beliau, dan sedikit memperhatikan bagaimana rumitnya mengolah turn table baik dengan media vinyl atau data, yang ternyata banyak menggunakan proses keilmuan yang membutuhkan waktu, tenaga, pikiran dan dana yang mungkin tidak sedikit untuk bisa menguasainya. Ada proses kreatif di situ, dan tentunya ada passion yang sangat besar dalam dirinya. Saya pernah ngobrol sama kawan saya Mr.Adscum yang rajin membuat musik, termasuk membuat banyak playlist lagu untuk DJ yang nantinya dijual ke beberapa yang disebut banyak orang sebagai “DJ USB” yang notabene nggak jauh beda sama operator organ tunggal. Karena DJ tinggal colok, playback, miringin kepala sedikit dan….voila…let’s dance!! With passion? Yet again..no think so.

“DJ E-One & Eye Feel Six” photo courtesy of maternaldisaster.com

 

Istilah “passion not fashion” mungkin bermaksud untuk menunjukan bahwa mengerjakan sesuatu dengan hati, hasrat adalah lebih baik, bermutu dan lebih layak untu mendapat apresiasi, ketimbang yang cuma sekedar tampilan aja (fashion). Mohon dimengerti, tidak ada hubungannya sama sekali dengan “dunia fahion” dalam arti sebenarnya yah. Jangan salah kaprah. Maksudnya adalah, ketika kita mendalami, mempelajari, mengalami proses kreatif akan sesuatu, ada unsur seni di situ selain tantangan dan halangan yang nantinya pada saat mendapatkan hasil akan terasa lebih bermakna. Bukan cuma, gaya, tampilan, atau bungkusnya doang. Penghargaan dari publik pun akan terasa lebih berarti. Ini yang saya rasakan, dan mungkin kawan-kawan lain sesama pemain musik, atau pengamen ketika mendapatkan hasil dari apa yang kita lakukan.

 

***

Bassist of:
Pure Saturday
D'Ubz Bandung
A4/Akustun Band

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner