Jual Band Kamu Sekarang

Jual Band Kamu Sekarang

Waktu selalu berjalan dengan cepat. Gilanya perubahan teknologi seolah berjalan 10 kali lebih cepat. Itu yang terasa saat 70sOC merilis album perdana Electric Love (2017), Bulan Februari kemarin. Sebelumnya, 70s0C (dulu 70s Orgasm Club) merilis mini album di 2012. Ternyata, hanya dalam lima tahun terasa begitu banyak perubahannya. Saya sendiri saat 70sOC non aktif tetap mengikuti perkembangan musik sambil mengiringi Tulus selama lima tahun ini, sehingga turut memperhatikan bagaimana cara dan strategi promosi band jaman sekarang melalui internet.

Dahulu, awal 2000an di awal geliat skena independen, Mocca dan The Brandals bisa mencuri perhatian penikmat musik awam karena MTV Indonesia membuka pintu untuk memutarkan video musik-musik ‘baru’ arus samping saat itu. Saat itu, televisi masih menjadi kunci utama. Dengan bantuan video musik unik karya para sutradara muda dari sekolah seni rupa dan desain seperti The Jadugar dan Cerahati, strategi tersebut berhasil menjangkau para anak muda yang penasaran dengan pergerakan baru ini.

Video Musik Mocca – Me And My Boyfriend (Cerahati)


Video Musik Mocca – Me And My Boyfriend (2002) Sutradara: Cerahati

Kini, 17 tahun kemudian strategi promosi dan pemasaran band berevolusi begitu cepat. Merekam karya dan merilis di bawah label bikinan sendiri sudah begitu mudah. Namun, strategi promosi dan pemasaran selalu berubah dan berkembang sesuai trennya. Bagaimana agar album itu menarik perhatian, didengar, dan market merespon dengan tawaran manggung serta penjualan merchandise band yang berjalan, sehingga market bandnya terbentuk dan akhirnya punya pemasukan untuk menghidupi.

Saat ini internet menjadi alat promosi dan pemasaran paling utama dan efisien. MTV Indonesia (RIP), media televisi dan radio tidak terlalu vital seperti di awal 2000an. Media sosial (medsos) menjadi tonggak utama saat ini dengan fitur videonya. Terutama, karena semua medsos memiliki fitur video pendek, panjang, hingga siaran langsung (live). Bandingkan dengan 10 tahun lalu hanya ada Myspace Music yang saat itu sudah terasa begitu mewah. Bisa mencari band baru, melihat foto-foto sambil streaming mendengar lagu-lagunya.

Kini sebuah band aktif di medsos adalah bukti eksistensi. Setelah itu, harus bisa diakses melalui layanan musik streaming digital seperti Spotify, Apple Music, dkk. Lalu, juga penting di era video ini adalah video musik. Sebuah band itu sebisa mungkin harus ada di YouTube. Tidak harus video musik resmi, video penampilan manggung juga sah, asal digarap baik. Barasuara menjadi viral di 2014 ketika mengunggah rekaman video mereka manggung perdana di gigs kecil mereka yang intim dan diunggah ke YouTube.

Barasuara – Live at TokoVe

Video lirik juga bisa menjadi pilihan alternatif yang bisa memperkuat single dengan suguhan video berlirik seperti karaoke. Dalam hal ini, video lirik berfungsi seperti video musik namun lebih hemat bujet. Ada yang mengeluarkan video lirik sebagai pemanasan sebelum video musik resminya dirilis, ada yang hanya berhenti di video liriknya saja. Video lirik ini jelas efektif bagi mereka yang berbujet kecil. Yang penting hadir mengisi celah di YouTube. Video lirik ini dilakukan berbagai musisi, dari Slank, Tulus, Raisa, Payung Teduh hingga 70sOC.

Video Lirik 70sOC – “Nongkrong 70”

Kalau memiliki bujet lebih, menggarap video musik bisa jadi kekuatan promosi tersendiri dan tentu menaikan gengsi band. Maka itu, jangan lupa mengemasnya dengan visual/gimmick yang menarik, karena akan mempunyai efek yang berbeda. Seperti video musik Kelompok Penerbang Roket, “Cekipe“ yang merupakan video musik pertama di Indonesia saat itu yang menggunakan kamera 360.

Video Musik Kelompok Penerbang Roket – “Cekipe”

Atau sekalian buat video musik super indah nan megah yang memanjakan mata seperti video musik “Man Upon The Hill” milik Stars and Rabbit yang disutradarai Bona Palma ini:

Video Musik Stars and Rabbit – “Man Upon The Hill”

Masih tentang video, saat ini ada tren video blog (vlog) di kalangan kaum milenials yang membuat blog terasa seperti mainan orang tua. Namun meskipun begitu, band metal yang usia personilnya sudah tidak muda lagi, Seringai justru rajin membuat vlog. Di tangan mereka, mainan anak milenial ini bisa hadir menarik, konyol, dan garang sesuai imaji Seringai sebagai band metal, dengan konten, permainan font, tampilan judul khas Seringai dan musik cadas yang selalu menjadi template setiap video mereka.

Vlog – Seringai

Tapi, pada akhirnya di era luber informasi ini keunikan produk dan promosi tetap menjadi senjata utama. Semua tentang promosi di atas bisa tidak berlaku. Seperti yang dilakukan band Terapi Urine yang merilis album via Instagram (!). Ini ide brengsek yang sangat catchy. Pertama di Indonesia, dan mungkin di dunia, band grindcore berlirik humoris asal Bandung merilis mini album berjudul Petenteng melalui akun Instagram @terapiurine.petenteng. Sembilan lagu dirilis melalui sembilan postingan video pendek sekaligus menjadi video lirik. Lagu yang diunggah rata-rata berdurasi kurang dari satu menit. Berbagai media dari Gatra, website milenilal Pop Hari Ini, hingga webzine musik independen pun berlomba memberitakan berita ini. Dari sisi promosi ide, hal ini sangat jitu!

Kembali soal promosi band. Sebagai contoh, setelah merilis single “Nongkrong 70” dan album Electric Love logikanya seluruh dunia bisa menikmati karya 70sOC melalui layanan streaming musik digital. Tapi tidak semudah itu. Memperkenalkan band ini masih menjadi pekerjaan rumah yang banyak. Ralat, lebih tepatnya panjang. Karena, promosi dan pemasaran band adalah nyawa sebuah produk dan kegiatan non-stop yang kontinyu dan berjangka panjang. Merk seperti Coca-Cola maupun band rock ‘n roll kakek-kakek The Rolling Stones saja sampai detik ini masih melakukan promosi, bukan?

Penting diingat, umur album band independen cederung lebih panjang karena biasanya digarap serius dan detail, yang lalu cenderung memiliki segmen market spesifik dan loyal ketimbang musik pop arus utama. Salah satu contoh adalah penyanyi Danilla yang merilis album Telisik pada 2014 dan bisa dibilang baru diterima market setahun kemudian, hingga kini Danilla punya jadwal panggung yang padat. Video musik “Man Upon The Hill” duo Stars and Rabbit yang baru dirilis dan menjadi pembicaraan itu pun sesungguhnya merupakan single kedua dari album perdana mereka yang dirilis pada tahun 2015 lalu.

Jadi, ketika merilis sebuah album rencanakan promosi dengan baik. Dari studi kasus di atas, 2-3 tahun adalah jangka waktu wajar untuk terus mempromosikan album. Jangan mudah menyerah ketika paska merilis album tidak terjadi apa-apa. Jalan masih panjang selama produk sudah ada. Yang penting terus melek informasi, sadar tren dan peluang, serta tidak pernah menyerah.

Jadi sudah siap untuk menjual band kamu? 

Anto Arief
antoarief.wordpress.com
Vokalis/gitaris 70sOC dan buruh musik untuk Musik Tulus. Suka membaca tentang musik, tentang subkultur anak muda dan sangat gemar menonton film.

View Comments (8)

Comments (8)

  • BobbyJunaidi
    BobbyJunaidi
    23 Jul 2017
    https://www.youtube.com/watch?v=EoRSTRv_6lM kritik?
  • idamganteng
    idamganteng
    8 Aug 2017
    Sedap
  • Soksurya
    Soksurya
    13 Aug 2017
    l,',
  • Soksurya
    Soksurya
    13 Aug 2017
    l,',;m
  • surya182
    surya182
    13 Aug 2017
  • candela
    candela
    23 Aug 2017
    like
  • dimas4strings
    dimas4strings
    27 Sep 2017
    https://m.soundcloud.com/griffith_id
  • Krans
    Krans
    31 Mar 2018
    Apresiasi terus musik indonesia.... mantaps
You must be logged in to comment.
Load More

spinner