Hantu, Persahabatan, dan Lagu

Hantu, Persahabatan, dan Lagu

Cuaca Bandung malam ini sedang dingin-dinginnya. Secangkir teh tawar panas menemani saya menulis, selimut membingkai kedua kaki, dan kepala memikirkan segala hal yang terlewati di tahun 2017 yang masih sangat muda ini.

Kepala di bawa kembali merenung ke tahun-tahun yang pernah di lewati. Betapa banyak kesenangan, kenangan, entah baik, ataupun buruk. Seharusnya pemikiran seperti ini terpikir di hari-hari terakhir 2016. Tapi entah mengapa baru kali ini semua memori tentang kelima hantu Belanda sahabat saya bermunculan.

BACA JUGA - Proses Kreatif: Perihal Dilarang “Sompral” dan Nyanyian Sukma

Kemana mereka?

Anak-anak kecil tak kasat mata yang biasanya tak pernah sedikit pun membiarkan saya sendirian, apalagi sampai memikirkan banyak hal seperti malam ini. Ah, rasanya ingin mengulas beberapa kejadian bersama mereka malam ini.

Padahal harusnya malam ini saya berkencan dengan William, yang akan bercerita tentang masa lalunya. Menunggu mereka muncul belakangan ini rasanya seperti mengharapkan sesuatu yang tak pasti untuk datang. Terkadang lelah bermimpi agar keadaan sama seperti dulu, saat semuanya selalu hadir dengan sangat bersemangat.

Mungkin mereka tengah asik bermain dengan Risa-Risa lain...

***

Dalam kurun waktu 7 tahun ini, saya menulis banyak hal tentang mereka. Berawal dari musik, hingga karya tulis berbentuk novel. Orang tak lagi takut pada mereka. Sebaliknya, sebagian besar orang tak lagi berlari jika sosok hantu seperti mereka muncul, menyapa layaknya manusia normal.

Tak ada yang salah disini. Mungkin mereka jenuh, atau bahkan marah karena saya terlalu lebar membuka gerbang dialog persahabatan kami. Di satu sisi, saya hanya tak mau sendirian, dan tak suka tatkala salah satu dari mereka bersedih karena ditakuti oleh manusia. Saya pikir, saya ini gila. Coba memanusiakan hantu, dan ternyata berhasil.

Banyak lagu tercipta karena persahabatan kami yang janggal. Lagu berjudul “Story Of Peter”, mengingatkan saya pada saat mereka muncul sebagai hantu untuk pertama kalinya. Bagai bayangan monokrom, hitam dan putih. Kerap kali mereka berucap, bahwa saya tak boleh kemana-mana karena suatu saat ketika orang tua mereka datang, saya lah manusia pertama yang akan mereka kenalkan pada Papa Mama mereka. Hal yang sangat diluar akal sehat. Tapi jika kalian mengalaminya, tentu akan bersikap sama seperti saya. Seolah pada akhirnya ikut menunggu orangtua mereka datang, meski tak mungkin akan datang.

Lagu berjudul “Graveyard”, saya tulis berdasarkan kisah mereka. Si Lima anak Belanda yang tak pernah merasa punya rumah, entah kemana nisan-nisan bertulis nama mereka. "Mungkin jika aku punya kuburan, aku akan tinggal disitu... sambil menunggu Mama datang," ujar Peter dengan wajah yang mendadak sendu.

Lalu kepala saya kembali mengingat sebuah lagu yang saya tulis berdasarkan kisah mereka, berjudul "Haunted Sleep". Mungkin kalian tak pernah tahu bahwa sebenarnya mereka takut kegelapan, hujan, dan suara halilintar. Kerap kali si ompong Janshen melompat ke atas tempat tidur saya saat hujan turun di malam hari. Anak itu terlihat seolah menggigil, memejamkan mata, sambil berkata, "Risa, aku takut...."

***

Hidup berjalan maju, tapi langkah kaki saya terasa selalu mundur. Banyak hal yang saya lewatkan dalam dunia ini. Hanya karena terlalu sibuk memikirkan mereka, dan segala urusan mereka. Bahkan mereka membiarkan saya merasa tak kerasan di dalam kamar. Tanpa mereka, malam-malam saya jadi gelisah. Seperti malam ini, ketidakhadiran mereka membuat kepala saya tak merasa tenang, dan mata saya juga menolak untuk terpejam cepat-cepat.

Mereka tak lagi murung, mereka mendapat banyak sahabat baru sekarang. Terlalu banyak manusia yang memanggil mereka untuk sekadar menyapa atau berharap berteman dengan "Hantu".  Bukankah itu tujuan akhir dari semua karya ini? Saya tahu, jikalau mati pun belum tentu saya bisa lagi menemui mereka berlima.

***

Ada yang salah disini...

Hampir tak pernah saya mencantumkan resolusi dalam hidup setiap awal tahun bermula. Namun malam ini, terbersit keinginan untuk berjalan... meninggalkan hal-hal yang sudah terlewati, dan meraih mimpi-mimpi yang belum terlampaui.

Malam ini, malam jumat. Hanya detik jam dinding yang menemani saya di keheningan. Telinga terpasang awas, tapi cekikikan anak-anak itu tak juga muncul. Rasanya bibir ini ingin menyenandungkan lagu "Boneka Abdi". Memanggil mereka dengan paksa, seperti biasanya.

Namun tersirat sebuah keinginan untuk berpisah...

Dari mereka, dan bahkan sosok hantu-hantu yang lain. Hutang saja saat ini tinggal pada William, dan Janshen. Menceritakan kisah hidup mereka dulu, ke dalam buku berupa novel dengan memakai judul yang sama dengan mereka.

Malam terus bergulir, saya mulai menggoreskan tinta di atas kertas. Menulis lirik demi lirik, nada demi nada. Ingin rasanya mempersembahkan beberapa lagu lain untuk mereka. Sebagai persembahan terakhir dari saya untuk mereka, sahabat yang membuat hidup saya seperti roda. Berjalan di jalanan penuh kerikil, menyerap energi, memeras isi kepala.

Sepertinya saya harus pergi, tak lagi berharap mereka datang...

Pandangan kembali mengarah pada secarik kertas penuh coretan. Ya, mungkin harus pergi... Dan lanjutkan hidup saya seperti yang orang lain lakukan.

William, malam ini kamu tak datang...

Mungkin besok atau lusa kita harus bertemu, berbincang tentang banyak hal. Jangan mengulur waktu, karena sepertiya tekadku sudah bulat.

Meninggalkanmu, Peter, Hans, Hendrick, dan Janshen.

Partime singer, partime writer, & partime ghosthunter

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner