Di antara Jeritan Perempuan dan Teriakan Lelaki

Di antara Jeritan Perempuan dan Teriakan Lelaki

Berangkat tengah malam atau Subuh dari Bandung demi mengejar penerbangan pertama di bandara Soetta dan soundcheck di pagi hari. Jam tidur terpotong, tidur di minibus dan terkantuk-kantuk di bandara dini hari demi check in pagi. Menghabiskan waktu di jalan, menempuh jarak puluhan ribu kilometer antar pulau untuk tampil dan menghibur serta menyenangkan penonton. Menunggu giliran soundcheck yang bisa molor berjam-jam demi penyajian sound terbaik. Menunggu giliran manggung yang kadang juga bisa molor berjam-jam demi kepuasan penonton. Plus yang tidak terlihat berlatih berjam-jam di rumah demi kesempurnaan penampilan di atas panggung. Bonusnya adalah energi dari penonton yang bersorak riuh menyambut dan bernyanyi di atas panggung.

Semua itu adalah rutinitas dalam hidup selama lima tahun yang terjadi di hampir setiap akhir pekan - kadang hari kerja - ketika saya bermain mengiringi kawan baik saya seorang penyanyi solo yang tengah bersinar bernama Tulus. Dan siapa sangka saya yang sebelumnya hanyalah kutu musik dan bukan session player bisa terdampar sebagai gitaris untuk penyanyi solo pria yang fenomenal di dunia musik Indonesia ini.

Tindak tanduk saya sebagai kutu musik diawali di awal tahun 2000. Kesukaan saya membaca musik membawa saya terlibat menulis di beberapa penerbitan dan webzine independen. Saya juga loncat sana-sini bermain dalam beberapa band di tengah riuhnya skena subkultur indepenen yang juga tengah berkembang saat itu. Di tahun 2004 kemudian perjalanan bermusik saya berlabuh dengan membentuk band rock yang terpengaruh musik funk 70an bernama 70s Orgasm Club. Band trio ini sempat merilis EP di tahun 2011 dan kemudian belakangan mengalami stagnasi.

Stagnasi itu membuat saya berkomunitas dengan membuat acara akustik Open Mic di café Beat n’ Bite yang kemudian membawa saya berkenalan dengan Tulus di awal karirnya. Dari situ bergabunglah saya memperkuat tim Musik Tulus, band pengiring Tulus dan masuk jauh ke dalam dunia pop dengan aransemen yang elok serta lirik kuat yang penuh kejutan. Tak heran bila kini jeritan histeris kaum perempuan yang wangi adalah hal yang kami akrabi di atas panggung. Juga antusiasme ajakan foto bersama serta hebohnya tim pengaman yang kadang terasa berlebihan ketika mengawal kami memasuki area panggung. Sementara sebelumnya dengan 70s Orgasm Club yang ada adalah panggung panas minim pendingin, teriakan para lelaki berkeringat serta ajakan mengobrol soal tetek bengek pergitaran ataupun tentang para pahlawan bergitar.

Bermain dalam Musik Tulus juga membuat saya memiliki banyak koleksi pakaian hitam sebagai dresscode-nya. Saya juga harus pintar-pintar memilih pemakaian koleksi topi-topi saya agar sebagai musisi pengiring tidak tampil terlalu mencolok. Bermain dalam Musik Tulus juga berarti saya harus bermain gitar lebih teratur dan menahan emosi. Saya juga harus mengurangi menggunakan pemakaian bermacam efek gitar kesukaan terutama fuzz dan uni-vibe yang identik dengan bung Jimi sang dewa gitar. Walaupun koleksi efek gitar saya terus bertambah dan berganti-ganti hingga kini atas nama hobi, eksperimen dan demi sound gitar 70s Orgasm Club.

Bermain dalam 70s Orgasm Club dan Musik Tulus bagaikan berdiri di antara dua dunia yang bertolak belakang. Meskipun ada kesamaan antara 70s Orgasm Club dan Tulus. Semangat do-it-yourself, berada di dalam distributor independen yang sama yaitu Demajors, dan yang terpenting sama-sama bermain musik dan memberikan pilihan yang berbeda dari yang sudah ada. Hal ini menjadi pengalaman sangat berharga bagi saya. Lima tahun dengan Musik Tulus menyita hampir setiap akhir pekan saya untuk berada di jalanan dan di panggung menyadarkan kalau semua itu adalah hidup saya. Berpergian keluar kota, berpindah-pindah pulau untuk menghibur serta berada di panggung bermain musik dan mendapatkan energi balik dari para penonton. Dari semua itu hanya satu hal yang belum lengkap yaitu saya tidak memainkan karya sendiri.

Hal itu membulatkan tekad untuk menyelesaikan album perdana 70s Orgasm Club yang selalu tertunda. Problem klasik yaitu prioritas dan manajemen waktu ternyata menemukan solusinya. Kami bertemu dengan kawan baik saya Tesla Manaf, gitaris neoklasikal jazz yang sedang menjelajah area produser rekaman. Musisi ambisius yang gila soal disiplin waktu dan ide-ide produksi ini mengajukan dirinya sebagai produser dan menjanjikan proses rekaman bisa diselesaikan dalam waktu dua bulan. Dengan dua syarat: harus fokus dan disiplin waktu. Dua hal yang belum pernah kami lakukan selama ini.

Kemudian sepanjang Juni dan Juli hampir setiap hari kami bekerja keras. Sistemnya adalah di bulan Juni kami latihan dan mengerjakan aransemen. Satu lagu dalam sehari lima sampai tujuh jam. Dua hari menggarap dua lagu, hari ketiga rekaman di studio. Sisa bulan Juni merekam seluruh instrumen termasuk instrumen perkusi, kibor, instrumen tiup dan gesek. Bulan Juli dihabiskan dengan workshop vokal dan merekam vokal serta vokal latar. Dengan disiplin waktu dan perencanaan matang, hanya dalam dua bulan penantian lima tahun terbayar lunas. Kini tahap paska produksi mixing dan mastering yang berjalan sepanjang Agustus telah selesai. Proses untuk karya ini dirilis dan bisa dinikmati secara luas masih cukup panjang. Marketing dan promosi adalah PR selanjutnya. Kerja keras ini belum selesai namun kami begitu bersemangat.

Kadang perlu suatu momen yang menyentil untuk menyadarkan sebuah fase penting dalam kehidupan. Dalam hal ini pengalaman bermain dengan Tulus membawa saya membuka jurnal baru dengan 70s Orgasm Club.

Image: Firman Tonang docs.

Vokalis/gitaris 70s Orgasm Club dan buruh musik untuk Musik Tulus. Suka nongkrong Dheg Dheg Plat, suka membaca tentang musik, serta penggemar film.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner