KARINDING GOES TO EUROPE - Part 2 Belanda

KARINDING GOES TO EUROPE - Part 2 Belanda

Di Utrecht, 11 September 2016, kami disambut oleh kawan kami Daniel Hentschel atau lebih dikenal dengan nama Danibal. Daniel beberapa tahun terakhir adalah salah satu anggota dewan International Jewsharp Society (IJHS) dan dengan segala keterbatasan perjalanan kami, Daniel membukakan pintu rumahnya mempersilahkan kami tinggal selama kami melakukan riset di Belanda. Ia bahkan menyanggupi mengantar kami berkendara mobil ke ‘s-Gravenzande dan Middelburg. Sungguh Daniel sangat membantu kami dan hingga kini kami masih berpikir bagaimana perjalanan kami jika tanpa Daniel. IJHS adalah komunitas pecinta jewsharp internasional. Sejak berdiri 1998, IJHS telah menggelar lima festival internasional, mempublikasikan 14 newsletter dan menerbitkan 9 jurnal ilmiah tentang jewsharp. IJHS melihat Asia—terutama Indonesia dan Jawa Barat—menjadi titik yang penting dalam sejarah perkembangan karinding atau jewsharp atau lamellafon dalam 10 tahun terakhir. Oleh karena itu, sejak 2008 IJHS menjalin hubungan yang baik dengan komunitas karinding dan lamellafon di Indonesia. Hingga kini, komunitas di Indonesia yang resmi tergabung dengan IJHS adalah Karinding Attack. Selain itu, komunitas yang terhubung dengan IJHS adalah Asosiasi Harpa Mulut Indonesia (ASLI) yang didirikan oleh Asep Nata, Kimung, Ilham Nurwansyah, dan Hendi Ade.


Daniel Hentschel, pemain jewsharp dari Utrecht yang selama di Belanda berjasa menampung dan memfasilitasi riset Karinding Goes To Europe, foto : Mitha

Hari pertama di Utrecht kami diajak menyaksikan penampilan Daniel di Hotel Strowis. Hari itu ia memang tampil bersama musisi asal Brazil, Paulo Monti. Daniel sempat bertanya apakah kami bisa jamming bermusik bersamanya nanti dan kami mengkondisikan Kimung untuk ikut jamming memainkan karindingnya. Hotel Strowis terletak di pusat kota Utrecht dan sangat kental dengan nuansa musik. Kami dikenalkan kepada Joost Bos yang mengadakan acara musik tersebut. Ia, Daniel dan juga Paulo kemudian mengajak Kimung untuk tampil jamming di akhir konser tersebut. Mereka tampil dalam satu komposisi kolaborasi sepanjang 20 menit.

Setelah itu kami berbincang di halaman belakang Hotel Strowis yang asri. Suasana semakin semarak ketika Ricky Insanity dan Harm Linsen akhirnya bergabung malam itu. Ricky Insanity adalah kawan lama saya di ranah musik bawahtanah Ujungberung. Kini Ricky tinggal di Eindhoven dan rencananya di akhir perjalanan Belanda, kami akan ke Eindhoven sebelum ke Paris, dan menginap di rumah Ricky. Jarak antara Eindhoven dan Paris hanya lima jam nak bis. Sementara itu, harm Linsen hingga kini tercatat sebagai anggota Dewan IJHS. Ialah yang selama ini aktif kontak dengan ranah karinding Indonesia dan memberikan banyak bantuan kepada kami berkaitan dengan riset di Volkenkunde dan Tropenmuseum. Harm juga yang memberikan informasi awal mengenai 195 buah lamellafon Nusantara yang tersimpan di Tropenmuseum. Harm memberi kami oleh-oleh alat peniru suara burung yang sangat unik.

Besoknya, 12 September 2016, kami berangkat bermobil dengan Daniel ke depot Volkenkunde di kota ‘s-Gravenzande. Di sanalah tersimpan sekitar 95 buah lamellafon Nusantara termasuk karinding. Setelah berkendara selama satu jam akhirnya kami tiba di ‘s-Gravenzande. Di sana kami disambut dan diarahkan kepada Dirk Dirkse yang bertanggung jawab mengawal kami selama riset. Selama di depot kami dilayani dengan sangat baik. Lemari tempat penyimpanannya sudah disedikan dan kami akhirnya dipersilahkan senyaman mungkin melakukan penelitian.


Harm Linsen, anggota dewan International Jewsharp Society, sekaligus sosok yang menyambungkan Kimung dan Mitha ke Volkenkunde dan Tropenmuseum untuk melakukan riset Karinding Goes To Europe, foto : Mitha

Ada perasaan haru, sedih, bangga, serta banyak perasaan lain bercampur aduk ketika kami buka pintu lemari penyimpanan berlabel “Mondharpen Indonesie” itu. Puluhan lamellafon asal Indonesia yang disimpan antara tahun 1837 hingga 1967 terjaga dalam kondisi yang rata-rata baik. Melihat semua itu kami seperti tersedot ke masa lalu Indonesia di mana kondisi alam pikiran dan alam lkingkungan hidup tentu saja jauh berbeda dengan sekarang. Tak menyia-nyiakan waktu, kami meminta data per-item koleksi tersebut yang kembali direspon dengan baik oleh pihak museum. Mereka memberi cetak 158 halaman data koleksi “Mondharpen Indonesie” kepada kami sebagai bekal riset dan kami segera memotret dan membuat video lamellafon-lamellafon tersebut. Pekerjaan kami menjadi sangat cepat dengan bantuan pihak museum. Hanya dalam waktu tiga jam kami selesai mendokumentasikan semuanya. Ada rasa sedih ketika harus kembali meutup lemari tersebut dan meninggalkan barang-barang peninggalan sejarah Indonesia di sana. Naun kami yakin, pemerintah Belanda benar-benar menjaga koleksi mereka. Kami segera pamit kepada para karyawan depot museum dan berjanji akan segera kembali untuk memberikan hasil riset kami tersebut. Sebelum pulang, Daniel mengajak kami ke Pantai Timur di ‘s-Gravenzande.


Kimung dan Mitha di lemari penyimpanan 95 koleksi Mondharpen Indonesie di depot Volkenkunde di kota 's-Gravenzande, foto : Daniel Hentschel

Besoknya, 13 September 2016 kami kembali berkendara. Kali ini berkunjung ke salah satu pionir jewsharp Belanda bernama Phons Bakx yang tinggal di Middelburg, jaraknya sekitar dua jam berkendara mobil, rata-rata kami berkendara sekitar 90 hingga 130 km/jam. Phon Bakx adalah pemilik situs www.antropoda.com, satu situs yang secara fokus mengumpulkan berbagai informasi mengenai lamellafon dari seluruh dunia secara kolektif. Hingga kini situs www.antropoda.com sudah mengumpulkan lebih dari 1169 nama dan jenis lamellafon dari seluruh dunia, termasuk karinding dan 80 nama lamellafon lain dari seluruh Indonesia. Informasi yang menyebutkan nama-nama lamellafon di awal proposal ini diambil dari website yang dikelola oleh Phon Bakx. Sebetulnya, spesialisasi Phon Bakx adalah genggong Bali, namun demikian, ia juga memiliki pengetahuan yang luas mengenai dinamika lamellafon Nusantara dan mengunjunginya akan memberikan wawasan yang luas mengenai waditra-waditra Nusantara ini.

Tiba di rumahnya, Phons menyambut kami dengan sangat ramah. Dengan bersemangat ia bercerita mengenai risetnya mengenai jewshap dari seluruh dunia termasuk karinding dan genggong. Tahun 1992 hasil risetnya dibukukan dengan judul De Gedachtenverdrijver, De Historie van de Mondharp dan di dalamnya memuat berbagai lamellafon Nusantara termasuk genggong dan karinding. Phons mengeluarkan kotak-kotak koleksi jewsharpnya dan salah satu kotak yang sangat ia jaga dan sayangi adalah kotak yang berisi genggong-genggong asal Bali. Phons sendiri belum punya karinding. ketika kami memberinya hadiah karinding ia sangat berterima kasih. Kami tinggal di rumah Phons, berbincang, makan kue, dan minum teh sebelum akhirnya kembali ke Utrecht jam lima sore.


Phons Bakx, salah satu periset jewsharp yang mengkoleksi aneka jewsharp, termasuk dari kawasan-kawasan di Indonesia, foto : Mitha

Besoknya, 14 September 2016, kami berpamitan kepada Daniel karena harus bertolak ke Amsterdam untuk bertemu Harm Linsen. Sungguh sebuah pengalaman yang akan terus terkenang berkesempatan mengenal dan tnggal di rumah keluarga Daniel. Sekali lagi kami sangat berterima kasih kepada Daniel yang melalui kebaikanny akhirnya kami bisa bertemu dengan masa lalu kami sebagai bangsa Indonesia melalui koleksi lamellafon-lamellafon yang ada di ‘s-Gravenzande dan Middelburg. Kami belum bisa membalas kebaikan Daniel dengan layak, tapi suatu saat kami pasti akan bertemu lagi. Sebelum bertolak ke Amsterdam kami menyempatkan berkeliling Utrecht dan membuat video-video untuk film dokumenter perjalanan kami.

Kami tiba di Amsterdam sore hari dan segera menuju Tropenmuseum di mana Harm Linsen bekerja. Pukul lima sore akhirnya kami bertemu Harm dan kami makan malam bersama di sebuah kedai seberang Tropenmuseum sambil mewawancara tokoh ini. Harm mengungkapkan rasa bahagianya bahwa akhirnya kami bisa bertemu dan ia merasa senang akhirnya seseorang membuka lemari penyimpanan lamellafon Nusantara di ‘s-Gravenzande dan membukanya adalah orang Indonesia dan itu adalah kami. Ia menjajaki kemungkinan apakah lamellafo-lamellafon tersebut bisa dipamerka di Indonesia suatu saat dan kami sambut baik sugesti dari Harm ini. Ia juga bercerita mengenai rencana festival dan kongres IJHS Agustus 2017 seraya mengundang kami untuk hadir di acara tersebut. Seperti juga Daniel Hentschel dan Phons Bakx, Harm menegaskan bahwa kami harus membawa karinding ke Eropa, mengajarkan cara membuatnya, cara memainkannya dengan cara tradisional dan modern, dan menceritakan filosofi dan kearifan lokal yang terkandung di dalam karinding. harm betul-betul refleksi pribadi yang sangat hangat, seperti juga kawan-kawan lain yang selama ini kami temui di Belanda dan Portugal. Setelah berkeliling sejenak Amsterdam, kami akhirnya berangkat menuju Eindhoven bersama Harm pukul sepuluh malam. Kami berpisah di Heiss karena Harm tinggal di sana, sementara kami lanjut ke Eindhoven.

Kami tiba di Eindhoven pukul satu dini hari, 15 September 2016, dan disambut oleh Ricky di stasiun kereta. Dengan sangat ramah ia membantu membawakan tas. Tiba di rumahnya kami makan nasi dengan sangat lahap. Sungguh sebuah kemewahan ketika akhirnya menemukan nasi yang lezat di Belanda. Daniel memang sempat membuatkan kami nasi, tapi nasi yang ia buat adalah nasi India yang rasanya berbeda dengan nasi Indonesia. Di rumah Ricky yang orang Indonesia, cita rasanya pas dengan apa yang kami rasakan selama ini. Ricky kemudian mempersilahkan kami beristirahat di kamar yang sudah ia sediakan. Tinggal di rumah Ricky seperti mengecas kebali energi kami yang hampir habis selama tinggal dan bergerak di Porto, Utrecht, ‘s-Gravenzande, Middelburg, dan Amsterdam. Kami benar-benar beristirahat, tidur yang banyak dan makan yang banyak.

Siangnya, Ricky mengajak kami berkeliling Eindhoven. Kami berkunjung kantor Dynamo Festival yang ternyata di dalamnya ada sekolah dan juga kafe, kemudian ke centrum menikmati suasana Eindhoven sebelum kembali ke rumah. Ricky tinggal di lingkungan yang sangat baik. Di lingkungan rumahnya dikelilingi taman hutan dan sungai, jika berjalan agak jauh ada sebuah danau yang indah di sana. Kami sempat berjalan-jalan di lingkungan ini dan membuat banyak video sebelum akhirnya kembali untuk bersiap bertolak ke Paris. Sebelumnya kami mewwancara Ricky dan membuat banyak video mengenai koleksi buku-buku tua dan peta-peta tua yang dikoleksi oleh Ricky. Tengah malam Ricky mengantar kami ke tempat perhentian bis. Ia menemani hinga akhirnya bis datang dan kami naik ke dalam bis. Terima kasih untuk segala kebaikannya, Ricky, semoga kita cepat berjumpa lagi. Kami berangkat dengan bis ke Paris jam satu dini hari, 16 September 2016.

Bersambung

*Kimung dan Mitha adalah personil band The Devil And The Deep Blue Sea

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner