Karena Beranjak Tua Tak Berarti Berhenti Berkarya, Maka My Gosh Membuktikannya

Menjadi seorang bapak tak berarti harus berhenti melangkah dan melunturkan semangat DIY

Kebanyakan orang di masa mudanya memiliki beragam ketertarikan atau hobi. Di era yang bebas dan penuh semangat seperti itu, tentu tak jarang minat tersebut direalisasikan dalam bentuk apapun. Misalnya, seseorang yang tertarik pada musik dan pada akhirnya membentuk band atau pergi ke acara-acara musik favoritnya. Tetapi, adalah hal yang banyak terjadi juga ketika beranjak semakin dewasa berarti melepas segala bentuk hobi karena hadirnya pikulan tanggung jawab pokok. Daripada pergi ke studio, lebih baik mencari pekerjaan dan menghasilkan uang. Daripada pergi ke acara, lebih baik pulang dan mengurus keluarga. Rata-rata, pemikiran seperti itu yang menjadi alur yang semi wajib dan terjadi ke kebanyakan orang.

Gesit Mutiarta pun memiliki kegelisahan yang sama. Setelah berkeluarga, bapak anak satu yang sempat berkarya bersama Miss Universe, Young and Younger, dan Story Starry Nite ini ingin mendobrak doktrin bahwa dewasa artinya berhenti berkarya. Melalui kegundahan hati yang ia rasakan, My Gosh akhirnya muncul sebagai suatu entitas pembuktian bahwa tak ada alasan untuk kita berhenti menyalurkan aspirasi. Terbukti, tiga buah lagu sudah dihasilkan oleh My Gosh dan rencananya album full-length akan segera dirilis di pertengahan tahun 2017.

Materi akustik yang jauh dengan kesan cengeng dan mendayu-dayu, dengan bawaan musik ala indie pop/alternative/emo tersaji di “Suddenly Thirty”, “Hate It When We Hated”, dan “Smiling”. Melanjutkan tujuannya, lagu-lagu My Gosh direkam oleh Gesit dengan menggunakan in-house equipment di depan anak lelakinya yang bernama Zi. Gesit ingin menunjukkan pada Zi bahwa menjadi seorang bapak tak berarti harus berhenti melangkah dan melunturkan semangat DIY.