Antara Musik, Identitas, dan Nasionalisme

Antara Musik, Identitas, dan Nasionalisme

Ada istilah umum yang sering kita dengar baik dari buku bacaan, media informasi, omongan orang, atau obrolan dengan teman. Istilah itu ialah ‘jasmerah’, atau kira-kira artinya ‘jangan sekali-kali melupakan sejarah’. Kata ‘jasmerah’ menjadi sakral bagi siapa saja yang sedang mengkaji, mendalami atau menyukai kesejarahan. Hal itu membuktikan bahwa sejarah menjadi saksi atas kejadian-kejadian atau cerita-cerita yang pernah terjadi dalam bingkai kehidupan. Sejarah menjadi seperti serpihan kisah yang sayang jika tak terekam, bermalam dan terdokumentasikan. Satu persatu sejarah berkumpul menyatukan diri menjadi akar yang akhirnya membudaya.

Akar budaya ini nantinya mempunyai peluang untuk menjadi apa yang disebut dengan identitas. Identitas memiliki makna jati diri, ciri-ciri atau keadaan khusus bagi objek tertentu. Dalam kajian budaya, menurut Jonathan Rutherford identitas merupakan mata rantai yang menghubungkan antara nilai-nilai sosial budaya masa lalu dengan masa sekarang. Dalam konteks sosialnya, identitas merupakan sesuatu yang dimiliki bersama-sama oleh sebuah komunitas atau kelompok masyarakat tertentu, yang sekaligus membedakan mereka dari komunitas atau masyarakat lainnya (Barker, 2011: 211).

Kita telah memasuki era postmodern. Masa dimana arus pertukaran informasi terjadi tanpa batas ruang dan waktu. Begitu juga dengan kebudayaan, selalu terjadi pertarungan dalam sirkuit interkoneksi global. Pertarungan ini tidak terjadi secara fisik, kasat mata apalagi mengakibatkan pertumpahan darah. Ia hanya bertarung dalam ruang-ruang kebudayaan yang dimensinya abstrak. Tujuan dari pertarungan antar budaya ini semata-mata hanya untuk diakuinya sebuah identitas, baik secara lokal, nasional maupun global. Pertarungan semacam itulah yang bisa disebut dengan politik kebudayaan.

Politik tidak melulu dikaitkan dengan kebijakan, kekuasaan, atau pencurian uang. Politik juga bisa diterjemahkan sebagai bahasa perjuangan, atau dalam perspektif budaya sebagai gerakan perlawanan. Politik kebudayaan ini tentunya membutuhkan media komunikasi yang kuat untuk bergerak, salah satunya melalui media populer yang sering menjadi alat hiburan bagi manusia, yakni musik. Karena musik merupakan suatu produk kebudayaan yang mampu mengumpulkan masa dalam satu waktu dan tempat yang sama.

Tentunya kita ingat bagaimana Soekarno begitu gencar menggelorakan semangat anti-barat di era orde lama. Pada tahun 1959 ketika Manipol USDEK menjadi ideologi resmi yang dicetuskan oleh Soekarno untuk masyarakat Indonesia. Melalui Manifestasi Politik, Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. Sebagai konsekuensinya, MPRS menetapkan ideologi itu sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN).

Imbasnya semua hal yang berbau kebarat-baratan dilarang oleh sang Presiden. Termasuk musik barat dianggap Soekarno sebagai musik ‘ngak ngik ngok’ yang tak sesuai dengan jatidiri bangsa. Akibatnya, rata-rata pemusik Indonesia kala itu menebar karya mereka dalam bahasa daerah masing-masing seperti “Angin Mamiri” dari Sulawesi Selatan, “Rasa Sayange” dari Maluku, “Ayam Den Lapeh” dari Sumatera Barat dan masih banyak lagi. Karena alasan-alasan itu, lagu-lagu daerah menjadi populer go-nasional. Bahkan beberapa kalangan mulai dari aktifis, pengamat dan kolektor musik sepakat bahwa musik pada dekade 50an dan 60an adalah masa keemasan musik pop Indonesia. Tak begitu berlebihan, karena musik era itu menunjukkan identitas keIndonesiaan. Sebenarnya ini salah satu ide brilian sang Proklamator dalam pertahanan identitas melalui seni dan budaya.

Momen itulah yang kemudian tak hanya dipotret, melainkan menjadi pijakan kreatifitas bagi kelompok musik asal Jakarta, White Shoes & The Couples Company. Band yang terbentuk pada tahun 2002 beranggotakan Aprillia Apsari (vokal), Yusmario Farabi (gitar rythm) Saleh Husein (gitar melodi), Ricky (bass/cello), Mela (keyboard/piano) dan John Navid (drum). Segerombolan pemuda jebolan kampus kesenian dibilangan Jakarta Pusat ini tak hanya merekonstruksi musik pop era 50an dari gaya berpakaian atau style musikal saja, melainkan juga pada konsep dan gestur-gestur aksi panggungnya yang menawan juga cemerlang.

White Shoes & The Couples Company telah melahirkan dua buah studio album dan dua buah album mini (EP) diantaranya White Shoes & The Couples Company (2005), Skenario Masa Muda (2007), Vakansi (2010) dan Menyanyikan Lagu2 Daerah (2013). Pada mini album Skenario Masa Muda, White Shoes & The Couples Company turut mendukung gerakan melestarikan film Indonesia masa lalu yang bekerjasama dengan Kineforum dan Pusat Arsip Film Sinematek Indonesia.

Pada pertengahan 2013 lalu, White Shoes & The Couples Company merilis album tribut yang bertajuk Menyanyikan Lagu2 Daerah yang direkam di studio legendaris dibilangan kota Solo milik pemerintah, Lokananta. Pada album ini terdapat lima lagu daerah diantaranya “Jangi Janger”, “Tjangkurileung” karya seniman legendaris Pasundan Mang Koko Koswara, serenada Amboina legendaris karya Broery & The Pros pada lagu “Lembe-Lembe”, lagu permainan klasik melayu “Tam Tam Buku” alias Trang Trang Kolantrang atau Chock Chock Kundong serta lagu pop berbahasa Maluku yang dilantunkan oleh sosok yang tak banyak orang tahu, Max Lesiangi.

Setidaknya White Shoes & The Couples Company terus berupaya untuk merawat khazanah identitas musik pop Indonesia. Mereka terus bermimpi akan kembalinya masa dimana lagu Minang dinyanyikan oleh orang Jawa dan dinikmati oleh orang Ambon. Atau biduan dari Sunda menyanyikan tembang Papua dan didengar oleh orang Madura. Kesemuanya adalah bukti kekayaan Indonesia yang diabadikan melalui karya musik. Jika itu terjadi, bukan tak mungkin juga jika kekayaan itu akan mendunia.

Kita bisa menengok pada kedigdayaan K-Pop yang sedang raksasa. Hal ini diakui, bahwa persiapan sebuah girlband/boyband untuk sebelum muncul ke publik, dilakukan persipaan bertahun-tahun. Bahkan tak hanya musik, sinema drama korea juga hampir setiap hari menemani aktifitas sore kita. Identitas bangsa Korea dirangkum melalui musik, fashion, dan drama. Dan harus diakui masyarakat dunia sedang mengonsumsinya. Kalau boleh jujur, itu salah satu bukti bahwa Korea telah melakukan ‘hal yang membedakan mereka dengan kita.’

Untuk negeri ini, siapapun yang menjadi presiden nanti, saya berharap perihal identitas menjadi agenda penting bangsa ini supaya identitas kita tidak tercerai-berai kehilangan jejak langkahnya. Tugas kita semua adalah ikut ambil bagian dalam mempertahankan identitas keIndonesiaan dengan cara yang kita bisa. Agar kedepannya kita perlahan-lahan memiliki kepercayaan diri untuk bangkit dari tidur yang panjang, berdiri sejajar dengan negara besar, bergegas cuci muka, mandi, bersih-bersih diri untuk menjelma menjadi Indonesia.

Teks     : Gunawan Wibisono

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner