Teman Sebangku: “Lagu Kami Itu Tidak Mendekati Atau Mirip Dengan Musisi Lain”

Teman Sebangku: “Lagu Kami Itu Tidak Mendekati Atau Mirip Dengan Musisi Lain”

 Band folk duo asal Bandung, Teman Sebangku, bercerita panjang lebar mengenai proses kreatif mereka yang muncul di tengah era “demam folk”   

Berawal dari sebuah dokumentasi berupa materi musik yang telah lama terpendam dan digarap tanpa tujuan khusus oleh sosok pria bernama Doly Harahap, akhirnya lahir sebuah grup musik yang bernamakan Teman Sebangku. Band yang mengusung konsep musik duo folk asal kota Bandung yang digawangi oleh Doly Harahap (gitar) dan Sarita Rahmi Listya (vokal) ini perlahan menoreh rasa keintiman lewat kolaborasi mereka untuk para penikmat musik di tanah air. Lantunan suara gitar yang dipetik oleh Doly membuat musik dari Teman Sebangku serasa damai dan diiringi oleh alunan Sarita yang mendayu-dayu membuat lagu karya dari band ini menciptakan suasana hangat yang penuh kebersamaan.

Pada awal mula pembentukannya, Doly yang telah merampungkan beberapa materi musik tersebut dipertemukan dengan Sarita oleh teman mereka pada masa lalu, dan sama sekali tidak pernah terpikirkan untuk bermain di jalur musik folk sebelumnya. Seiring waktu berjalan ternyata semesta cukup adil hingga mereka merilis sebuah mini album berjudul Menari Bersama (2011) yang berisi 4 lagu lantunan sendu nan indah. Lewat mini album tersebut nama Teman Sebangku semakin mulai terdengar oleh beberapa penikmat musik di Indonesia. Hingga pada tahun 2016 Teman Sebangku melahirkan sebuah album debut berjudul Hutan Dalam Kepala.

Menaruh sosok prinsip kesederhanaan dalam menjalani hidupnya, menjadikan band ini semakin layak untuk dicermati. Teman Sebangku menjalin silaturahmi dalam ruang lingkup pertemanan dengan sangat baik, hingga salah satu warung yang menjajalkan beberapa rilisan musik indiependent ternama di kota Bandung bernamakan Omuniuum dengan senang hati mendistribusikan karya musik tersebut.

Apa alasan kalian memilih jalur indie folk dalam bermusik, apakah memang sudah dikonsepkan dari awal atau sesudah terbentuk duo dalam Teman Sebangku?
Dari awal kami itu sebenarnya nggak nentuin pengen main di jalur musik folk atau apa, dan memang nggak ada kesepakatan itu dari awal. Cuma, memang berangkat dari bikin lagu yang pada dasarnya cuma gitar, dan Sarita saat itu hanya menyanyi aja walaupun sekarang sudah explore ke beberapa instrument kayak gitar, pianika, dan lainnya. Nah jadi, berangkatlah kami dengan materi yang sudah ada, dari situ nggak lama banyak juga ternyata yang sudah memulai projek duo atau trio akustiklah gitu. Mungkin pas kami lagi latihan mereka-mereka ini juga lagi mempersiapkan materi mereka di bandnya gitu kan, entah itu kami muncul kebetulan atau gimana gitu. Pas waktu itu, banyak lah mungkin era di mana disebut demam folk.

Lewat masa keemasan musik indie folk yang pada saat itu sedang menjamur, apakah Teman Sebangku memanfaatkan untuk mengejar massa pada momen tersebut untuk bermusik?
Enggak juga yah, sebenarnya justru musisi yang bermain satu jalur dengan musik kami sudah ada sejak lama, cuma memang musik folk itu baru menjamur setelah awal 2012. Jadi kami sebenarnya nggak ada niatan untuk mengumpulkan massa atau gimana, mungkin karena kebetulan keluarnya udah seperti itu dan kami tampilkan kayak gitu aja sih. Sampai saat ini kami memang amat agak susah untuk membuat gimmick atau apa karena kami sering kalau apa-apa tuh kayak apa yang keluar aja, yang mengalir aja seperti itu yang kami tampilkan.

Pada proses pembuatan materi dalam mini album Menari Bersama, referensi musik Teman Sebangku itu apa aja sih, dan kenapa memilih itu?
Referensi mungkin berangkatnya dari masing-masing yah, karena pertemuan Teman Sebangku bukan didasari bahwa ‘kami bikin projek musik yuk’ tidak dengan tagline seperti itu. Tapi saya (Doly) punya lagu dan Sarita punya kemampuan bernyanyi dan akhirnya kami olah dan hasilnya keluar referensi musik dari masing-masing secara personal bagaimana cara saya bermain gitar, begitu pula dengan Sarita itu semua dipengaruhi referensi personal gitu. Sampai, pada akhirnya kami berkarya pun, kami bersyukur karena kami tidak menentukan musik yang kami mainkan seperti yuk misalkan, kami bersyukur banget sih bisa dengan cara kami sendiri. Hasilnya mungkin lagu kami itu tidak mendekati atau tidak mirip dengan lagunya ini atau itu gitu, entah itu musisi dari luar negeri atau dalam negeri gitu. Dan sebenarnya kalau Doly tanpa dia sadari karena dia sangat menyukai Iwan Fals, di alam bawah sadar dia mungkin memproses hingga keluar lewat musik, lewat tapi dengan cara yang berbeda gitu, cuma kalau kami dengarkan dan telisik lebih jauh memang pasti kami mendengar nada-nada yang itu didasari oleh kecintaan pada Iwan Fals gitu. Sementara kalau saya (Sarita) memang bagiannya membuat lirik gitu, saya kalau teman-teman bisa memperhatikan lebih dalam lagi lirik-lirik saya memang kurang lebih terinspirasi juga oleh tulisan-tulisannya Sapardi Djoko Damono, Pramoedya Ananta Toer, karena kebetulan saya sangat suka sekali dengan literasi dan dua penulis itu yang cukup mempengaruhi saya dalam gaya menulis lirik gitu.

Apa tanggapan kalian jika dikaitkan dengan musisi yang serupa dengan Teman Sebangku?

Yah, itu menurut kami jadi kayak sebuah perpustakaan sih, kalau misalkan kami buntu, ide kami bisa sedikit melihat proses kreatif band itu seperti apa, lalu kami kembangkan lewat Teman Sebangku. Misalkan, kayak proses mereka rilis album dan gerak geriknya seperti apa. Kami nyontek juga sedikit proses mereka hingga efeknya seperti apa dan itu bisa menjadi referensi buat kami dalam bermusik. Kalau memang menduplikasi metode yang diterapkan itu mampu nggak buat Teman Sebangku, karena polanya pasti berbeda dan belum tentu efektif serta bisa jadi motivasi juga buat kami dalam bermusik di Teman Sebangku. Misalkan, kayak ada orang bilang ke kami, “mbak, ini band nya mirip banget Stars And Rabbit yah” setiap kali kami turun panggung pasti disamakan dengan Bandaneira dan lain-lain. Buat kami sih nggak masalah mau disamakan dengan mereka dan bukan menjadi satu momok juga gitu karena orang yang benar-benar mendengarkan Teman Sebangku, dengan orang yang bukan mendengarkan cuma sebatas permukaan, pasti hal yang mungkin bisa dibilang tidak ditemukan lewat band-band yang serupa. Begitu pun sebaliknya, jadi kami semua punya karakter masing-masing gitu.

Ada hal unik apa sih dalam mini album Menari Bersama?

Kayak kata orang-orang gitu yah, apa-apa yang keluar di awal sangat menyenangkan. Nggak harus dibikin tema tertentu, nggak harus dibikin gimmick tertentu makanya dibiarkan mengalir begitu saja gitu. Proses pembuatan E.P ini sungguh lebih menyenangkan dibandingkan album. Karena semua materi itu dibuat tanpa harus dibuat lebih spesifik, semuanya dibiarkan saja mengalir karena waktu itu kami belum dapet banyak referensi, kepala kami belum dipenuhi oleh misalkan,”harus gini atau harus seperti itu loh” gitu. Jadi kami benar-benar mau bersenang-senang lewat musik gitu, makanya kenapa mini album ini dikerjakan dengan sangat natural, sangat original, dan sangat menyenangkan gitu. Kami tuh dulu pas untuk mini album cetak dalam bentuk CD. Nah, salah satu hal unik lainnya itu ketika kami proses rekaman sampai benar-benar jadi itu, kami belum pernah manggung di acara-acara, tapi setelah kami produksi mini albumnya kami sebar lewat radio-radio, “orang bingung ini itu apa? udah main di mana aja,” kami bilang belum pernah, dan ini yang akhirnya yang kami sadari setelah ngobrol-ngobrol sama produser. Sebelumnya kami tuh belum ngerti cara memproduksi materi yang dirangkum dalam sebuah rilisan itu seperti apa. Akhirnya dari produser itu sendiri tentang pola yang diterapkan di Teman Sebangku itu menurutnya unik, karena produksi materi dulu baru disebar, nah biasanya kebanyakan band-band pada umumnya manggung dulu baru produksi materi. Kayak gitu sih sebenarnya, polanya itu terbalik.

Proses apa saja yang kalian lakukan hingga membentuk sebuah album berjudul Hutan Dalam Kepala?

Album Hutan Dalam Kepala ini adalah salah satu penuh album pertama Teman Sebangku yang prosesnya cukup panjang, bisa dibilang berat sih konsepnya. Kami itu sudah punya wacana bikin album itu dari tahun 2013’an, dengan lika-liku kehidupan personal dan lain sebagainya dan akhirnya bisa rampung itu pas tahun 2016. Mungkin kalau dari proses kreatif itu kami ada banyak fase ya, dari semangat, jenuh, sampai bahkan akhirnya ini harus dijadiin gitu. Proses bikinnya ini memang, kalau dibilang kreatif bukan kreatif sih, lebih banyak ke sisi kontemplasinya akhirnya gitu karena di album ini itu bercerita banyak tentang perjalanan hidup kami apalagi tentang perjalanan hidup Doly. Pas waktu itu dia menemukan banyak fase dihidupnya dan kalau ditelisik lebih jauh lagi itu akan terlihat pada setiap lirik dalam album Hutan Dalam Kepala ini. Memang itu tadi, album ini itu memang album kontemplasi sih, lebih banyak membahas tentang kepribadian kami. Apa yang belum kami dapat, apa yang belum kami syukuri, apa yang harus kami relakan, apa yang harus kami perjuangkan gitu, apa yang sudah kami sia-siakan jadi intinya memang lebih kepada kepribadian kami. Tapi kami sempat mengganti judul di salah satu lagu yang ada di album penuh kami. Pada kompilasi Record Store Day tahun 2016, di situ lagunya ganti tapi tetap dengan aransemen yang sama, kalau di album judulnya “Atau Semu” dan untuk di kompilasi itu kami ganti judulnya dengan “Burung” atau apa gitu kami lupa lagi. Terus juga lagu “Di Semesta” itu kami rekaman awalnya floor tapi pas mastering suara itu kami hilangkan, terus ada suara suling batak ketika proses rekaman lagu “Layang Melayang” tapi balik lagi ketika proses akhir kami sepakat itu ditiadakan dengan berbagai pertimbangan.

Kenapa memilih Ikan Mas untuk sampul pada album penuh kalian ?

Jadi, sebenarnya artwork ikan mas itu merupakan foto seri dari karya Doly sekitar 12 frame dan itu kalau nanti diliat secara fisik. Fotonya diurutkan berdasarkan cerita gitu karena satu frame ke frame terakhir itu punya satu cerita yang saling berkaitan. Jadi harusnya bisa merepresentasikan Hutan Dalam Kepala itu dari foto-fotonya, dan kenapa memilih sosok ikan mas itu karena menurut Doly keruwetan di dalam kepala itu dianggap layaknya hutan. Tapi dikembalikan lagi kepada pembaca. Hutan versi Doly dan mereka itu seperti beda. Mungkin hutan versi Doly itu menyenangkan, bagi sebagian orang yang suka dengan kegiatan outdoor itu seru, tapi bagi mereka yang suka ke mall mungkin nggak suka dengan hutan. Dan waktu itu saya (Doly) muter -muter untuk cari foto seri ini dan ada penjual ikan yang di dalam plastik gitu, bagi saya si ikan mas itu dengan warna yang begitu eksotis itu terus dia dibawa dan didorong oleh si penjualnya dengan menggunakan gerobak itu dan menurut saya dia banyak melihat hal yang diluar dari dunia seekor ikan itu sendiri. Tapi dia nggak bisa apa-apa karena hanya berada di dalam sekantong plastik jadi ada kebuntuan di sana. Saya melihat saya seperti ikan itu, dan itulah kenapa memilih ikan mas untuk bagian sampul album kami gitu.  Dan sebenarnya 8 lagu di album kami itu dari satu lagu ke lagu selanjutnya nyambung. Jadi urutannya gini, dari lagu pertama sampai ke 8 itu bercerita tentang diri kami dan membentuk satu judul Hutan Dalam Kepala, dan jika divisualkan jadi tiap foto seri yang ada di album itu.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner