Speaker 1st: “Tur Kali Ini Upaya Kami Go Internasional”

Speaker 1st: “Tur Kali Ini Upaya Kami Go Internasional”

Ditemui di sebuah kafe di bilangan Bengawan, Bandung, para personil band rock’n’roll asal Bandung, Speaker 1st, tampak bersiap-siap. Saya melihat beberapa peralatan gitar, strap gitar yang dibagikan, dan beberapa kru yang berjaga di sana. Saya menemui mereka hanya kurang dari satu jam penampilan mereka untuk membuka hajatan pembukaan PON Jabar 2016. Malam itu hanya ada si kembar Beny Barnady (gitar) dan Bony Barnady (gitar) – sampai sekarang saya masih sulit membedakan keduanya. Tak berselang lama, vokalis sekaligus bassis Mahattir “Attir” Alkatiry menyusul. Kesibukkan masih terasa di jadwal mereka. Rencananya hanya berselang satu hari, mereka harus siap berangkat ke Inggris. “Jadwal manggung masih padat dan belum packing untuk ke Inggris,” ujar Bony. Padahal esoknya, Minggu (18/9), mereka pun harus manggung di acara Opening Coklat Retro.

Speaker 1st akan menjalani tur selama sepuluh hari di Inggris.  Tajuknya, “London Envisage Tour MMXVI”. Mereka akan tampil di beberapa gigs di Kota London dan juga menjalani proses rekaman untuk menembus industri musik Inggris sana. Tur kedua ini merupakan dampak dari tur mereka sebelumnya, London Reunited Tour 2016. Mereka berencana dan lewat ikhtiar nyata untuk benar-benar Go Internasional. Upaya yang tak hanya manggung di luar negeri, tapi terjun ke industri musiknya langsung. “Kami sih tidak mau gembar-gembor. Makanya nggak banyak mengundang pers. Nggak ada konferensi pers apapun. Kayak Anggun C. Sasmi saja. Tiba-tiba ngilang dari sini, terus berkiprah di luar sana,” ujar Beny.

Bagaimana awal mula tur Inggris untuk kedua kalinya ini?

Efek dari London Reunited Tour kemarin itu membuka mata kami bahwa tujuan kemarin London Reunited Tour itu semacam, test the water dulu deh. Musik kami itu sebenarnya bagaimana sih kalau kami bawa ke sana (Inggris) dan ternyata respons mereka antusias. Di luar ekspekstasi. Dengan melihat band dari Indonesia namun ternyata bisa di-apresiasi. Mereka nggak menyangka, kami dari Indonesia bawain musik dari negeri mereka sendiri. Kami mencoba untuk tes pasar, terus positif-lah. Nah dari itu kami membangun jaringan, dan kami berpikir harus balik lagi ke sana.

Jeda berapa lama tur sekarang dari London Reunited Tour kemarin?

Reunited Tour tuh bulan Mei. Jadi sekitar 4 bulan. Setelah itu kami juga menggodok materi dan ternyata materi itu bisa lah, pede aja lagi. Dan ada teman kami tuh satu orang yang punya jaringan luas ke industri musik internasional. Karena dia tuh memang promotor. Dan dia meminta demo kami.

Jadi awalnya prosesnya bagaimana pas London Reunited Tour kalian kenalan  dengan promotor itu atau bagaimana?

Ini yang penting dan harus ditekankan terlebih dahulu. Jadi kan Speaker 1st ini band indie yang rumahnya major label, imej kami boleh dikatakan jadi “belang” di sini (baca: Indonesia) tuh. Major enggak, dianggap indie juga enggak. Di beberapa komunitas terkesan underrated karena dibilang “raw” kalau harus dibandingkan yang bule banget kayak The S.I.G.I.T., juga enggak, atau kayak The Changcuters juga enggak. Karena awalnya rumah kami yang “beda” (debut album Speaker 1st dirilis oleh label Sony Music Indonesia – pen). Jadi imej yang menurut saya, senjata makan tuan. Kalau di komunitas indie kami dianggap major label, tapi di major label musik kami juga beda. Jadi sebelumnya, kami memutuskan ketika rilis album terakhir menjadi independen. Bukan lagi di major label. Jadi diri sendiri saja. Kalau sejujur-jujurnya kalau musik kami bagus yah sudah lanjut saja. Kalau menurut kami musik kami bagus yah sudah lanjut saja, nggak perlu harus dengerin label rekaman. Mungkin semangat itu yang ingin kami lakukan.

Makanya benar tadi kalau kami ingin mencoba test the water. Ada undangan ke Inggris, kita balik lagi, sekalian nge-test musik kami. Memang di sini, kita berada di “lingkungan” yang salah, dengan imej kami yang dulu di major label. Kita berangkat ke sana. Singkat ceritanya ada undangan, terus kita membuat tur, ternyata responsnya lebih dari ekspekstasi kami. Bagusnya gitu. Musik kayak kami, datang dari Indonesia. Presentasi-nya bukan dari Indonesia tapi Asia. Kadang mereka juga bingung Indonesia itu di mana. Tapi ada band dari Asia bawain musik gaya mereka. Musik metal dan rock n roll itu lahir dari negara asalnya (Amerika dan Eropa) tapi besar di kita kan. Mereka bilang musiknya kayak Led Zeppelin, Thin Lizzy, mereka terkesan. Tapi kalau saya lihat musik di sana musiknya justru yang pop saat ini seperti Paramore, Coldplay, banyak band yang maenin unsur techno. Akhirnya anak-anak sih, yah bener kayak naik haji, balikin lagi semangat. Hanya karena “lingkungan” kami yang salah, jadi kami berpikir lagi bahwa band kami sudah benar, cuma berada di jalur yang salah.

Jadi kalau sekarang kami memilih memantapkan karakter yang sudah dijalani, kalau kemarin sih terhitung nekat. Tapi balik dari sana, mulai terasa efeknya. Terus teman-teman dari komunitas juga mendukung, nah ini karakter musik Speaker 1st tuh. Kalau dulu – saat di major label – terasa bukan kami. Yah, tapi di sisi lain, nilai plus kami karena kami memulainya di major label, karena beberapa band indie lain belum pernah. Maksudnya tahu lah. Kami jadi tahu rasanya di kedua jalur itu. Kami sepulang dari tur Inggris pertama kali Mei lalu, beberapa teman, event organizer, dan pemilik bar di Inggris tertarik untuk mengundang lagi kami ke sana. Mereka malah berujar band kami harus sudah main di level stadion. Kami bilang bahwa kami tidak sebesar itu di Indonesia. Mungkin karena musik rock n roll seperti kami kan terbilang segmented untuk ukuran industri di sini, tapi di sana kan musik populer mereka. Nah di luar dugaan kami bertemu beberapa teman-teman, singkat ceritanya, ada jalan buat kami secara literal go internasional. Karena buat kami yang disebut go internasional itu berhasil atau berupaya untuk menembus pasar musik internasional. Terutama industri musik Inggris dan Amerika sebagai kiblatnya industri musik dunia. Memang rekaman dan rilis di sana. Masuk ke industri di sana. Bukan sekedar manggung di luar negeri. Itu yang salah kaprah dengan go internasional.

Berarti tur sekarang ini adalah bagian upaya untuk go internasional, upaya untuk benar-benar masuk ke industri musik internasional?

Jadi sebenarnya kita diundang untuk tampil Musexpo atau Music Expo. Kalau di Amerika kayak semacam SXSW. Nah itu semacam expo di mana artist repertoire dan petinggi-petinggi label rekaman pada kumpul pada event tersebut. Nah ada orang yang tertarik untuk mempromosikan musik kami di sana. Karena mereka bilang, musik kami seperti musik luar (baca: Barat). Terus akhirnya kami dicoba untuk menandatangani kontrak untuk tahap pengembangan. Di sana kan ada tahapannya untuk masuk ke industri musik. Kita rekaman, ngomongin karya dulu, dibedah dulu karyanya, kan tahap awal tuh profiling jadi ada karyanya dulu. Jadi kami dicoba untuk bikin mini-album empat lagu. Bikin single buat di radio. Kalau di radio nyangkut, baru masuk label rekaman terus masih banyak tahap yang harus dijalaninya. Nah di hari yang sama ada pelaku industri juga yang memberi semangat untuk mendukung band kami melakukan world tour pada April 2018. Nah mereka coba develop. Nah, kita sekarang ini bukan cuma tur, tapi lagi tahap develop itu. Kita sekarang lagi berada pada fase profiling sekarang. Makanya tur kami ada agenda rekaman selama 4 (empat) hari di London sana. Ini usaha yang sedang dijalani sekarang. Bukan hanya usaha tapi kita sudah mencoba masuk ke industrinya. Kami bukan mau main di luar negeri untuk menaikkan imej di dalam negeri.

Tahapan rencana membangun strategi menuju pasar musik internasional itu sudah berapa lama?

Sebenarnya baru, bisa dibilang cepat. Kami juga tidak menyangka sebelumnya. Ini yang harus saya ceritakan. Cenderung ajaib mungkin yah. Pada awal kami berangkat tur pertama, kami ya sudah berangkat saja, kami pikir pasti bakal ada sesuatu di sana. Nggak mungkin rasanya kalau cuma sekedar main terus pulang. Tahu-tahunya nyangkut beberapa pihak, justru kami nggak membangun korespondensi sebelumnya kayak email-emailan dengan pelaku industri musik sana. Nggak ada justru. Jadi kami sih berupaya main musik saja yang bagus.  Seperti pujian yang kami dapatkan dari Dave Holmes (Manajer Coldplay). Dia mau dengerin saja bagi kami sudah suatu kebanggaan. Apa yah takdir mungkin yah. Meski orang bule sana nggak percaya sama yang namanya takdir. Yah upaya kami ini dijalani dengan ikhtiar.

Tahapannya kira-kira apa saja untuk go internasional yang akan kalian lakukan?

Tahap pertama sih rekaman, terus rilis single, masuk radio. Yah kayak gitu. Sama aja sih. Kalau istilahnya sih fase profiling. Nah kami baru di tahap sana. Rencananya Desember nanti kami kembali ke Inggris lagi, terus April tahun depan kita ke Los Angeles (Amerika). Jadi prosesnya tuh masih panjang (tertawa). Jadi kayak kami ke Inggris atau Amerika nanti tuh bukan achievement, belum ada apa-apanya, justru awal perjuangan. Kecuali emang goals-nya mau buat naikin imej di dalam negeri, tapi kalau goalsnya emang mau masuk industri musik internasional, tapi kami sih baru mulai, karena goals kami sih ya sudah pengen worldwide

Seperti upaya yang dilakukan Temper Trap (sebagai info, Temper Trap yang berasal dari Melbourne berupaya masuk industri musik internasional dengan pindah domisili ke London)?

Iya bisa jadi upaya semacam itu. Kalau Temper Trap kan sebenarnya dari Australia, hanya Dougy Mandagy (vokal) kan yang berasal dari Indonesia. Nah, kita masuk proses itu. Jadi nanti kami rekaman empat lagu, semuanya lagu baru.

Apakah ketika kalian akan mencoba untuk masuk go internasional ada upaya lain untuk membekali diri, semisal membaca pasar musik di Inggris sana?

Asiknya tuh di sana sistemnya tuh sudah benar-benar jalan. Memang nggak sesederhana itu, tapi di luar sana tugas musisi yah sudah berkarya saja. Jadi mereka tinggal men-develop bahwa kami tinggal mempertajam karakter bermusik kami.

Untuk proses rekaman nanti kalian sudah mempersiapkan apa saja, misal mempersiapkan gap teknologi?

Sejak kita pulang tur pertama, tiga bulan lalu, kita sih langsung mempersiapkan. Intens di studio di tiap akhir pekan. Kami harus selalu berkarya, karya, karya, karena yang kita lakukan di sini juga kan merekam demo. Jadi ketika di bawa ke sana mereka punya bahan tentang musik kami. Jadi biayanya juga tidak terlalu bengkak. Lebih efektif-lah. Jadi mereka kebayang bakal men-develop kami seperti apa, soundnya seperti apa, nuansa musiknya dibawa kemana. Kalau kami pribadi sih tidak mempermasalahkan teknologi. Karena sebenarnya hampir nggak jauh beda. Yang membedakan paling signifikan paling dari segi SDM saja. Itu yang pasti sudah kami antisipasi.

Pasti ada pola budaya yang berbeda antara industri musik di dalam negeri dengan di luar negeri. Apa saja yang kalian persiapkan?

Pertanyaannya justru kami lebih siap dengan apa yang ada di luar. Kalau di sini kan band besar karena sponsor. Harus bikin proposal dan tawarin ke sana-sini. Dan kami tidak melakukan itu. Justru di luar itu upaya yang ingin kami lakukan. Ada saran dari salah seorang gegedug industri musik Indonesia, dia bilang kalau musik kami sih wayahna (wajar saja) kalau segini saja, karena industri musiknya berkiblat ke musik seperti Wali dsb. Justru dia menyarankan agar hajar saja peluang yang ada di luar negeri. 

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner