Music Story Nadafiksi: “Kami Menggarap Film Musik dari Band yang Dirasa Dekat dengan Hati Kami”

Music Story Nadafiksi: “Kami Menggarap Film Musik dari Band yang Dirasa Dekat dengan Hati Kami”

Music Story Nadafiksi adalah sebuah film independen yang dikerjakan oleh Indie.Art.Project. Berawal dari minat Ace Raden yang mendalami jurusan perfilman di Institut Kesenian Jakarta, akhirnya ia menggaet teman-teman lainnya untuk menggarap film-film pendek termasuk Music Story. Film yang digarap berdasarkan kisah dari grup musik folk Nadafiksi ini adalah seri kedua dari Music Story, sebelumnya Mustache and Beard adalah band yang ditunjuk oleh teman-teman Indie.Art.Project untuk digarap menjadi film dokumenter.

Pada Music Story Nadafiksi, mereka menerapkan konsep yang berbeda. Berawal dari dokumenter, akhirnya film ini digarap dengan konsep film fiksi musikal impresionis dan rampung di tahun 2016. Terus masuk dalam daftar-daftar screening film independen, tanggal 26 Januari 2017 Music Story Nadafiksi untuk ketiga kalinya diputar dan kali ini dalam acara Nonton Film di-Gang #6 yang diadakan oleh Bandung Film Council di Kedai CAS, Jalan Kubang Selatan No. 2A, setelah sebelumnya ditayangkan perdana di Spasial bersama Sinemaji dan di Movie Party, Jakarta bersama Ruru.

Sempat ditemui, ini dia pemaparan dari Ace Raden Desenasuria (Sutradara, Penulis, Editor), Bagus Ramadhan R (Fotografer). dan Mulki Nurrulah P (Camera Person).

 

Mengapa band Nadafiksi yang diangkat?

Ace: Jadi Music Story saya cetuskan sebagai ciri khasnya Indie.Art.Project di tahun 2013. Waktu itu, saya masih kelas tiga SMA dan sudah kenal sama Yudha (Nadafiksi). Pertamanya memang mau bikin sama Yudha dulu, tapi karena waktu itu si Nadafiksi sendiri belum punya album, jadi diundur kalau udah ada albumnya. Tapi, ternyata pas di tengah jalan, mungkin karena proses pembuatan album Nadafiksinya cukup megah, hasilnya jadi agak lama. Baru keluar itu beberapa tahun setelah itu. Nah, tahun 2014 saya bikin Music Story 1 sama Mustache and Beard. Bagi saya sih itu sebagai latihannya, karena pendekatannya beda waktu bikin filmnya Mustache and Beard dan Nadafiksi, beda jauh.

 

Apa konsep yang difokuskan dalam Music Story Nadafiksi?

Bagus: Konsep awal sebenarnya dokumenter, tapi akhirnya jadi fiksi. Terus kita ngangkat temanya juga tentang perantauan. Album Nadafiksi yang teorema itu mengandung banyak kisah tentang rantauan, lagu “Burung” terutama.

Ace: Sebenarnya kami mau bikin dokumenter yang sama lah kayak Mustache and Beard. Kebetulan saya sekolah film, jadi referensinya nambah lagi sih. Akhirnya kami bikin dokumenter tapi yang eksperimental. Jadi dokumenter ini ada interviewnya, ada cerita fiksinya, ada eksperimennya juga dan dikembangkan. Benang merahnya itu ada di sisi dokumenternya. Hanya, sewaktu proses ada beberapa kendala termasuk durasi, jadi kami bikin full fiksi. Tapi, konsep yang mau disampaikan tetap sama.

 

Apa sih tujuan Indie.Art.Project untuk mengangkat teman-teman band independen dalam sebuah film?

Ace: Saya dekat dengan dunia musik independen. Mereka punya kekuatan yang sangat bagus, baik di Bandung maupun di Jakarta. Saya ingin bikin sesuatu yang ibaratnya kalau secara seni bikin pertunjukkan tapi yang bisa dibawa kemana-mana, baik sama si bandnya, sama saya juga. Tentang band itu, tapi cara mengemasnya yang beda karena saya bawain interpretasi kami terhadap si band itu

Mulki: Menurut saya juga penting sih memunculkan lagi band-band indie. Berawal dari Ace yang memberi saya referensi musik independen, ternyata saya menemukan kalau mereka tuh bermain musiknya lebih emosional, lebih dari hati dan ke saya lebih suka, lebih masuk.

Bagus: Kami mau mengemas sebuah video klip atau video musik itu berbeda dari yang lainnya. Kami ingin membuat sebuah cerita karena kami ingin mengangkat makna di balik musiknya. Ini salah satunya exposure juga, karena Nadafiksi punya pengaruh kuat dalam skena indie.

 

Ada karakteristik tersendiri untuk memilih band-band tertentu yang digarap dalam Music Story?

Ace: Sebenarnya masing-masing itu punya cerita. Dua-duanya ini memang sama-sama band folk, cuma Mustache and Beard tuh lebih fun. Kalau Nadafiksi itu karena memang sangat dekat dengan saya. Saya kan juga merantau dari Bandung ke Jakarta. Ketika saya dengar lagunya Nadafiksi, saya merasa dekat, seolah-olah Yudha tahu apa yang saya rasakan. Itu sih sebenarnya, bukan karena genre. Mungkin ke depannya juga kami gak akan milih-milih karena band itu lagi booming, tapi lebih ke “saya rasa kita harus ngangkat band A deh, karena dekat banget sama kisah kami”. Kami memang lebih main hati juga, sih, baper jadinya, hahaha…

 

Siapa sih pencetus ide dari Music Story Nadafiksi?

Ace: Sebenarnya bukan saya untuk yang Nadafiksi. Namanya Zenza, dia itu salah satu founder Indie.Art.Project juga. Kebetulan waktu bikin Nadafiksi, Indie.Art.Project memang lagi di masa-masa bingung mau ngerjain apa sekarang karena program-program kemarin udah selesai. Nah, kira-kira apa ya yang kami banget? Memang, saya yang bikin Music Story, tapi saya gak kepikiran untuk melanjutkan itu karena saya kira animonya cukup selesai di Mustache and Beard. Ternyata,ketika saya tanya Mas Yudha dan teman-teman musisi yang lain, semua orang ingin masuk ke Music Story. Ya udah, jadinya Music Story jadi identitas banget dan akhirnya dibikin lagi.

 

Apa sih artinya fiksi musikal impresionis?

Ace: Itu tuh konsep pertama. Impresionis itu kan di balik rasa, ibaratnya tuh rasa terdalamnya. Kalau dianalogikan ke pelukis tuh kayak bagaimana kita mengolah rasa itu. Misalnya Monet, bagaimana dia melukis realita tapi ngeblur. Dia mengeluarkan estetika yang lain, maksudnya pada saat itu pelukis menggambar realistis aja, walaupun udah mengeluarkan rasa mereka tapi belum seekstrim itu. Nah, di Music Story kenapa saya nyebutnya impresionis karena yang saya timbulkan disini bagaimana kami menyimpan pesan tersirat di film itu. Sebenarnya kami bicara tentang merantau loh ini, rasanya merantau tuh ini, jadi lebih bermain ke rasa. Jadi, visual mendukung kami dalam mengemas kalimat. Misalnya, Mas Yudha itu kesepian di perantauannya. Okay, kesepian di lukisan kan biasanya komposisinya kosong, nah kami pakai cara lain juga. Kayak dia merantau ke kota, kota itu menyenangkan dan menarik, tapi sebenarnya yang dirasakan itu kosong, jadi kami pakai kebun teh. Sebenarnya itu semua itu ladang emas banget, tapi ketika kita cuma menikmati itu sendiri dan semuanya monoton jadi rasanya hampa.

 

Lalu kenapa konsep yang ini yang dipilih?

Ace: Art cinema sih, hehehe. Saya lebih suka cara bertutur yang tidak tersurat. Jadi, orang harus baca frame by frame. Tapi pasti kebaca sih, karena kalau orang nonton film art cinema terbentuknya karena terbiasa, jadi ngeliat film Music Story sih saya kira orang udah ngerti maksudnya. Kami lebih bermain semiotika.

Bagus: Di dalam film juga ada dua timelapse tentang manusia dan alam. Kenapa? Karena kami ingin membuat cerita dari pandangan lain, kayak di film “Burung”. Karena konsepnya burung, jadi kami mengemas bagaimana melihat manusia dan alam dari pandangan burung. Itu tantangan yang cukup sulit juga sebenarnya.

 

Berapa lama proses penggarapan film ini?

Ace: Pembuatannya itu di pertengahan tahun 2016. Bulan Juni kami development, persiapan selama lebih kurang sebulan setengah, Bulan Juli mulai ke produksi dan langsung shooting selama empat hari. Kendalanya hanya di jadwalnya talent aja yang, jadi ada yang shooting secara terpisah. Setelah itu masuk proses editing selama dua mingguan. Jadi, film ini udah siap di Bulan Agustus, karena kami dibantu juga sama Housethehouse dan mereka minta Bulan Agustus sudah bisa preview.

 

Siapa saja yang terlibat di penggarapan film ini?

Teman-teman dari Indie.Art.Project lebih kurang sepuluh orang, Housethehouse, dan Rana Kamera yang juga menyumbang crew.

 

Apakah Music Story ini bakal jadi proyek yang berlanjut?

Ace: Kami ingin sekali, tapi kami lagi eksplorasi ke beberapa project. Kami ingin coba bikin film yang bisa masuk ke festival internasional. Sebenarnya sambil nunggu juga band yang kena dan kami banget. Kami nyari yang dekat, dia bisa mengerti kami dari lagunya meskipun kita belum kenal.

 

Melihat respon para penonton, masih efektif gak sih bikin film semacam ini?

Ace: Bagi saya sih efektif, karena yang saya hadirkan juga shoots, walaupun ditata nggak konvensional. Yang saya hadirkan juga tetap keindahan, lalu musik itu ¾nya penggerak cerita ini. Jadi, sebenarnya nonton itu jadi enak dan gak cuma lewat, makin asyik buat dilihat.

Mulki: Kalau bukan penikmat film mungkin agak sulit untuk mengerti, apalagi musik dan shoot kayak gini mungkin ada yang cuma menikmati shoot atau lagunya. Tapi, kalau untuk yang sudah mengerti, mereka bisa lebih dekat dengan film-film kami dan lebih menjiwai.

Bagus: Relatif sih sebenarnya, cuma benar kata Mulki, tergantung gimana yang melihat. Karena kami juga pakai format yang gak biasa, ada hal-hal yang mungkin untuk orang awam bakal ngebosenin, padahal sebenarnya itu semua ada maknanya.

 

Ada gak hal-hal menarik yang dialami selama penggarapan film?

Mulki: Karena saya bukan dari jurusan perfilman, saya banyak mengerti tentang teknis ketika menggarap film, misalnya perubahan frame yang menceritakan latar yang juga berubah. Selain itu, proses shooting itu sekalian liburan juga sih, sambil menikmati kebun teh. Itu healing buat saya sendiri.

Ace: Ada salah satu kejadian menarik. Waktu itu sempat hujan. Lokasi yang udah kami tentukan udah jadi lumpur, gak bisa dilewatin. Kami akhirnya nyari alternatif, dan si supir yang kami sewa merekomendasikan kampungnya, di daerah Pangalengan. Kami kesana, ternyata disana malah lebih bagus lagi. Kami jadi eksplor saat itu.

Bagus: Waktu kami sedang shoot timelapse juga saya dan Mulki baru tahu bahwa kami lewatin pipa gas, terus ada kayak peringatan aneh gitu. Kata-katanya “awas ada lebah dari atas”. Itu udah kayak antah berantah gitu.

 

Terakhir, apa harapan dari teman-teman Indie.Art.Project untuk Music Story dan penggiat film lainnya?

Bagus: Kalau buat Music Story, semoga bisa lanjut lagi dengan lebih baik, dengan nuansa baru juga. Karena udah dua Music Story itu latarnya alam. Kami ingin bikin yang berbeda, takutnya malah ketebak. Semoga gak ada kendala juga, kayak cuaca dan lain-lain. Kalau untuk pekerja film, semoga film seperti Music Story dan film-film lain bisa lebih diapresiasi dengan adanya screening kayak gini. Karena ini penting untuk mengangkat nama film itu sendiri dan nama yang membuat film itu. Karena film di kita itu kurang apresiasi dan begitu-begitu aja.

Mulki: Saya berharap Music Story terus berjalan. Ini sebagai suatu bentuk dukungan juga sih untuk band-band yang kami angkat. Kalian udah bikin lagu enak, kami coba kemas dengan bikin video yang bagus juga.

Ace: Untuk Music Story, semoga tetap bisa dibikin. Saya nunggu banget sampai ada momen menemukan band selanjutnya. Untuk secara teknik ya semoga lebih rapi, lebih tertata, karena kemarin idenya tiba-tiba dan pra produksinya juga tiba-tiba, tapi tetap menyenangkan. Kalau untuk penggiat film, film itu bukan hanya bidang film, karena film itu mengangkat kehidupan sehari-hari. Gak usah jauh-jauh lah, merangkul yang dekat-dekat aja dulu.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner