Mika Adhyatmika (Pijaru): “Saya Merasa Ada Generasi yang Hilang di Dunia Musik

Mika Adhyatmika (Pijaru): “Saya Merasa Ada Generasi yang Hilang di Dunia Musik"

Kampus seni IKJ (Institut Kesenian Jakarta) menjadi saksi kelahiran band indie yang kini namanya melambung hingga ke mancanegara. Dari sekian banyak grup musik yang lahir di sana, sebuah media digital Pijaru merekam dengan apik skena musik IKJ. Mika Adhyatmika dan Reshan Janotama dari pihak Pijaru mengulas balik tentang fenomena band indie kala mereka duduk dibangku SMA melalui film mini dokumenter berjudul “Terekam”. Film mini dokumenter ini meliput empat band indie jebolan IKJ, seperti White Shoes And The Couples Company (WSATCC), The Adams, The Upstairs dan Goodnight Electric dalam durasi video sekitar 12 menit. Film mini-dokumenter ini bercerita mengenai awal mula mereka terbentuk, penggarapan materi, kejadian saat manggung, dan lainnya. Tak hanya dari perjalanan awal band, Pijaru juga meliputi salah satu tempat yang dulunya kerap dijadikan sebuah medium ke 4 band tersebut untuk menggelar sebuah acara musik yaitu BB’S Cafe.

 

Bagaimana terbentuk ide awal untuk memilih konsep band dari IKJ dalam sebuah film mini-dokumenter ?

Ada dua cerita bagaimana ide “Terekam” ini terbentuk. Sebelumnya, Pijaru pernah membuat dokumenter berjudul “Teater Tanpa Kata”; tentang sebuah grup pantomim bernama Sena Didi Mime. Ketika sedang brainstrom ide untuk film berikutnya. Saya dan temen yang bernama Getar Jagatraya (yang menjadi Narator di film ini) terlontar ide: Band -band keren yang kita tonton waktu SMA pada kemana ya? Anak - anak IKJ (kebetulan Getar juga lulusan IKJ) kok udah nggak pernah muncul ya? Cuma kadang-kadang aja main. Padahal waktu kami masih SMA dan kuliah kayaknya nama-nama seperti The Upstairs dan White Shoes and The Couples Company selalu muncul tiap bulan. Ada fenomena apa kok tiba-tiba hilang gitu aja? Saya ingat ada cerita teman dari IKJ yang juga ngeband pernah bilang, “musik indie levelnya cuma segitu doang.” Cerita kedua muncul waktu ngobrol - ngobrol dengan anak magang di kantor Pijaru. Anak ini (laki - laki) tapi demenannya Rihanna, Beyonce, pokoknya musik-musik barat lah. Saya merasa ada generasi yang hilang di dunia musik. Dan kalau dipikir-pikir, selalu terjadi seperti itu di Indonesia. Tidak ada pendokumentasian yang baik tentang sejarah pop culture di Indonesia. Dari situlah niat membuat dokumenter ini terbentuk. Niatnya sederhana, sekedar menunjukan bahwa ada sebuah era di mana musik Indonesia itu keren dan menjadi raja di negeri sendiri. Dan penontonnya dengan bangga bisa bilang, “Ini lho musik Indonesia”

 

Bisa diceritakan secara detail tentang penggarapan film Terekam, dari proses penggarapannya hingga dengan proses kreatifnya?

Ide film Terekam tercetus pada pertengahan tahun 2016, sekitar bulan Mei-Juni. Saya dan Reshan Janotama, penulis Terekam, mulai brainstorming kira-kira apa saja yang perlu dibahas. Dengan draft kasar sudah ditangan kami mencoba untuk melakukan riset apakah materi ini sudah solid atau belum. Suatu hari saya dan Reshan iseng datang ke acara Ruangrupa di Gudang Sarinah. Lagi muter–muter, eh ngeliat ada Jimi Multhazam (The Upstairs/Morfem) lagi jualan kaos band. Akhirnya setelah mengumpulkan keberanian, kami ngajak Jimi kenalan dan janjian untuk melakukan pra-interview dengan beliau. Banyak yang kami obrolkan dengan Jimi, dari pengalaman-pengalaman dia, lalu cross check data yang kami peroleh, dan terakhir meminta restu beliau untuk menggunakan judul ‘Terekam’ sebagai judulnya. Proses pengambilan lumayan cepat lah ya, yang agak sulit adalah menguhubungi narasumber dan mencocokan jadwal narasumber. Tantangan terbesar ketika membuat dokumenter ini (dan mungkin dokumenter pada umumnya) adalah menemukan data-data dokumentasi seperti foto dan video. Beruntung salah satu narasumber kami adalah Henry Foundation yang memang seorang sutradara video clip. Kami memakai banyak karya-karya beliau untuk film ini. Untuk mendapatkan foto-foto kebanyakan kami menggunakan jaringan litbang Kompas Gramedia, di mana dulu majalah HAI sering sekali mengangkat soal band indie dan pensi. Yang sulit adalah mendapat dokumentasi soal café BB’s. Beruntung kami mendapatkan materi foto-foto dari Keke Tumbuan yang menyimpan foto – foto di era tersebut. Jadi total proses pengerjaan pembuatan dokumenter Terekam sekitar 6 bulan, dari mulai menulis sampai tayang bulan Januari 2017.

 

Memilih 4 band indie yang merupakan jebolan dari kampus seni IKJ, seperti WSATCC, The Adams, The Upstairs dan Goodnight Electric, lalu bagaimana dengan Bandempo, Naif, Rumah Sakit, Club Eighties, The Sastro, dan lainnya ?

Kami sadar bahwa band band indie di Indonesia itu banyak banget dan keren-keren semua. Tapi kami kerucutkan ke skena Jakarta karena kebetulan saya dan Reshan merasakan langsung sensasi sebagai penonton pensi. Nah, ketika meriset kami melihat beberapa band - band indie tersebut mempunyai beberapa kesamaan. Pertama rata-rata berawal manggung di BB’s dan kedua beberapa personilnya ngampus di IKJ. Kalau dikerucutkan lagi kenapa 4 band ini, kami melihat bahwa keempat band ini merilis album pertamanya pada waktu yang hampir bersamaan yaitu sekitar tahun 2004-2005. Bahkan gimmick–gimmick kolaborasi sangat laku sekali, seperti halnya ketika The Upstairs berkolaborasi dengan Goodnight Electric. Kami rasa itu yang membedakan 4 band itu dengan band-band seperti Bandempo, Naif, Rumah Sakit, Clubeightees, atau The Sastro.

 

Secara keseluruhan film tersebut lebih menceritakan mengenai perkembangan scene dari band kampus seni, apakah film ini hanya mengulas balik cerita tentang 4 band indie tersebut, atau ada cerita lainnya ?

Awalnya banyak sekali apa yang kami mau bahas, tapi dari awal kami berkomitmen untuk membuat film ini untuk semua penonton. Bukan hanya bagi penonton yang mengalami masa di mana band-band ini sedang berjaya, tapi penonton yang belum pernah mendengar mereka sama sekali. Tujuan utama film ini adalah agar penonton awam tahu pernah ada masa di mana musik Indonesia itu keren banget dan bisa menjadi raja di negeri sendiri. Beberapa materi yang kami potong antara lain: pengaruh distro pada distribusi musik indie, peran video clip, dan proses pembuatannya, serta bagaimana musisi dan seniman-seniman lain (yang kebanyakan tergabung dalam kolektifitas Ruangrupa) dapat saling mempengaruhi satu sama lain.

 

Lalu memilih medium streaming dengan durasi singkat, sedangkan masih banyak yang dapat dikembangkan dari konsep nya, apakah ini merupakan awal dan akhir Terekam atau nanti akan versi film penuh nya ?

Pijaru sendiri merupakan media digital yang berbasis video internet. Dari awal Terekam dibuat dengan kesadaran akan rilis di internet. Apakah akan dibuat sesuatu yang dalam format panjang? Kita lihat lagi nanti, cross our finger lah haha. Oh ya, kami sendiri sedang brainstorming untuk proyek dokumenter berikutnya, tampaknya sih tentang musik juga. We’ll see.

 

Dan terakhir, bagaimana perasaan kalian setelah menggarap film mini dokumenter “Terekam” ini ?

Alhamdulillah seneng banget pastinya, respons positifnya sih yang nggak nyangka. Kenapa Terekam berdurasi sekitar 10 menit karena perjudian kami juga, takutnya kalau lebih panjang akan ngebosenin. Tapi ternyata penonton malah minta lebih dan merasa 12 menit terlalu pendek! Berarti jalur ceritanya mengalir dan bisa dinikmati penonton. Banyak yang merasa nostalgia dengan masa-masa itu. Tapi bagi saya pribadi, yang paling mengena adalah komentar seorang teman yang seumuran, “Gua bukan anak musik, tapi gua suka banget dan dapet informasi menarik”. Saya rasa itu yang paling penting, mengenalkan musik Indonesia kepada orang Indonesia itu sendiri. Cita cita berikutnya sih membuat gigs di mana 4 band tersebut manggung bersamaan. Semoga terwujud!

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner