Mahattir Alkatiry (Speaker 1st): “Akan ada Shoegaze Pada Musik Kami”

Mahattir Alkatiry (Speaker 1st): “Akan ada Shoegaze Pada Musik Kami”

Selepas menggelar tur London keduakalinya bertajuk London Envisage Tour, saya menemui frontman sekaligus vokalis Speaker 1st, Mahattir “Attir” Alkatiry di Kupu Bistro, Bandung, Kamis, (6/10) lalu. Perbincangan kali ini akan membahas proses rekaman yang dilakukan Speaker 1st di AIR Studio, London. Yang membedakan antara tur pertama dan kedua, kali ini mereka menjalankan sesi rekaman dalam rangka upaya mereka menembus pasar industri musik dunia. Istilahnya “Go Internasional”.

 “Proses rekaman menghabiskan waktu dua hari. Jadi satu shiftnya sekitar 12 jam. Jadi total mungkin 24 jam,” ujar Attir. Dia berbicara banyak soal peran sound engineer yang punya nama besar, juga pengaruh musik shoegaze, dan lirik-lirik bertema kontemplatif dan muram.

Apa sih yang didapatkan dari tur London Envisage kemarin itu?

Kemarin itu yang lebih spesial karena ada proses rekaman kan. Yang kedua juga ternyata di beberapa venue di Inggris kemarin, kami bertemu dengan beberapa orang yang punya akses di scene di London. Itu yang kedua. Cuma yang pengen saya soroti adalah dalam hal proses rekaman si Speaker 1st ke arah go internasional. Yah kemarin sih di luar dugaan kan, sound engineer kami tuh yang bikin album-albumnya OK Computer dari Radiohead terus si Travis, juga Coldplay dan Primal Scream. Namanya Jon Bailey. Nah, dia nih kaget ada band Asia yang, “fuckin you are rock’n’rollin” dia bilang seperti itu. Dia anggapannya di Asia itu scene-nya kayak Japanese Rock atau K-Pop. Mungkin dia mereferensi Asia musik-musik kayak gitu, musik dari Jepang atau Korea. Karena mungkin mereka menginvasinya juga internasional. Tapi kalau band lain (dari Asia) yang arahnya rock’n’roll itu menurut dia tidak ada. Nah yang menarik kalau dari saya sih, perihal rekaman di AIR Studio secara live. Studio ini kan yang punyanya George Martin (The Beatles). Dia pakai gereja tua gitu, saya lihat di videonya Oasis kan dan ternyata lebih keren aslinya. Nah, saya coba ngambil pola rekaman live, saya coba ngambil, sentuhan-sentuhan yang kalau kata Jon Bailey, pengen lagu kami ini jadi kayak Black Sabbath tahun 1970-an, arahnya kesana. Karena di luar negeri, sudah jarang band yang berani take rekaman live. Kalau rekaman live kan harus masak dan matang betul materi musiknya. Makanya Jon Bailey sangat mengapresiasinya. Dia terasa kangen dengan musik seperti kami. Dia bilang sih kayak ada Deep Purple. Padahal saya pikir, di mana musik kami ada Deep Purple-nya (tertawa). Nah terus, setelah itu kami rekaman dua sesi itu dapat lima lagu. Terus empat lagu itu akan dicoba dikembangkan dan akan diputar di radio-radio di berbagai negara terutama Eropa dan Amerika. Jadi ukuran agensi melihat kesuksesan suatu band ketika lagunya masuk pada chart-chart di radio.

Terus kalau Jon Bailey sendiri mereferensikan ke arah musikal seperti apa baik nuansa musiknya maupun elemen soundnya?     

Yang kerennya itu adalah ternyata beda ama industri musik di Indonesia. Kalau produser di luar negeri, dia mempertajam karakter dari suatu band. Kalau di Indonesia cenderung bisa menggantinya sesuai dengan karakter pasar dan dibuat lebih nge-pop. Pas ketemu saya juga Jon bilang, “kamu brengsek Tir, vokal kamu tuh brengsek banget. Kalau mau vokal lo tuh dibikin lebih kasar (raw) lagi.” Itu arahan dari dia. Jadi diperkuat karakter kami tuh. Tapi kalau referensi musik sih kayak memoar saja, oh kayak Black Sabbath atau Deep Purple. Tapi kalau urusan musik dia tidak mengacu pada satu band tertentu yang harus mutlak seperti itu.

Tapi kalau kalian sendiri menawarkan nggak ingin ke arah musik seperti apa nantinya?

Saya tuh senang ke sound-sound tua seperti Jesus and Mary Chain. Ada suasana shoegaze. Karena ternyata shoegaze di Indonesia dengan di sana (Inggris) tuh beda yah. Kalau di kita kan musik shoegaze itu cenderung galau, muram, atau depresif. Kalau di sana kan lebih ke “dark” yang mungkin malah menjadi agresif. Tapi di kita kan shoegaze seolah-olah musik patah hati dan galau.

Berarti nanti di rekaman terbaru kalian itu akan ada unsur shoegaze?

Iya seperti itu. Mungkin arahannya jadi ada raw seperti Jesus and Mary Chain atau malah Sonic Youth. Yah mulai ada arah-arah kesana.

Jadi akan berbeda dengan kedua album kalian sebelumnya?

Wah, jauh banget. Karena buat kami sih ini album pertama kami lepas dari apapun. Kalau dulu kan kami di Sony Music Indonesia, kami harus bikin musik yang catchy di industri yang juga ada pop atau rock yang sudah ada. Kami harus masuk di antara itu. Sedangkan kalau ngomongin rock’n’roll di kita kan orang-orang cuma mengenal dua band yaitu Slank dan The Rolling Stones. Maksudnya referensi ke sana. Sedangkan ini album pertama saya yang lepas dari apapun. Jadi ini emang eksperimental buat kami secara band dan individu. Menurut saya sih iya. Tapi tetap akar di musik rock’n’roll sih masih sangat terasa. Kenapa saya setuju ketika akan ditambahkan elemen shoegaze karena dia bilang ada “dark”-nya di situ. Karena ada akar blues dalam musik kami. Alasan saya bikin lagu dan lirik-lirik itu kan referensinya itu musik blues. Shoegaze buat mereka itu kan ingin ada nuansa gelap di lagu-lagu kami. Terus kan ada beberapa lagu yang liriknya juga soal ketuhanan. Maksud saya, kayak pengakuan dosa. Dan buat mereka topik seperti itu tuh “shoegaze” banget. Dan satu sih hebatnya, mereka bikin lagu kami tuh catchy di radio. Denger 15 detik di radio tuh, enak didengernya. Padahal awalnya masih terasa aneh. Pas saya nanya ke produser, apa sih referensinya. Terus dia bilang, Bee Gees. Wah, saya bingung musik Bee Gees dimananya (tertawa). Saya musik rock tapi entah kenapa referensinya kayak nggak masuk kan kalau Bee Gees. Tapi begitu dicobain asyik banget. Karena sebelum rekaman kan saya sudah ngasih materi ini pada mereka beberapa bulan sebelumnya. Jadi ketika kami datang tuh mereka tinggal membedahnya. Mereka sudah punya catatan untuk masing-masing lagu.

Tapi lagu sebelumnya yang kalian kirim itu masih rock’n’roll seperti biasa?

Iya lebih mentah dan kasar. Masih rock’n’roll sih. Cuma dia coba memoles itu agar lebih masuk ke industri agar lebih catchy. Dia cuma nambahin ada elemen shoegaze, ada elemen pop untuk di backing vocal. Karena, pada materi baru ini gitaris Beny dan Bony juga terlibat vokalnya lumayan banyak.

Bisa diceritakan kelima lagu tadi tentang apa?

Kalau judul belum bisa kami keluarkan, cuma tema yang diangkat untuk lirik sih karena saya lagi senang baca liriknya Tom Waits.

Mulai ke arah nihilis dan pesimis seperti itu?   

Saya sendiri mulai menulis lirik ke arah sana. Makanya Jon Bailey baca liriknya, dia bilang kamu ngalamin apa bikin lirik seperti ini. Maksud saya, setiap orang punya titik kontemplasinya masing-masing. Cuma saya sudah mengarah penulisan lirik ka arah itu. Kalau kamu lihat rockstar itu kan kayak rock’n’roll itu having fun, maen ke bar, ada cewek, tapi banyak yang nggak tahu bahwa ada juga sisi sentimentilnya tersendiri. Kamu ngomongin diri sendiri dan ngomongin tuhan. Tapi ada satu lagu yang memang percaya pada keyakinan kamu sendiri dan mimpi-mimpi kamu. Hal-hal semacam itu.

Tema liriknya juga agak beda dengan lirik-lirik Speaker 1st di kedua album sebelumnya yang cenderung positif dan optimis?

Jauh banget.  Kalau dulu karena kami coba adaptasi dengan pop. Kalau sekarang secara lirik, ini waktunya untuk lebih dewasa. Bahas hal-hal yang lebih prinsipil. Cuma materi musiknya, tetap agresif dan beatnya kencang. Meski temanya mungkin “gelap”. Jadi kalau ditanya temanya sih mungkin tetap blues. Tapi ini tetap musik rock’n’roll.

Tapi kalau tema kalian yang menggarap sendiri dan produser tidak mengarahkan pada tema tertentu?

Iya nggak mengarahkan untuk tema lirik. Karena waktu kami datang sudah dipersiapkan musik dan liriknya. Jadi tinggal rekaman saja. Dan mereka juga mengapresiasi ketika kami datang kami sudah persiapan. Kan bayar studionya sendiri hampir 900 juta dan kalau nggak ada persiapan pasti kayak orang sinting (tertawa). Jadi saya nggak mau melewatkan kesempatan ini dengan membuat materi yang mendadak. Karena yang saya dengar banyak musisi yang datang bikin mendadak. Cuma bawa satu materi terus sisanya bikin di studio rekaman. Kalau saya di Bandung sih sudah dipersiapkan materinya.

Kendala ketika proses rekaman apa?

Lebih ke faktor fisik sih. Karena kan pulang dari tur London pertama jedanya hanya sekitar 2-3 bulan. Jeda itu di-isi dengan jadwal manggung reguler dan jadwal dengan media agak banyak karena persiapan untuk tur kedua. Begitu pun pas mau berangkat kan, sebelumnya kami harus manggung dulu di acara Coklat Retro dan setelahnya kami harus terbang ke London. Terus datang sampai ke sana harus langsung manggung lagi. Begitu rekaman sempat habis suara. Jadi lebih ke kendala fisik sih. Jadi agak stress kan. Karena ketika momennya datang suara saya habis. Hampir semua personil juga terkuras fisiknya. Cuma diobati saja dengan vitamin dan makan obat. Alhamdulilah sih beres. Jadi beberapa jam awal saja habis dengan saya yang dipijet, minum jamu (tertawa). Jadi kalau materi musik sih karena sudah dipersiapkan dari awal. Makanya Jon Bailey bilang bahwa musik kami materinya udah siap banget. Terus yang saya bilang buat kami yang berasal dari Bandung kayak mimpi ditangani oleh sound engineer yang menggarap musiknya Coldplay, Radiohead, dan Travis. Idola-idola saya. Jadi kayak mimpi juga terus jadi teman juga. Teman kerja bareng juga.

Ini kan pengalaman pertama kalian rekaman live? Ada kecanggungan tidak dengan proses rekaman biasanya, apalagi harus ditangani oleh sound engineer berkaliber internasional karena rekaman live tentu harus dituntut detil, sempurna, dan seminimal mungkin tak ada kesalahan?

Awalnya manajemen khawatir yang terjadi justru kami di sana foto-foto ama Jon, karena ini industri besar, ini AIR Studio (tertawa). Justru kalau kamu band rock’n’roll justru senang banget kalau dikasih rekaman live. Kalau ini sih emang formula pertama yang saya coba dan ternyata lebih menyenangkan. Live recording buat saya sih menyenangkan banget. Kayak detil-detilnya jadi lebih artistik. Beberapa take coba lagi, karena saya ingin mencoba lebih jauh lagi. Tiap lagu kan punya emosi berbeda karena kan live jadi akan terasa beda. Kalau rekaman multitrack kan bakal jadi kaku karena sendirian di studio. Tapi ini bisa barengan sama semua personil. Emosionalnya lebih kerasa. Emosi di studio tuh lebih kerasa di studio. Kalau kata dia sih ini magical things on studio you can had on the track. Iya itu sih rekaman live tuh asiknya begitu.

Apakah EP kalian nanti untuk dirilis publik atau hanya untuk diputar di radio (radio chart)?

Nah ini yang baru saya tahu. Ternyata di sana, sebuah band itu biasa dimulai dengan bikin EP 4-5 lagu. Ternyata di luar polanya itu seperti itu. Naikin satu single di chart, label rekaman baru ngambil. Jadi kerjaan label itu setelah EP lagu ini ada di chart. Ternyata di luar itu mindset industrinya sama kayak kita. Kalau kamu belum siapa-siapa, mereka nggak mau bikinin album. Harus masuk chart dulu. Baru mereka cari di chart nih Top 5 kira-kira siapa nih. Tapi kalau di sana kalau kamu punya duit, tapi materinya jelek juga nggak akan bisa masuk industri. Beda dengan di kita yang entah anaknya siapa atau model tampang dan tubuh seksi aja tiba-tiba bisa masuk industri musik. Kalau di sana nggak bisa seperti itu. Faktor X penting, tapi lebih penting lagi memang materi musiknya. Karyanya sudah bagus. Kayak ngomongin Jon Bailey di kepala kamu sudah ada karya-karya yang dibikinnya semacam Coldplay, Travis, dan Radiohead. Ini semua bisnis kepercayaan dan kredibilitas.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner