Interview: Ternyata, Outermost adalah Melodisasi tentang Kematian dan Keputusasaan

Interview: Ternyata, Outermost adalah Melodisasi tentang Kematian dan Keputusasaan

Di balik musiknya yang agresif, terselip sebuah cerita kelam dari Lizzie yang diangkat dalam materinya.

Belum menginjak sebulan sejak EP dari grup rock asal Bandung bernama Lizzie dirilis. Jauh sebelum EP perdananya muncul di bawah naungan FFWD Records, Lizzie memang telah malang-melintang di dunia musik dengan cukuo sering tampil di beberapa acara lokal. Bicara mengenai materi dalam EP ini, kualitasnya sudah tidak perlu dipertanyakan. EP bertajuk Outermost masuk ke daftar "wajib" untuk didengar penggemar musik rock saat ini.

Hal itu tentunya tidak terjadi secara instan. Banyak cerita dan proses yang dilewati oleh Izma (vokal & gitar), Ican (gitar), Econ (bass), dan Azar (drum), khususnya Izma yang menjadi mesin utama di kuartet ini baik. Ia menjadi otak untuk tema sampai referensi musik untuk Lizzie. Ada beberapa unsur musik yang ditonjolkan oleh Lizzie di Outermost, khususnya yang terletak pada riff beserta tempo musiknya yang berat, seperti post-metal, sludge metal, dan stoner / doom yang dikemas menjadi satu kesatuan yaitu heavy rock.

Setelah mendengarkan enam materi mereka, secara pribadi saya langsung menyukai apa yang ditelurkan oleh Lizzie. Karena itu, saya menyempatkan diri untuk menemui Izma, bertujuan untuk membicarakan tentang EP pertama mereka. Kami sepakat bertemu sekitar pukul 21.00 WIB di depan SMPN 2 Bandung, sekolah Izma dulu. Sesampainya di sana, saya menemui Izma yang sedang asyik berkumpul dengan teman-temannya semasa SMP, tepatnya di sebuah warung atau kios. Kami memilih tempat yang nyaman untuk memulai obrolan, dimulai dengan segelas minuman soda, basa-basi ini-itu sembari menghisap sigaret, dan di tengah candaan, saya memutuskan untuk memulai wawancara dengan Izma.

Outermost itu membicarakan tentang apa?
EP itu kami implementasikan pada lingkup paling luar, kayak dari isu-isu sosial yang ada pada zaman sekarang. Kami nggak membicarakan isu-sisu yang ada di inti atau nggak sampai ke tengah-tengah inti permasalahan itu. Misalnya, ada di beberapa lagu, kami membahas soal maniac, soal kematian, tapi death based on agony, yang dari keputusasaan dia sampai mati. Tapi, kami nyelipin doa juga di EP ini, khususnya di lagu “Holyman – Version 2”. Ada juga lagu “Mantra” sebagai pengingat bahwa "walaupun kalian punya masalah sebesar apapun di luaran lingkup kalian, ada mantra yang bisa digunakan". Ada juga penggalan lirik begini: "to kill those pain pills in your head" sebelum refrain. Itu maksudnya membunuh hal-hal yang mengganggu di otak kalian dengan lagu ini.

Ide ini datang dari siapa?
Kebetulan kami punya hubungan yang cukup terbuka, antara kru, manajer, manajemen, dan personil. Semuanya punya hubungan yang dekat dan saling cerita. Dari personil Lizzie khususnya, banyak cerita-cerita yang saya terima dan akhirnya saya ambil ide darisitu. Kayak Econ yang kepentok sama kisah kasihnya, baik juga saya yang lagi kepentok cerita lain. Itu semua saya rangkum dan saya tuliskan. Orang lain juga akhirnya ikut berpikir, sampai ada waktu di mana mereka yang tadinya nggak bercerita akhirnya ikut bercerita. Mungkin karena beban yang berat.
Lirik semuanya saya yang buat, karena saya percaya bisa. Tapi, saya kesulitan di pencarian diksi. Untuk garapan musiknya, masing-masing punya riffing sendiri, makanya khasnya Lizzie itu dynamic beat di bass line dan harmonic lead-nya. Kenapa gitu, karena kami ingin mencoba hilangin sisi guitar hero-nya dari band. Jadilah lead guitar dan harmonic yang baru, dan kami coba jumping ke sebelumnya.

Untuk ceritanya gimana dari liriknya gimana? Apa ada hubungan antara satu lagu dengan lagu yang lain?
Sebenarnya cerita di EP ini parsial. Enam lagu di EP ini menceritakan hal yang semuanya berbeda dan nggak ada sangkut pautnya, meski benang merahnya ada di ruang lingkup paling luar tadi. Karena, saya sendiri merasa sering berada di posisi itu. Saya nggak bisa ngapa-ngapain, dan mungkin ada beberapa orang juga yang merasa hal tertentu nggak bisa diceritain. Hal ini mesti dihadapin dengan caranya sendiri. Saya coba menampilkan tentang hal ini di sisi Outermost. Masing-masing lagu punya ceritanya sendiri-sendiri. Satu atau dua kegelisahannnya berbeda-beda, tapi dengan wadah sekaligus ruang lingkupnya satu.

Cerita tentang "Holyman" yang dibagi ke dua versi?
Kalau "Holyman – Version 1" itu tentang rage agony atau rasa marah saya soal dua orang teman saya, teman dekat dari SMA. Mereka berdua sekarang sudah meninggal, yang satu kecelakaan di jalan, dan satunya lagi ketika dia sedang kerja praktek dari kampusnya. Tapi, mereka punya similaritas, sama-sama meninggal karena ada trauma di kepala. Cerita itu kami ambil, dan dua lagu ini didedikasikan untuk mereka. Untuk musiknya di versi pertama, kami pakai beat pumping. Musiknya lebih marah dan riffing-nya pun berat. Kenapa? Karena saya merasa kecewa. Kenapa mereka harus seperti itu dan kenapa harus secepat ini. Tapi, walaupun marah, kami masih sisipkan doa buat mereka.
Untuk “Holyman – Version 2”, kami kasih marahnya keluarga dari pihak korban dan teman-teman ketika menanggapi kematian mereka. Suasana gelap dan gloom-nya yang saya ambil. Makanya, dua "Holyman" ini berkesinambungan, lagu yang nyatu sebenarnya, makanya kami buat dua versi. Tapi, harus saya pisah karena feel-nya pun beda, meski dengan benang merah yang sama yaitu tentang kematian dan keputusasaan.

Dua lagu di EP Lizzie ini sempat dirilis duluan. Apa yang membedakannya ketika masuk di Outermost?
Saat kami rilis kaset, sempat ada proses kurasi. Waktu itu, semua personil Lizzie berunding sambil mikir kira-kira mau masukin lagu yang mana, dan akhirnya dua lagu berjudul “P.O.V” dan “Death River” itu terpilih. Beberapa lagu yang udah kita buat isunya masih memandang soal hal yang telah saya sebutkan tadi, karena memang yang kita hadapi sehari-hari seperti itu. Jadi, saat dipilih ada kesinambungan kayak “Death River” sendiri yang bicara tentang keputusasaan dan mentok, kayak nggak bisa ngapa-ngapain lagi. Keluar dari comfort zone, kamu harus berani. Lebih kurang seperti itu. Yaa.. Curhatan hati yang saling bersahutan satu sama lainnya.
Kenapa “P.O.V” kami ambil lagi, karena kami ingin pre-production dan post-productionnya dipermulus, dan menurut Lizzie sendiri hasilnya so much better. Dari production, feel, sampai down tempo-nya pun kami turunin dikit, dan groove-nya lebih keluar. Kalau di kaset awal single itu, lagu itu terlalu cepat dan agresif.
Jadi, dua lagu itu pas masuk di Outermost semuanya direkam ulang, baik pre-production kayak pemilihan amplifier seperti apa dan lain sebagainya. Per-lagu, kami pilih treatment yang beda-beda. Karena sebelumnya kami udah pernah rekam lagu ini, pas re-take kami habisin banyak waktu, karena harus terasa beda dan vibenya harus sekuat yang dulu, nggak boleh kurang dari itu. Makanya, kami ngakalin beberapa hal, kayak tempo yang dikurangin dan mid-gitar yang dinaikin.

Untuk genre musik, kalian lebih mengarah kemana sih?
Kalau kami dibilang stoner, kami amini (tertawa). Kalau kami dibilang doom, memang ada beberapa rasa yang kami ambil dari sana juga. Kayak riffing gitar, baik lead atau vokal. Ada juga beberapa orang yang bilang ke saya, “kok vokalnya jadi kayak band Down”. Saya juga baru ngeuh, ternyata memang lebih ke situ. Kami mengamininya, semua boleh bilang kami kayak apa. Kami nggak mengkotakkan diri harus seperti ini atau itu, dan kami sendiri menganggap Lizzie sebagai heavy rock, atau rock yang berat dan groovy.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner