Interview: Rubah Di Selatan, Misionaris Pelestari Budaya yang Mulai Sirna

Interview: Rubah Di Selatan, Misionaris Pelestari Budaya yang Mulai Sirna

Di tengah ramainya arus globalisasi dan kebanggaan hidup dengan gaya kebarat-baratan, Rubah Di Selatan muncul sebagai entitas kontradiktif.

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang mempunyai banyak unsur kekayaan, terutama budayanya. Namun, seiring dengan perubahan jaman yang makin hari makin canggih, budaya khas Indonesia mulai terkikis keberadaannya, bahkan tak sedikit pula yang lenyap dari peradaban. Hal ini menyebabkan sebagian bangsa Indonesia tidak paham betul mengenai budaya tanah airnya.

Berlandaskan kekayaan dari budaya beserta kultur Indonesia, grup musik beraliran folk asal kota Yogyakarta bernama Rubah Di Selatan mengangkat dan mengembangkannya dalam sebuah karya musik. Karena mereka memiliki tema yang mengedepankan budaya Indonesia jaman dulu, Rubah Di Selatan banyak menggunanakan alat musik tradisional seperti Saluang (khas Sumatera Barat), Karinding (khas Jawa Barat) dan lain-lain.

Ada dua hal mengenai budaya Indonesia yang telah diangkat dalam karya musik Rubah Di Selatan. Satunya mengenang tragedi letusan Gunung Merapi dalam “Merapi Tak Pernah Ingkar Janji”, dan satunya lagi yang berjudul “Mata Air Mata” mengisahkan mengenai selokan Mataram, yang kemudian lagu ini dijadikan soundtrack film dokumenter untuk cerita Kanal Yoshiro.

Empat personil Rubah Di Selatan yaitu Melinda (vokal), Gilang (gitar), Adnan (keyboard), dan Ronnie (perkusi etnik) sampai saat ini terus melakukan penggalian untuk menemukan berbagai cerita dan budaya yang telah mulai sirna. Hal ini dilakukan oleh tiap personilnya untuk sebagai bentuk "pelajaran" kepada masyarakat saat ini.

Simak wawancara DCDC dengan Rubah Di Selatan.

Apa makna dibalik nama Rubah Di Selatan?
Rubah Di Selatan itu diambil dari sebuah filosofi di Yogyakarta, yang intinya adalah “kemana kita pergi akan tahu kemana kita kembali”. Rubah Di Selatan itu semacam representasi hewan yang ada di mana, sederhana tapi punya karakter yang kuat. Harapan kami bisa seperti rubah, diterima di mana-mana. Selatan sendiri karena tiap dari kami berasal dari daerah Jawa berbeda, dan terbentuk secara ajaib di Yogyakarta daerah Selatan.

Kapan proyek Rubah Di Selatan mulai bergerak?
Tahun 2015. Jujur, sebenarnya kami itu nggak ada yang punya basic di musik sama sekali. Akhirnya, di Rubah Di Selatan ini lah kami mulai pelan-pelan. Kami harus aware sama lingkungan, budaya, ya seenggaknya kami tahu cara berteman baik lewat musik.

"Kami harus aware sama lingkungan, budaya, ya seenggaknya kami tahu cara berteman baik lewat musik."

Kemarin, kalian rilis single "Merapi Tak Pernah Ingkar Janji" yang mengharuskan kalian melakukan riset. Bagaimana prosesnya?
Risetnya waktu perjalanan ke kaki Gunung Merapin, sehari, tepatnya di Cangkringan, Yogyakarta. Jadi, ada legenda di Yogya kalau kota ini diapit oleh Gunung Merapi dan Pantai Selatan sampai membuat Yogyakarta memiliki unsur magis yang kuat. Nah, akhirnya kami naik ke Gunung Merapi untuk mencari tahu. Ketika riset, kami ke Museum Sisa Hartaku. Di situ, kami lihat kejadian saat erupsi Gunung Merapi, dan yang jelas kami lihat adalah jam yang jarumnya sudah nempel karena panasnya lahar. Itu kayak saksi bisu saat detik Gunung Merapi meletus. Cerita itu kami dapat dari ibu-ibu yang kami temuin pada saat riset. Ibu itu masih keponakannya Mbah Marijan yang sekarang berjualan makanan di dekat Museum Sisa Hartaku. Dia juga bilang, waktu itu di kaki Gunung Merapi setelah kejadian erupsi, dia lihat ada tulang-tulang sapi dan perabotan rumah tangga yang ikut terbakar. Dia juga menceritakan momen saat kejadian itu dengan sangat rinci.
Nah, kami ingin menampilkan nuansa mencekam itu dalam musik kami. Di awal lagu “Merapi Tak Pernah Ingkar Janji”, kami nampilin musik yang sendu di awal, menggambarkan keadaan yang saat itu asri, tapi setelah itu musiknya agak-agak chaos dengan suasana meletus, dan itu juga kami hadirkan di lagu kami. Di akhir lagunya, juga ada lirik Macapat yang berupa pesan bahwa kita diingatkan lagi dengan kejadian saat erupsi Gunung Merapi. Kita sebagai manusia sangat kecil dan tidak ada hak untuk sombong.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner