Hernandes Saranela: “Black Metal Bukan Sekedar Fenomena, Melainkan Sebuah Pergerakan yang Panjang”

Hernandes Saranela: “Black Metal Bukan Sekedar Fenomena, Melainkan Sebuah Pergerakan yang Panjang”

Menguak film dokumenter tentang black metal di Indonesia bersama sang sutradara Hernandes Saranela yang membicarakan sub-kultur yang dianggap paling kontroversial ini 

Sebagai salah satu aliran musik yang kontroversial, black metal seringkali menjadi perbincangan yang kebanyakan berakhir pada pandangan sebelah mata. Demi membuka sisi-sisi yang tidak diketahui banyak orang, Hernandes Saranela membuat satu film dokumenter berjudul Where Do We Go. Film dokumenten ini diharapkan dapat menjadi sarana pengetahuan untuk teman-teman mengetahui kultur black metal.

Hernandes Saranela merupakan penggiat film independen di bawah kolektif CINEMAREBEL yang ia inisiasi dari tahun 2008. Setidaknya, sudah ada 20 film pendek bergenre fiksi yang ia hasilkan dan beberapa diantaranya menyabet sejumlah penghargaan tingkat nasional. Ia merupakan penulis sekaligus sutradara dalam film-film tersebut yang kebanyakan bertema humanisme. Menyinggung kembali black metal, Hernandes Saranela sendiri sempat memiliki band black metal bernama Anathema Dismorpheus pada tahun 1998. Meski band yang ia miliki sudah vakum, ia ingin kembali menghidupkan konsep musik pagan metal  pada awal tahun 2017.

Dari mana ide pembuatan film Where Do We Go?

Ide awal pembuatan Where Do We Go itu sebenarnya sudah ada dari dulu, karena saya melihat perkembangan black metal di Indonesia yang semakin menggeliat. Pada tahun 2001, saya pernah membuat zine yang mengkhususkan diri pada musik black metal dengan nama God Not Found tapi lebih banyak mereview band-band black metal luar, mengambil materi dari zine-zine yang sudah ada sebelumnya. Ketika sudah masuk dalam dunia perfilman tahun 2003, keinginan untuk membuat film khusus black metal muncul, namun baru direalisasikan mulai awal 2016 ini.

Tepatnya pada tanggal 15 Januari tahun 2016, saya mengikuti diskusi black metal Garage Blackness yang diselenggarakan di Surabaya. Awalnya saya mengira orang-orang black metal tidak bisa diajak diskusi mendalam. Namun ternyata, dalam diskusi tersebut saya menemukan banyak orang yang tepat untuk bertukar argumen dan membahas kegelisahan-kegelisahan saya tentang dunia black metal di Indonesia. Diskusi black metal tersebut berjalan dengan sangat lancar dengan band-band terkemuka di Jawa Timur. Disitulah titik awal saya sampai kemudian tertarik untuk mendokumentasikan diskusi dan mewawancarai mereka. Lalu, proses interview itu berlanjut hingga ke daerah-daerah lainnya.

Apa konsep yang diangkat dari film Where Do We Go?

Ini black metal versi saya, yang saya kemas dalam format film dokumenter dengan struktur yang naratif performatif (segala sesuatu disampaikan secara kronologis, dengan urutan-urutan yang jelas). Film Where Do We Go merupakan film pertama dalam trilogi yang saya buat tentang kultur black metal. Pada film pertama ini saya ingin mengangkat black metal dari sudut pandang sub-kultur yang berporos nusantara.

WDWG memang dimaksudkan menjadi film dokumenter panjang. Awalnya saya konsepkan sebagai film dokumenter musik biasa tetapi karena selama ini saya banyak “berkecimpung” di film-film fiksi, maka saya tertantang untuk membuat sesuatu yang berbeda. Saya menyadari bahwa dengan pertanyaan yang sama untuk setiap orang, cara penyampaian atau presentasinya haruslah naratif. Kalau tidak, akan terkesan monoton.

Saya juga menyelipkan unsur-unsur budaya yang humanis, tidak melulu ke musik. Orang-orang di luar black metal pun akan menyukai film ini karena tidak semata-mata bicara tentang black metal. Film Where Do We Go bicara tentang seluk-beluk identitas, soal “kita”, soal Indonesia, topik yang sangat penting dan dekat untuk semua kalangan.

Intinya, saya menggunakan konsep naratif untuk membahasakan black metal menjadi sesuatu yang tidak rumit, dengan kata lain, saya menggunakan bahasa yang universal ke dalam wacana yang dapat dipahami semua orang.

Film ini juga menggunakan konsep yang terstruktur, karena setiap bagiannya memiliki maksud dan tema yang jelas (dibagi ke dalam sub-sub tema yang jelas) yang semuanya menampilkan pertanyaan kritis tentang ke arah mana black metal Indonesia akan dibawa.  

Apa tujuan dari dibuatnya film Where Do We Go?

Saya membuat film ini dengan tujuan menyampaikan penegasan bahwa black metal di Indonesia bukan lagi sebagai fenomena, melainkan sebuah pergerakan yang sudah sangat panjang, dari tahun 1990-an sampai sekarang. Pergerakan itulah yang ingin saya tampilkan secara lugas. Selama ini banyak media hanya mengekspose black metal dari segi satanisme dan hal-hal yang berkonotasi negatif. Sebagaimana yang kita tahu, black metal adalah sub-genre metal dengan makro genre dan fusion yang beragam yang selama ini diidentikkan dengan satanisme, padahal tidak semua black metal berhaluan ke arah situ. Adanya banyak makro genre dan fusion itu merupakan bentuk ketidaksetujuannya dengan tema satanisme.

Ketika berkembang di Indonesia, black metal membaur dengan budaya tertentu. Makna satanisme menjadi kabur. Tetapi tetap saja orang awam akan senantiasa mencap black metal sebagai pergerakan satanisme, yang dalam hal ini lebih kepada musik setan karena penampilan dan suaranya yang terkesan seram, bukan kepada ide besar tentang satanisme itu sendiri. Inilah prejudice yang berusaha saya singkirkan. Saya berharap dokumenter Where Do We Go ini bisa “mencerahkan” pandangan masyarakat bahwa black metal Indonesia memiliki khazanah yang sangat luas dan memiliki identitas sendiri di tengah gempuran budaya yang didikte asing maupun di-brainwash pasar.

Ada banyak produk budaya yang saat ini hanya menghadirkan fake needs. Masyarakat mencarinya hanya agar tenar atau dianggap kekinian. Padahal, karya seni sejati memperhatikan real needs, kebutuhan untuk membebaskan diri dari belenggu-belenggu dikte sosial, kebutuhan untuk berekspresi lewat seni, serta kebutuhan untuk menegaskan identitas di tengah keseragaman urban yang didengung-dengungkan lingkungan sosial. Film ini hadir untuk memancing diskusi yang lebih mendalam tentang hal-hal tersebut.

Mengapa memilih untuk mengangkat tema tentang black metal?

Saya memilih tema ini karena black metal dengan segala kekhasannya ketika masuk ke Indonesia mendapat perhatian yang lumayan bagus dari para penggemar metal. Menurut saya, itu menarik untuk diangkat. Selain itu, saya menyukai dunia subkultur seperti budaya, punk, dan lain-lain.

Juga dikarenakan tidak banyak orang dari dalam scene black metal sendiri yang mendokumentasikannya dalam bentuk film. Ini bukan film pertama tentang black metal Indonesia. Pernah ada film yang mengangkat black metal di Indonesia yang menampilkan band-band black metal ternama seperti Dry dari Surabaya, Ritual Orchestra dari Malang dan Sacrifice dari Sidoarjo, tapi dalam scope terbatas dan yang membuat adalah seorang berkebangsaan Perancis. Film Where Do We Go berbeda karena saya ingin lebih menekankan tentang asimilasi budaya black metal dengan budaya Nusantara (dengan penekanan pada budaya Jawa).

Untuk seri pertama dari trilogi Indonesian Black Metal Journey ini di WDWG, saya banyak mengedepankan band-band dari Jawa Timur sejurus dengan tema Nusantara (dalam hal ini Javanese Black metal) yang kebetulan banyak berkembang di wilayah timur Jawa. Selebihnya, ada band-band narasumber dari berbagai kota seperti, Bandung, Jakarta, Solo, Jogja, Banten, Bogor, dan di luar pulau Jawa seperti Bengkulu, Manado, Banjarbaru Kalimantan, Bali, dan Lombok.

Apakah film dokumenter masih menjadi sarana yang efektif untuk menyampaikan pesan dan mencapai tujuan yang hendak dicapai?

Sejauh ini iya, terutama karena saya percaya, film adalah media yang sangat populer. Cakupannya lebih luas. Dalam hal ini, black metal juga dikenal karena unsur visualnya yang seram. Ini sangat menunjang dalam mengenalkan black metal kepada khalayak luas mengenai kekhasannya itu dalam bentuk audio visual.

Karena saya juga ingin memperkenalkan black metal Indonesia ke kancah internasional, film dokumenter menjadi sangat efektif karena saya juga tidak mungkin membawa sekian banyak album atau membuat event-event musik. Dengan film ini, hanya dengan membawa satu film dan laptop, film ini sudah bisa diputar di banyak tempat dan black metal Indonesia dapat lebih dikenal di dunia luar.

Bagaimana respon publik terkait dirilis dan dipertontonkannya dokumenter Where Do We Go baik dari penikmat black metal maupun dari luar mereka?

Sejauh ini, saya sudah melakukan tur ke beberapa kota seperti Yogyakarta, Solo, Kediri, Malang dan Surabaya. Tahun depan, tur film ini juga akan berlanjut ke beberapa kota di dalam dan di luar Jawa. Respon penonton sangat hangat dan memancing diskusi-diskusi menarik. Yang datang bukan hanya dari kalangan penyuka black metal atau musik saja, tapi juga dari kalangan pencinta film, akademisi, pelaku subkultur, serta penikmat seni. Respon mereka yang sudah menonton sangat bagus dan mereka menunggu seri berikutnya. Sementara itu, ada beberapa tawaran yang masuk dari luar pulau Jawa yang mengharapkan agar film ini bisa diputar disana. Semoga semua bisa terlaksana.

Apa hasil akhir yang diharapkan dalam film dokumenter Where Do We Go?

Saya berharap setelah menonton dokumenter Where Do We Go orang-orang memiliki kesadaran baru mengenai black metal nusantara. Ada banyak penonton yang kemudian menjadi sadar bahwa black metal bukanlah melulu berisi satanisme atau hal-hal yang sangat jauh dari jangkauan nalar mereka. Film ini saya harapkan akan lebih menekankan bahwa black metal di Indonesia sebagai sebuah musik yang datang dari luar, kemudian tidak diadopsi secara mentah, melainkan tumbuh dengan cara-caranya sendiri. Karena, apa pun yang masuk ke Indonesia itu tidak pernah benar-benar sama. Apa pun yang diadopsi dari Barat tidak kemudian diserap begitu saja karena orang Indonesia sangatlah unik dan memiliki pola-pola sendiri dalam penyerapan serta adaptasi budaya. Sebenarnya, Where Do We Go ini seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bukanlah merupakan produk akhir, namun merupakan bagian pertama dari trilogi tentang black metal Indonesia. Film ini adalah pembuka jalan, pengenalan awal, untuk trilogi tersebut. Where Do We Go yang pertama, kemudian dilanjutkan dengan film kedua, Where We Live In serta film ketiga, What We’ve Been Through.

Apa pesan yang ingin disampaikan melalui film dokumenter Where Do We Go?

Seperti yang sudah saya singgung di awal, black metal bukan sekedar fenomena, melainkan sebuah pergerakan yang panjang. Banyak yang masih bisa digali dari black metal nusantara.  Melalui pertanyaan dalam film ini diharapkan kita bisa mulai menemukan ciri black metal kita ditengah maraknya black metal dunia. Menjadi diri sendiri itu penting dan mengenali identitas diri itu penting. Pertanyaan itu sebenarnya pertanyaan untuk kita semua dan pertanyaan untuk saya pribadi juga. Band-band metal Indonesia diharapkan mencoba untuk melebarkan sayap dengan tetap mempertahankan identitas. Dengan komunitas black metal yang jumlahnya ratusan, bagaimana kemudian mereka bertahan dan tidak mudah disisipi hanya untuk kepentingan pasar. Sebagaimana yang kita ketahui, banyak produk budaya yang kemudian hanya didikte pasar tanpa memiliki value lebih untuk disampaikan. Karya yang ditampilkan memiliki kecenderungan untuk tidak mempertanyakan apa pun, padahal sisi ideologis sebuah karya sangatlah penting. Saya ingin, lewat film Where Do We Go band-band black metal Indonesia menjadi sadar bahwa mereka memiliki kekuatan sehingga tidak kemudian menjadi pseudo-individualistis, atau sekadar unik dari segi tampilan luar saja namun menyadari kekhasan mereka yang sudah mengakar.

Foto: Koleksi pribadi Hernandes Saranela

 
View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner