Collapse : “Ini Itu Sebenarnya Materi Buangan”

Collapse : “Ini Itu Sebenarnya Materi Buangan”

Proyek solo dari personil band metalcore Alice ini muncul ditengah peluang merebaknya musik shoegaze generasi terbaru

Memiliki nama asli Andika Surya, seorang pria asal kota Bandung telah menggeluti musik sejak masih kecil hingga membentuk salah satu band metalcore yang cukup ternama Alice di kota Bandung. Pada saat bermusik dengan Alice, sapaan yang akrab dipanggil Dika ini, berposisi sebagai gitaris. Kini proyek bermusik dia yang digarap bersama teman-temannya tersebut dapat dikatakan hiatus untuk sementara, dikarenakan sang vokalis memilih keluar negeri.

Di tengah kevakuman Alice, ternyata Dika menyimpan sebuah harapan untuk membuat suatu proyek di mana ia bisa menyalurkan lantunan suaranya, yaitu dengan membuat sebuah proyek baru bersifat solo yang diberi nama Collapse. Proyek solo Collapse yang digarap oleh Dika, memiliki suatu keunggulan dari proses kreatif yang digelutinya, yakni membuat aransemen dari awal hingga akhir secara mandiri tanpa ada campur tangan pihak lain. Namun tetap saja tak dapat dipungkiri olehnya untuk meminta beberapa pertolongan melalui temannya yang satu jalur dalam bermusik untuk perilisan mini album bertajuk Grief lewat label Royal Yawns Records.  

Mengusung aliran alternative rock ala Basement, Pity Sex, Cave In, dan semacamnya, Dika awalnya sangat tidak percaya dan kurang yakin bahwa musiknya akan diterima oleh khayalak luas. Namun hal tersebut sangat bertolak belakang dengan persepsi yang dipikirkannya. Mini album bertajuk Grief yang dirilis oleh Royal Yawns Records pada tahun 2016 ini nyatanya mampu menarik perhatian massa untuk mendengar riff gitar yang merupakan buangan dari materi musik yang diperuntukkan Alice. Materi yang terangkum dalam 5 lagu yang dirilis dalam format kaset dan CD tersebut. Penampilan perdana Collapse akan menjadi saksi sejarah sebagai  band pembuka dalam gelaran konser tunggal Teenage Death Star yang berlokasi di IFI Bandung pada tanggal 30 Oktober 2016.

Apa sih alasan kamu hingga membuat projek bernama Collapse?
Awal mulanya sebenarnya itu dari band saya sebelumnya Alice, pertamanya itu jadi dari dulu itu saya pengen bikin band yang saya bisa nyanyi dan ada melodi nya. Kan dulu jaman Alice itu chaos dan pengen banget punya band kayak Foo Fighters, Cave In pokoknya intinya saya nyanyi aja gitu, nah terus kedua alasan saya kenapa membuat projek ini pas saya membuat lagu baru untuk Alice ternyata materi saya yang terbaru itu beda dan personil band Alice yang lain bilang “Dik, kenapa materinya jadi kayak gini?” materi musik gitarnya, dan nggak masuk dengan musiknya Alice, terus yaudah, saya bikin band sendiri kebeneran gitu. Jadi intinya riff – riff gitar di Collapse itu adalah buangan riff gitar yang saya bikin untuk Alice yang nggak dipakai beberapa, terus ya sisanya adalah elemen-elemen influence dari saya aja dari musik Cave In, Basement, kayak gitu-gitu terus early Foo Fighters lah, ya jadi kebetulan aja karena saya pengen bikin band yang rock gitu dan ternyata ada riff gitar yang cocok, yaudah aja langsung saya satuin jadi materi di lagunya Collapse. Mulai kepikiran bikin projek Collapse itu sejak awal tahun 2015, terus terealisasikannya pada akhir 2015, langsung masuk studio. Jadi, prosesnya itu saya ketemu dengan teman saya namanya Samsu (ex. Bassist Alice) terus saya bilang, “Su, saya mau bikin band terus soundnya kayak gini-gini” terus belum ada yang rilis nih, bingung gitu mau minta rilis ke siapa, terus Samsu bilang, “Yaudah, saya aja deh yang rilisin ntar saya bikinin kaset sama CD”. Ya gentlemen agreement aja gitu dan kontraknya pun ditulis di atas kertas bungkus gula pakai tanda tangan, pakai cap bibir, pokonya unik lah gitu (ketawa). Yaudah akhirnya saya jalan dan mulai garap proses untuk Collapse ini, rekaman di biayain sama label dan prosesnya itu dimulai dari tahun 2015 akhir sampai 2016 pertengahan.

Kami balik lagi ke Collapse, genre yang diusung sebenarnya shoegaze nggak sih?
Oke, genre sebenarnya lebih ke alternative rock, kalo ada yang bilang shoegaze atau apa pun nugaze itu cuma elemen pembantu aja sih sebenarnya. Saya suka dengerin kayak Title Fight yang baru-baru, sebenarnya saya nggak terlalu ngedengerin musik shoegaze kayak My Bloody Valentine, Slowdive, band-band Shoegaze asli lah, nggak juga. Ya saya ngedengerin cuma nggak yang dalam banget. Justru saya dengernya band-band shoegaze yang ada di jaman sekarang, jadi cuma masukin elemen-elemen itu aja dan sangat sedikit presentasinya dibandingin riff- riff Alternative Rock kayak gitu.

Tapi massa yang mendengarkan musik Collapse mereka anggap shoegaze, dan apakah menjamurnya musik Shoegaze belakangan ini adalah salah satu upaya Collapse untuk menarik massa?
Sebenarnya kalau bagi saya, silahkan aja orang menganggap atau beropini tentang musik yang saya bikin seperti apa mau dibilang shoegaze atau nugaze juga silahkan, karena yang saya lihat bukan gara-gara lagi hype atau lagi musim juga ya, dan balik lagi kayak yang saya ceritain di awal karena saya memang ingin bikin band yang rock dan kebetulan aransemen musiknya sudah ada, yaudah aja. Dan kebetulan juga mungkin pada saya sedang jalanin proyek Collapse ini, lagi ditengah masa-masa menjamurnya musik Shoegaze itu jadi intinya itu semuanya karena kebetulan aja dan nggak ada hal yang saya konsepin harus main musik genre Shoegaze, misalkan. Enggak, itu semua karena kebetulan. Sebenarnya saya juga nggak bisa hindarin sih, terutama dalam musiknya Collapse ada juga unsur shoegaze-nya terus band-band rock zaman sekarang juga pasti ter-influence dari band-band shoegaze jaman dulu kayak Slowdive, My Bloody Valentine, dan lain – lain. Dan nggak tau saya ngeliat gitu ya, di luar negeri pun memang lagi happening banget band-band Hardcore Punk yang bikin band shoegaze terutama indie-rock lah, ya kebetulan banget gitu dan sekaligus juga lagi happening dengan musisi lain. Sebenarnya juga sah-sah aja sih mau lagi musim Shoegaze atau mau bikin band apa balik lagi perputaran zaman kayak gitu semua.

Proses kreatif yang digeluti dengan ‘One Man Project’, kenapa sih memilih sendiri?
Kenapa memilih sendiri, jadi awal mulanya ya orang-orang mungkin tahu saya di Alice itu sebagai gitaris ya. Sebenarnya dulu sebelum saya jadi seorang gitaris saya juga sempat jadi drummer dan dari kecil juga sudah bermain drum. Saya manfaatkan talenta aja sih sebenarnya dan pengen tau batasannya sampai mana nih saya pengen explore seluas mungkin gitu sama saya semuanya dicobainlah. Makanya tadinya saya pengen ada instrumen kayak saxophone, piano. Cuma mungkin next-lah saya pengen ada instrumen kayak ambience-ambience gitu, dan kenapa saya sendiri ya biar bisa explore aja sih biar puas bisa otak-atik dan tanpa campur tangan orang lain, ya kurang lebih kayak gitu sih.

Siapa saja sosok yang terlibat dalam proses pembuatan materi Collapse ?
Jadi ceritanya gini, kalo yang terlibat dalam proses pembuatan materi Collapse sendiri, nggak cuma Syamsu atau Aldi (Heals) aja sih sebenarnya. Saya juga ngelibatin sound engineer juga gitu jadi karena saya ngerekamnya di studi berbeda kayak misalkan pas take drum saya rekaman di Fun House Studio jadi ada campur tangan Edo gitarisnya dari band Hellbeyond. Lalu saya pindah gitar ke bass ke Master Plan Records, sound engineer- nya adalah Azi drumernya Lose It All, lalu pindah lagi vokal ke Red Studio itu sound engineer-nya adalah Indra Severus yang juga sering ngerjain buat Sarasvati sama Pure Saturday.  Ya saya anggap itu bagian dari orang-orang yang terlibat dalam proses berkaryanya Collapse. Jadi saya selalu menyertakan orang-orang yang terlibat dalam proses kreatifnya dan enggak murni saya sendiri. Dan kebetulan kalo untuk Aldi itu langsung nembak pas waktu saya take gitar, saya langsung telfon, “Di, langsung dateng kesinilah buat isi suara gitar ke Master Plan,!” akhirnya datenglah Aldi ke studio terus dengerin lagunya beberapa menit dan langsung isi aja gitu di lagu “Given” doang dan sisanya semuanya saya sendiri.

Bisa dijelaskan tentang peran rilisan fisik kaset yang menggunakan case era 80-90’an ?
Ya awalnya diperuntukan untuk hal bisnis ya, CD dan Vinyl mungkin terlalu mewah dan biasa makanya saya memilih kaset, justru saya lebih banyak memproduksi kaset dibandingkan CD. Untuk rilisan kaset saya juga terinspirasi dari salah satu band Dark Punk/Death Punk namanya City Hunter. Saya lihat kemasannya kayak kemasan VHS jaman dulu terus langsung saya kontak si Syamsu buat produksiin kayak gitu, dan akhirnya dia langsung nyari ya lumayan aja responnya oke pas saya bilang kayak gitu. Banyak juga yang nanyain gitu pas saya produksi kaset dengan kemasan kayak gitu dapet dari mana dan kenapa konsepnya 80’an dan sengaja sih dibikin kayak gitu, cuma sekedar gimmick aja sih. Kalo misalkan dibilang ngebangkitin lagi era kaset enggak juga ya, alasan terbesarnya untuk gimmick dan estetika aja sih dan untuk bagian desain tata letak segala macem juga saya yang ngerjain. Terus kasetnya itu saya sama Samsu dapetinnya juga lumayan susah kayak kami nyicil gitu pas nyarinya kayak kebanyakan juga kami dapetin dari kaset bekas pencak silat, dakwah, dan lain-lain. Terus juga sempat hilang pas kami mau paketin ke Solo 200 keping, tapi worth it sih semuanya.

Kalo desain cover, kenapa seperti itu?
Buat CD ya terutama, kovernya itu terinspirasi dari Gallant sama Kanye West terus juga ada yang bilang mirip kayak albumnya Frank Ocean yang album Blond. Ya saya bersyukur aja sih disebut kayak Frank Ocean karena saya suka juga gitu cuma ide awalnya nggak dari situ sih. Jauh hari udah pengen bikin foto lagi makan, sedih, makanya disebut Grief. Tapi suasananya lagi di meja makan, banyak makanan mewah ya udah. Itu saya fotonya juga nungguin momen yang pas sampe kebetulan ada temen saya fotografer dari Bali datang ke Bandung namanya Deni. Terus udah langsung saya tembak aja “Den, mau nggak foto disini bla bla bla . . . . “ dan dia juga mau kebetulan menuhin permintaan saya tersebut, terus yaudah jadilah itu kover albumnya Collapse. Terus yang frame merahnya itu saya terinspirasi dari Kanye West album My Twisted Dark Fantassy, dan kalo diliat sama sebenarnya jadi frame merah tengahnya ada foto.

Apasih Harapan Dika melalui apresiasi massa dengan proyek Collapse ini ?
Jujur ya, saya pas rilis album E.P ini pesimis banget kalo mau tau saya pas take vokal itu nggak percaya diri sama sekali. Sampai saya take vokal ngulang beberapa kali di dua bulan yang berbeda. Saya take vokal pertama sampe beres, dengerin preview ngedrop gitu dengerin vokal sendiri, jelek banget langsung hapus, ulang lagi dan baru take vokal itu 2-3 bulan kemudian dengan aransemen baru dan itu H-1 bikinnya besok mau rekaman sehari sebelumnya saya aransemen vokal dan lainnya yaudah hasil akhirnya yang ada di rilisan Collapse. Itu juga masih pesimis awalnya, terus yaudahlah batas explore saya sampe segini. Pengen tahu nih respon dari orang lah kayak gimana tapi dalam hati saya masih pesimis. Ternyata enggak, wah kok bisa gini gitu ya terutama untuk di Jakarta kalo misalkan saya mapping 70% Jakarta sisanya 30% Bandung. Saya bilang itu masih seadanya dan sendiri gitu, cuma saya masih belum kira bisa sampe kayak gini aja. Untuk visi misinya saya pengen bisa berkarya tanpa harus ada mikirin kayak barusan, tapi kalo dari segi musikalitas saya pengen lebih explore, kebetulan nih ada lagu baru ntar yang lebih progresif dan lebih eksperimen lah nggak kayak yang udah-udah. Dan sebenarnya yang bikin prosesnya lama itu waktu, biaya, dan mood sih tapi kalo di-press mungkin cuma butuh waktu sebulan aja ngerjainnya.\

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner